Samarinda - Tanggal 20 Desember 2022 yang lalu, salah satu pondok pesantren di Penajam Paser Utara (PPU) yaitu Ponpes Bina’ul Muhajirin Babulu, mengadakan Halaqoh Fikih Peradaban Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), dengan tema “Dari Ibu Kota Nusantara Menuju Mercuasuar Peradaban Dunia.” Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyelenggarakan seri Halaqah Fiqih Peradaban dalam rangka menyambut 1 Abad Nahdlatul Ulama. Rencananya kegiatan ini akan diselenggarakan di 250 titik lokasi, dan puncaknya pada Januari 2023 mendatang.
Titik pertama Halaqah Fiqih Peradaban yang digelar hari ini, Kamis (11/8/2022) dimulai dari Yogyakarta, tepatnya di Pondok Pesantren Krapyak. Pesantren yang didirikan KH Muhammad Munawwir ini berdiri tahun 1911, dan dikembangkan Rais Aam PBNU 1980-1984 KH Ali Maksum. Di pesantren ini pula digelar Muktamar ke-28 NU pada 25-28 November 1989. Rinciannya 75 di Jawa Timur, 75 di Jawa Tengah dan DIY, 50 di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, serta 50 titik di luar Pulau Jawa. Kegiatan ini akan melibatkan 12.500 ulama di seluruh Indonesia. Agenda ini diperkuat dengan pertemuan pengantar Konvensi Internasional Pertama tentang Yurisprudensi Islam untuk Peradaban Global “Fiqih Hadharah”. Kegiatan ini mengundang sejumlah duta besar negara-negara sahabat di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, pada Kamis (15/12/2022) malam.
Pertemuan ini merupakan persiapan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang bakal digelar di Surabaya, 6 Februari 2023, mendatang. Muktamar Internasional Fiqih Peradaban sendiri adalah salah satu kegiatan puncak menyambut hari lahir (Harlah) satu abad NU. Gus Yahya mengatakan bahwa Muktamar Internasional Fiqih Peradaban bakal mengambil sudut pandang penilaian fiqih atas legitimasi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai tatanan dunia. Melalui hal tersebut, NU bertekad dapat membangun landasan fiqih untuk perdamaian dan harmoni global.
Istilah fikih peradaban memang baru di dunia perfikihan Islam. Suatu istilah tidak akan muncul melainkan pasti dilekatkan padanya suatu definisi yang membatasinya. Seringkali suatu istilah juga memiliki pengertian yang berbeda di antara orang yang membahasnya. Karena itu perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk menentukan apakah istilah tersebut layak untuk diterima dan diadopsi.
Gagasan Fikih Peradaban, Menjauhkan dari Ajaran Islam yang Sebenarnya
KH. Afifuddin Muhajir memaparkan, fikih peradaban bukanlah fiqhul adab (hukum tata krama atau sopan santun), melainkan fiqhul hadlaarah. Kata al-hadlaarah merupakan lawan kata al-badaawah. Istilah badaawah mengacu pada karakter masyarakat badui Arab pramodern yang menghuni wilayah padang pasir. Masyarakat yang cenderung nomaden dan relatif tidak memiliki budaya yang mapan. Lawan masyarakat badui nomaden disebut ahlul hadlaarah atau masyarakat madani dalam istilah Ibnu Khaldun, yaitu mereka yang hidup menetap dan membangun peradaban bersama. Dengan demikian, fikih peradaban merupakan ilmu atau wacana mengenai kehidupan bermasyarakat. (Hidayatuna, 13/10/2022)
Sementara Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Gus Faiz Syukron Makmun menjelaskan fikih peradaban berarti ada Al-fiqh dan juga ada Al-hadhoroh. Al-fiqh secara bahasa berarti Al-fahmu yakni mencoba untuk memahami, sementara Al-hadhoroh adalah hasil segala upaya, budidaya manusia, kemampuan intelektual, kemampuan fungsi pikir manusia yang kemudian menghasilkan suatu yang disebut dengan peradaban. (cssmora.org, 04/10/2022) Perbedaan dalam pendefinisian fikih peradaban, menunjukkan bahwa konsep fikih peradaban yang mereka cetuskan belum memiliki konsep yang matang. Hal ini membuat pembahasan tentang fikih peradaban lebih banyak mengarah kepada fikih siyasah (politik), dan mengabaikan aspek-aspek peradaban lainnya. Tampak pembahasan-pembahasan yang diangkat dalam beberapa kali halaqah yang telah berlangsung adalah topik-topik siyasah seperti pembahasan status kafir dalam negara, negara bangsa, ideologi negara, dan sebagainya.
