Share ke media
Opini Publik

Turunnya Citra Pesantren, Dilema ditengah Kokohnya Sistem Demokrasi-Kapitalisme

18 Nov 2024 02:12:2140 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : mitrarakyat.com - program baru ala kapitalisme menyasar - 13 Desember 2019

Latar Belakang Sejarah Hari Santri

Hari Santri diperingati pada 22 Oktober setiap tahunnya. Dan tema Hari Santri 2024 adalah “Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan”. Penetapan Hari Santri tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri mengacu pada peristiwa yang terjadi pada tanggal yang sama di tahun 1945.

“Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu ‘ain (yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (yang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja)…”

Fatwa KH. Hasyim Asy’ari ini dimaklumkan tanggal 22 Oktober 1945. Fatwa yang menggelorakan ruh jihad kaum muslimin di Jawa Timur terutama di Surabaya. Menggerakkan umat Islam termasuk santri dan para kyai melakukan jihad, berperang melawan kehadiran kembali Sekutu yang sudah mendapat izin dari pemerintah pusat di Jakarta. Fatwa yang dikenal dengan “Resolusi Jihad”  itulah yang menginspirasi dijadikannya 22 Oktober sebagai Hari Santri.

Adapun peringatan Hari Santri 2024 ini mengusung tema ‘Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan’. Tema ini, kata Menag, Nasaruddin Umar, mengingatkan semua terhadap salah satu bait dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik yang menjelaskan bahwa seorang santri mempunyai tugas untuk melanjutkan perjuangan kiai, ketika sang kiai wafat.    (https://www.kompas.com/tren/read/2024/10/22/103000565/hari-santri-2024—berikut-sejarah-penetapannya-setiap-22-oktober)

Pesantren sebagai Pencetak Generasi Emas

Seorang pengkaji keislaman di Indonesia, Howard M Federspiel, menyampaikan bahwa kegiatan pendidikan agama di nusantara telah dimulai sejak 1596. Bahkan, menurut Federspiel, menjelang abad ke-12 sebenarnya juga telah ditemukan manuskrip-manuskrip yang menerangkan tentang pusat-pusat studi Islam di nusantara. Pusat pengkajian Islam tersebut adalah cikal bakal pesantren.

Adapun jumlah pesantren dlm data Kemenag 2019 ada 26.955. Per semester ganjil 2023/2024, ada total 39.551 pesantren di seluruh Indonesia, dengan total santri sebanyak 4,9 juta. Itu belum termasuk pesantren-pesantren yang tidak atau belum tercatat di Kemenag.

Dalam sebuah pertemuan dengan ratusan kiai pesantren dan pimpinan lembaga pendidikan Islam, Wakil Kapolri 2016-2018 yang kini menjadi Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Komjen Pol (Pur) Syafruddin Kambo mewanti-wanti tahun 2045. Saat itu Indonesia akan mencapai usia 100 tahun, seabad kemerdekaannya. Seiring dengan usia negeri ini yang menua, komposisi penduduk Indonesia akan mencapai keunikannya.

Pada 2045, diperkirakan 70% lebih penduduk Indonesia berusia produktif mulai 14-64 tahun. Menurutnya, 2045 diprediksi menjadi waktu kematangan usia bangsa ini. Indonesia akan mencapai keemasannya, kejayaannya dan keharumannya.  Dan di pesantren, yang dididik mulai dari usia sekitar 11-18 tahun , belum lagi yang mengambil pengabdian setelah lulus dari pesantren, maka usia produktif itu di sejumlah pesantren merupakan SDM Unggul bagi Masyarakat Indonesia.

Dahulu para santri tak hanya identik berkutat dengan kajian kitab, namun juga identik dengan perjuangan melawan penjajah kafir. Kesabaran mereka dalam berjuang berperan besar bagi kemerdekaan Nusantara dari penjajahan fisik Belanda hingga Jepang.

Dahulu, kiai bersama santri melakukan perlawanan kepada penjajah secara totalitas. Pada sektor pendidikan, kiai tidak mau ikut Belanda dan memilih mendirikan pesantren. Pada sektor perekonomian, kiai berdagang dan membangun basis-basis ekonomi di kalangan umat Islam sendiri. Pada wilayah perjuangan, kiai dan santri juga berjuang melawan penjajah dengan jiwa raganya.

Mengutip pendapat K.H. Hasani Nawawie dari Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, dijelaskan definisi kata “santri” berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, yakni ‘ adalah ‘orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an, mengikuti Sunah Rasul, serta teguh pendirian’. Artinya, santri bukanlah orang yang mudah mengikuti pemikiran baru di luar ajaran yang Rasulullah bawa. Justru, santri merupakan pejuang untuk menegakkan ajaran Islam kaffah yang beliau Saw. bawa.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Syekh K.H. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim (Adab Santri dan Guru).  Disebutkan bahwa salah satu adab yang menjadi spirit perjuangan santri dalam belajar agama harus dengan niat takarub (mendekatkan diri) kepada Allah Taala, menyebarkan ilmu, menghidupkan agama Islam, menyebarkan hukum Allah Taala, dan menampakkan kebenaran.