Bahkan Gus Ulil mengungkap bahwa Halaqah fikih peradaban ini rupanya memiliki agenda tertentu. Rencananya, pada puncak acara Muktamar Internasional Fiqih Peradaban nanti, Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf akan mendorong agar tercipta ijma’ (kesepakatan) ulama atau disebut sebagai Konsensus Jakarta dari empat isu yang menjadi topik pembahasan.
Pertama, menolak khilafah. Menurut Gus Ulil, isu ini memang sudah menjadi posisi NU dan ulama kebanyakan di dunia. Meski begitu, hingga kini belum pernah ada kesepakatan ulama antarbangsa untuk menolak khilafah sebagai sistem politik negara. Di dalam Muktamar Internasional Fiqih Peradaban nanti, para ulama sedunia akan didorong untuk membuat sebuah kesepakatan menolak khilafah sebagai sistem politik karena tidak sesuai dengan peradaban dunia saat ini.
Kedua, mendudukkan kembali hubungan antara hukum syariat dengan hukum positif negara. Gus Ulil menegaskan, ketika bangsa Indonesia menerima Pancasila dan NKRI sebagai sistem politik bernegara maka konsekuensinya adalah menerima hukum positif negara yang diproduksi oleh parlemen.
Ketiga, kedudukan negara bangsa. Meski para ulama di Indonesia sudah menerima sistem negara bangsa, tetapi PBNU hendak menjadikan kedudukan negara bangsa ini sebagai sebuah konsensus global yang akan disepakati oleh para ulama sedunia. Keempat, soal perang dan damai. Pada isu ini, dibahas pula soal kedudukan jihad di dalam Islam, serta masalah-masalah seputar minoritas. (nu.or.id, 12/09/2022)
Kita bisa katakan aroma sekularisasinya sangat kuat, karena ide ini sebenarnya memang lanjutan dari proyek Islam Nusantara yang gagal mendapat tempat dalam benak umat. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Gus Ulil, yang senantiasa diingat oleh umat sebagai gembong Jaringan Islam Liberal. Ia menyatakan antara Fiqih Peradaban dengan Islam Nusantara tidak terdapat kontradiksi. Karena sebetulnya Fikih Peradaban (fiqhul hadharah) merupakan fase lanjutan dari Islam Nusantara. (nu.or.id, 05/10/2022)
Sampai pada titik ini kita bisa memahami mengapa gagasan fikih peradaban ini diperjuangkan sedemikian rupa oleh para elit NU. Namun, gagasan ini sebenarnya lemah dan justru menjauh dari ajaran Islam sebenarnya.
Bahaya Islam Nusantara dibalik Rekonstruksi Fikih Islam
Sebenarnya ide atau gagasan Islam Nusantara merupakan bagian dari proses sekularisasi umat Islam di nusantara ini dan sudah sejak lama dideraskan ke tengah umat. Ide ini mengusung konsep bahwa Islam yang ada di Indonesia sudah sesuai dengan tradisi, budaya, dan kearifan lokal sehingga tidak membutuhkan Islam dari “Arab atau Timur Tengah”. Isu ini sengaja dideraskan untuk menolak opini dakwah penegakan syariat dan Khilafah yang kian santer. Selain itu isu rekontekstualisasi fikih juga akan kembali dibahas dan diputuskan menjadi isu dasar di dalam Halaqah Fiqih Peradaban.
Isu rekontekstualisasi fikih dianggap penting untuk dibahas. Karena dengan rekontekstualisasi fikih, pengamalan Islam akan sesuai dengan realitas saat ini. Dimana umat Islam Indonesia harus menerima dan mendudukkan kembali hubungan syariat dengan hukum positif negara serta menolak Khilafah. Menurut Gus Ulil, isu ini memang sudah menjadi posisi NU dan ulama kebanyakan di dunia.
Meskipun, hingga kini belum pernah ada kesepakatan ulama antarbangsa untuk menolak Khilafah sebagai sistem politik negara. Sehingga kedudukan sistem negara bangsa yang telah diterima oleh para ulama di Indonesia ini, diharapkan akan menjadi sebuah konsensus global yang akan disepakati oleh ulama sedunia. Oleh sebab itu, di dalam muktamar ini para ulama dan kiai sedunia akan didorong untuk membuat kesepakatan menolak Khilafah sebagai sebuah sistem politik karena tidak sesuai dengan peradaban dunia saat ini.
Padahal perjuangan penegakkan Khilafah Islamiyah merupakan kewajiban penting di dalam Islam. Sebab para fuqaha dari semua mazhab telah menegaskan, bahwa mengangkat Imam yakni khalifah hukumnya wajib bagi seluruh kaum muslimin. Kewajiban Khilafah ini telah disepakati secara ijmak (konsensus) oleh seluruh ulama yang terpercaya (tsiqah) dan mu’tabar (kredibel) dari berbagai mazhab.
Penjajahan Terselubung dengan Mengatasnamakan Program Internasional
Gus Yahya mengatakan bahwa Muktamar Internasional Fiqih Peradaban bakal mengambil sudut pandang penilaian fiqih atas legitimasi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai tatanan dunia. Melalui hal tersebut, NU bertekad dapat membangun landasan fiqih untuk perdamaian dan harmoni global. Misalnya, terang dia, wacana soal fiqih perempuan, yang membahas soal korelasi perempuan dengan Islam. Ia juga mencontohkan fiqih disabilitas yang berisi pembahasan menyangkut kekhususan bagi penyandang disabilitas. Selanjutnya ada juga fiqih SDGs (pembangunan berkelanjutan). Jadi berisi pembahasan dari sudut pandang Islam tentang hal yang menyangkut sistem pembangunan yang berkeadilan.
Merujuk pada tulisan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani tentang Konvensi Internasional dan Undang-undang Internasional dalam kitab Mafahim Siyasiyah Li Hizbi At-Tahrir, bahwa persaingan untuk menempati kedudukan sebagai negara pertama pada masa dahulu tidak menampakkan aktivitas politik yang terkait dengan suatu undang-undang internasional, karena undang-undang itu tidak ada.
Yang menonjol sejak awal sejarah adalah aktivitas-aktivitas militer dengan jalan perang, pertempuran dan pengurangan tapal-tapal batas negara. Keadaannya tetap demikian hingga pertengahan abad ke-18 Masehi, tatkala terwujud tatanan internasional atau lebih tepatnya, tatkala terwujud tatanan internasional dalam bentuk udang-undang dan hukum.
Sejak saat itu, aktivitas-aktivitas politik menjadi aspek penting dalam hubungan internasional dan pemecahan masalah-masalah internasional. Aktivitas politik kemudian menggantikan posisi aktivitas politik militer dalam pemecahan masalah, penghentian dominasi negara pertama, dan persaingan untuk merebut kedudukannya.
Sejak saat itu banyak terjadi arbitrase (tahkim) dengan menggunakan undang-undang internasional dalam hubungan internasional. Banyak pula aktivitas politik diabil sebagai alat untuk memecahkan masalah internasional, baik aktivitas politik murni, maupun yang disertai berbagai perang dan pertempuran. Hal itu nampak secara jelas setelah tahun 1919 Masehi ketika dibentuk LBB (Liga Bangsa-Bangsa).
Undang-undang internasional lahir untuk menentang Daulah Islam yang saat itu termanifestasikan dalam Daulah Utsmaniyah. Itu disebabkan karena Daulah Islam dalam sifatnya sebagai Daulah ISlam telah menyerang Eropa, mengumumkan jihad kepada kaum kristen Eropa, membebaskan negeri-negeri mereka satu demi satu hingga berhasil melumpuhkan apa yang dinamakan Yunani, Rumania, Albania,Yugoslavia, Hungaria dan Austria hingga terhenti di pintu gerbang kota Wina. Daulah Ustmaniyah telah membangkitkan kengerian disemua orang Kristen Eropa.
Adapun kondisi wilayah Eropa saat itu merupakan negara-negara yang terpecah-pecah dimana disetiap negara itu terpecah-pecah lagi menjadi wilayah-wilayah keamiran, ysng masing-masing dikuasai oleh seorang tuan tanah yang telah dibagi-bagi raja dalam kekuasaannya. Ini membuat raja tidak mampu memaksa wilayah-wilayah keamiran ini untuk berperang. Hal ini memudahkan kaum muslimin untuk menyerang dan membebaskan mereka.