Sebagai institusi pencetak calon ulama pewaris para nabi (waratsatul anbiyaa),  yang bertakwa, berkepribadian Islam, tafaqquh fiddin, bermental pemimpin, serta siap mengemban dakwah dan berjuang menegakkan Islam kaffah. Pencetak generasi saleh berkepribadian Islam, pencetak generasi pejuang, pembela dan penjaga Islam yang amanah (haarisan amiinan lil Islam), pencetak generasi pemimpin yang cerdas (dzakiyyan), jenius (mulhaman) dan inovatif (mubdian), serta pembangun peradaban Islam pada masa depan.

Akibat Penerapan Sistem Kapitalisme, dengan Proyek Moderasi Beragama, Pesantren Kehilangan Orientasinya

Dampak penerapan sistem demokrasi-kapitalis pada santri justru tidak sejalan dengan apa yang dimaksudkan dalam definisi diatas. Ilmu dipelajari sebatas sebagai pengetahuan, kemudian mereka juga memisahkan fikrah dengan thoriqoh, seperti cukup mengajak sholat tanpa penerapan sanksi bagi yang tidak sholat, cukup memaafkan pelecehan terhadap nabi SAW tanpa penerapan sanksi yang sudah diatur dalam Islam bagi pelaku pelecehan, hingga akhirnya santri keluar dari pondok justru gagap ketika berhadapan dengan realita kehidupan, tidak mampu menjadi pihak yang memberi solusi problematika umat, bahkan berdampak hingga santri terbawa arus kehidupan sekular

Sejak awal berdirinya, pesantren hanya mengajarkan Islam kafah, bukan Islam moderat. Di pesantrenlah tercetak para santri yang terdepan dalam beramar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, proyek moderasi beragama justru membungkam amar makruf nahi mungkar terhadap kiai, ulama, dan para santri. 

Menjadikan pesantren sebagai salah satu tumpuan pergerakan dan pertumbuhan perekonomian bangsa,  dengan alasan proyek deradikalisasi peran pesantren sebagai pencetak ulama’ justru dibajak dengan mengubah arah pesantren menjadi wirausaha. Santri kerap kali menjadi objek framing negatif oleh media dan masyarakat yang kurang memahami peran dan potensi santri.

Penderasan moderasi dan deradikalisme yang akan makin masif terjadi di pesantren akhirnya akan melahirkan ulama-ulama moderat yang akan mengukuhkan eksistensi sistem sekularisme, demokrasi, dan kapitalisme.  Dituntut menerima keterbukaan tsaqofah, padahal tsaqofah sekulerisme semua mengabaikan peran Allah SWT sebagai Al-Khaliq yang Mengatur kehidupan dunianya manusia, akhirnya orang-orang luar dimasukkan dan kurikulum dirubah, yang berdampak pada budaya luar masuk, padahal para santri belum waktunya diberikan perbandingan tsaqofah walaupun dengan alasan untuk bisa berdebat dengan orang-orang kafir. Ini bertentangan dengan peran pesantren itu sendiri, yaitu sebagai pencetak ulama’ warosatul anbiya (ulama pewaris para nabi).

Dalam Islam, kurikulum berbasis akidah Islam, para siswa yang belajar disekolah-sekolah hanya dikenalkan tentang aturan-aturan Islam, tsaqofah-tsaqofah yang berasal dari Islam, nanti ketika sudah di Pendidikan Tinggi, mereka dikenalkan dengan pemikiran-pemikiran asing yang berasal dari luar, karena dipandang basisnya atau akidahnya sudah kuat dan tidak akan terpengaruh oleh pemikiran asing manapun.

Waspada Islam sebagai Tertuduh! Distrust terhadap Pesantren = Krisis Ulama

Adanya Blow up Opini bahwa Pesantren Tidak Aman dari Kejahatan Seksual, berdampak pada kepercayaan Masyarakat terhadap lembaga pesantren berkurang (muncul distrust pada pesantren)  dan memilih pendidikan umum berorientasi dunia. Ujungnya adalah terjadi krisis ulama’.

Dengan alasan pesantren itu pengawasannya tertutup, orangtua tidak bisa ikut mengawasi, menolak intervensi dari luar dan adanya budaya patriatrki (karena jika santrinya terdiri laki-laki dan Perempuan, maka pemimpin pesantren pasti seorang kiyai (laki-laki)), serta adanya ketaatan totalitas pada para guru/ustadz-ustadzah sebagai bentuk penerapan Adab ‘Alim Muta’allim, maka kekerasan seksual dan bullying pasti tidak bisa dihindari. Inilah yang kemudian di-blow up media. Dimunculkan “Islamophobia” khusus pesantren karena kasus-kasus tersebut, padahal itu adalah Upaya Memfitnah Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan tak layak (dengan menyusupkan para pelaku kekerasan seksual sebagai pengajar atau staf)—lihat podcast UFK dan T.Wisnu. Padahal inilah akibat Islam tidak lagi “Menaungi” kaum muslimin dalam bentuk sistem kehidupan, malah kaum muslimin justru sibuk mempertahankan sistem demokrasi-kapitalis yang sudah jelas rusak dan merusak ini.

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْۗ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ

“ Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya” (QS. Shaff ; 8)

Wallaahu’alam bishshowwaab.

Penulis: Yulita Andriani, A.Md.Rad. (Daiyah Samarinda)