Keadaan Eropa tetap seperti itu hingga akhir abad ke-16 masehi. Pada abad itu, negara-negara Eropa berhimpun untuk membentuk satu keluarga Kristen yang mampu menghadang Daulah Islam. Saat itu pihak gerejalah yang mendominasi Eropa dan agama Kristenlah yang menyatukan Eropa. Karena itu, negara-negara Eropa melakukan upaya-upaya untuk membentuk keluarga Kristen dari sekumpulan negara.
Inilah yang memunculkan apa yang dinamakan keluarga Kristen Internasional dan mereka pun lalu menyepakati prinsip-prinsi tertentu diantara mereka. Diantaranya, bahwa negara-negara itu mempunyai hak yang sama, mempunyai prinsip dan cita-cita yang sama, semua negara menyerahkan kekuasaan spiritual tertinggi kepada Paus selaku pemimpin Katholik meski negara-negara itu berbeda-beda alirannya. Prinsip-rinsip itu merupakan cikal-bakal undang-undang internasional.
Hingga abad ke-17 Masehi, yaitu tahun 1648 M, negara-negara itu tetap tidak mampu menghadapi Daulah Islam. Pada tahun ini, negara-negara Kristen Eropa mengadakan sebuah konferensi, yaitu Konferensi Westaphalia. Didalamnya ditetapkan prinsip-prinsip permanen untuk mengatur hubungan diantara negara-negara Kristen Eropa. Diatur pula keluarga negara-negara Kristen untuk menghadapi Daulah Islam. Konsferensi itu telah menetapkan prinsip-prinsip tradisional bagi apa yang dinamakan dengan Undang-undang Internasional.
Hanya saja, belum berlaku umu, hanya berlaku bagi negara-negara Kristen, bukan yang lain. Undang-undang itu elarang daulah islam masuk kedalam Keluarga Internasional. Sejak saat itu terwujud apa yang dinamakan Komunitas Internasional, tanpa membedakan antara negara monarki atau negara republik, negara Kristen Katolik atau Kristen Protestan. Kemudian bergabung didalamnya negara-negara Kristen diluar Eropa, tetapi tetap terlarang bagi Daulah Islam sampai paruh kedua abad ke-19 M. Saat itu Daulah Islam diberi sebutan “The Sick Man” (orang sakit) dan meminta masuk ke dalam Keluarga Internasional, tetapi ditolak.
Adapun diantara prinsip-prinsip yang menonjol dalam konferensi Westaphalia adalah: pertama, ide Keseimbangan Internasional. Kedua, ide konferensi internasional. Ide kesimbangan internasional adalah ide yang menetapkan bahwa jika salah satu negara mencoba melakukan ekspansi dengan mengorbankan negara lain, maka seluruh negara akan berkumpul untuk mneghalangi terjadinya ekspansi itu dan menjaga keseimbangan internasional yang memadai untuk mencegah perang dan menyebarkan perdamaian. Sedangkan ide konferensi internasional, myatakan bahwa konferensi akan terbentuk dari berbagai negara Eropa dan diadakan guna membahas problem-problem mereka dan berbagai urusan mereka dalam naungan kepentinga Eropa. Lalu ide ini berkembang menjadi konferensi negara-negara adidaya yang diselenggarakan untuk mempertimbangkan urusan-urusan dunia dalam rangka mewujudkan kepentingan negara-negara adidaya.
Dua ide ini menjadi biang keladi dari berbagai penderitaan dunia, yakni problem-problem yang dihadapi dunia untuk melepaskan diri dari kekuasaan negara-negara penjajah dan negara adidaya.
Gagalnya LBB dalam upaya membuat harmoni internasional dan mengembalikan keamanan, memunculkan berbagai kesepakatan internasional hingga merubah hubungan internasional. Tetapi hubungan internasional yang berubah ini tidak merubah posisi internasional hingga terjadinya Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II barulah negara-negara adidaya itu memperluas dan menjadikan LBB sebagai badan internasional yang memberi kesempatan kepada semua negara di dunia untuk bergabung didalamnya.
Perubahan ini bukan lagi konferensi untuk menguasai dunia, membagi rampasan perang diantara mereka dan mencegah munculnya negara adidaya yang lain, tetapi ia berubah menjadi badan internasional yang menjamin dominasi negara-negara adidaya, lalu menjadi sebuah badan internasional yang mengatur dan mendominasi urusan-urusan berbagai negara di dunia. Ditambahkan kemudahan kerjasama ekonomi dan memelihara hak-hak asasi manusia (HAM) sebagai penjamin stabilitas perdamaian dan mencegah peperangan.
PBB, sebagai badan internasional pengganti LBB, dijadikan sebagai penjaga perdamaian dan kata “perdamaian” dijadikan slogan internasional yang diulang-ulang oleh semua pihak dan dijadikan dalih bagi negara adidaya untuk: menjaga perdamaian, mencegah negara negara lain dari pembebasan dan mencegah pembebasan diri dari penjajahan.
Jelaslah tampak, jika pernyataan “Mengambil sudut pandang penilaian fiqih atas legitimasi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai tatanan dunia. Melalui hal tersebut, NU bertekad dapat membangun landasan fiqih untuk perdamaian dan harmoni global” sama saja dengan masuk kedalam jebakan penjajahan orang-orang kafir, mendukung mereka, dan ikut mendakwahkan program-program mereka.
Adapun pernyataan “akan ada fiqih SDGs (pembangunan berkelanjutan). Jadi berisi pembahasan dari sudut pandang Islam tentang hal yang menyangkut sistem pembangunan yang berkeadilan,” jelaslah maknanya mendukung program mereka (penjajah).
Sebelum pelaksanaan Millennium Development Goals (MDGs) berakhir, pada UN Summit on MDGs 2010 telah dirumuskan agenda pembangunan dunia pasca 2015. Hal ini diperkuat dengan disepakatinya dokumen “The Future We Want” dalam UN Conference on Sustainable Development 2012. Kedua hal ini menjadi pendorong utama penyusunan agenda pembangunan pasca 2015 yang disepakati dalam Sidang Umum PBB pada September 2015, yaitu Agenda 2030: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Beberapa agenda MDGs yang belum tercapai akan dilanjutkan dalam pelaksanaan pencapaian SDGs hingga tahun 2030. SDGs merupakan penyempurnaan MDGs karena:
SDGs lebih komprehensif, disusun dengan melibatkan lebih banyak negara dengan tujuan yang universal untuk negara maju dan berkembang.
Memperluas sumber pendanaan, selain bantuan negara maju juga sumber dari swasta.
Menekankan pada hak asasi manusia agar diskriminasi tidak terjadi dalam penanggulangan kemiskinan dalam segala dimensinya.
Inklusif, secara spesifik menyasar kepada kelompok rentan (No one left behind).
Pelibatan seluruh pemangku kepentingan: pemerintah dan parlemen, filantropi dan pelaku usaha, pakar dan akademisi, serta organisasi kemasyarakatan dan media.
MDGs hanya menargetkan pengurangan “setengah” sedangkan SDGs menargetkan untuk menuntaskan seluruh tujuan (Zero Goals).
SDGs tidak hanya memuat Tujuan tapi juga Sarana Pelaksanaan (Means of Implementation).
TPB/SDGs merupakan komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan masyarakat mencakup 17 tujuan yaitu (1) Tanpa Kemiskinan; (2) Tanpa Kelaparan; (3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera; (4) Pendidikan Berkualitas; (5) Kesetaraan Gender; (6) Air Bersih dan Sanitasi Layak; (7) Energi Bersih dan Terjangkau; (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; (10) Berkurangnya Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan; (12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab; (13) Penanganan Perubahan Iklim; (14) Ekosistem Lautan; (15) Ekosistem Daratan; (16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh; (17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.
Adapun Ibukota Negara (IKN) yang sedang berjalan pembangunannya, merupakan bagian dari program negara adidaya, untuk kemudahan penjajahan melalui ekonomi, dan diluncurkan program Islam Moderat untuk mencegah munculnya ganngguan dan hambatan dari kaum Muslim yang sadar politik Islam yang sebenarnya.
Makna dan Cakupan Fikih
Fikih, sebagaimana dipahami ulama, adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang digali dari dalil-dalil yang rinci (Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, hlm. 3). Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Syakhshiyah Islam Jilid 1 menjelaskan bahwa menurut istilah syarak fikih dikhususkan bagi ilmu yang menghasilkan sejumlah hukum syarak yang bersifat cabang melalui an nadhar (penelaahan) dan al istidlal (penarikan dalil).
Karena merupakan hukum-hukum yang bersifat praktis, yang diturunkan untuk memberikan solusi atas fakta-fakta atau peristiwa yang terjadi, maka fikih memiliki cakupan yang luas pada seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai dari hukum-hukum ibadah seperti salat, zakat, puasa, haji dan jihad. Hukum-hukum ekonomi seperti pembagian kepemilikan, pengelolaan harta, pengelolaan kekayaan alam, dan penyusunan anggaran belanja negara. Hukum-hukum muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, dan riba. Hukum-hukum terkait dengan sistem sanksi berupa hudud, jinayat, takzir, dan pembuktian. Hukum-hukum sosial seperti pergaulan laki-laki dan perempuan, pernikahan, dan hukum-hukum keluarga; sampai hukum-hukum siyasah/politik seperti metode pengangkatan khalifah, hak dan kewajiban negara, dan warga negara.
Makna Hadharah dan Contohnya
Penjelasan secara rinci dan terintegral tentang hadharah bisa kita dapati dalam buku Ahmad Al-Qashash, Peradaban Islam vs Peradaban Asing (PTI, 2009). Dalam buku tersebut, Ahmad Al Qashash menguraikan bahwa kata al-hadlaarah yang merupakan lawan kata al-badaawah sebagaimana penjelasan KH. Afifudin Muhajir adalah makna bahasa. Begitupun makna hadharah yang dipakai oleh Ibnu Khaldun, bila dicermati akan tampak bahwa pembahasan beliau tidak keluar dari makna bahasanya. Karena itu, memasukkan Ibnu Khaldun ke dalam kelompok orang yang menggunakan istilah baru bagi al hadharah merupakan suatu kekeliruan. Sebab, fakta sejarah munculnya makna istilah al hadharah sebenarnya berpulang pada kajian-kajian yang dilakukan di Eropa ketika muncul ungkapan civilization.
Sejak abad 19 M, para pemikir dan penulis Eropa mulai menggunakan istilah civilization untuk menunjukkan ciri-ciri khusus yang dimiliki umat tertentu, yang membedakannya dari bangsa dan umat yang lainnya. Perkembangan ini lantas memunculkan makna istilah bagi hadharah yang berubah dari makna bahasanya. Sebelumnya hadharah menunjuk makna spesifik bagi penduduk kota dari segi etika, sosial kemasyarakatan, formalitas dan cara hidup mereka yang berbeda dengan penduduk pedalaman, lalu beralih menunjukkan berbagai sifat khas dari berbagai umat dan negara yang terorganisir, memiliki tsaqofah dan pengetahuan yang tinggi dan kemudian berkembang lagi sebagai sebuah corak kehidupan khas bagi satu masyarakat tertentu.
Maka hadharah didefinisikan sebagai sekumpulan pemikiran, perasaan dan sistem yang membentuk dan mencetak suatu masyarakat sehingga terbentuk identitas dan kepribadiannya yang khas berbeda dengan masyarakat lainnya. Makna ini senada dengan apa yang diungkapkan Syaikh Taqiyuddin an Nabhani رحمه الله di dalam kitab Nidzamul Islam bahwa hadharah adalah sekumpulan mafahim (ide yang dianut dan mempunyai fakta) tentang kehidupan. Hadharah bersifat khas, terkait dengan pandangan hidup suatu umat.
Dengan demikian, istilah hadharah dan masyarakat sangat berkaitan. Masyarakat sendiri bukan hanya sekadar kumpulan individu, namun sekumpulan individu yang diikat dengan berbagai pemikiran, perasaan, dan sistem yang khas, dengan kata lain kumpulan manusia yang diikat oleh hadharahnya.
Sebagai contoh, kita mengatakan masyarakat Islam, maka hadharah yang mengikatnya adalah Islam. Pemikirannya adalah pemikiran Islam, perasaannya juga perasaan Islam, dan sistem yang mengaturnya adalah sistem Islam. Maka kumpulan individu yang pemikirannya pemikiran Islam, perasaannya Islam tapi diatur sistem dari Barat sebagaimana demokrasi, sama sekali bukan masyarakat Islam dan tidak layak mengaku memiliki hadharah Islam.
Seorang muslim, dia harus memiliki pandangan bahwa peradaban Islam sebagai cara hidup yang telah digariskan Islam, tidak menerima percampuran dengan peradaban lain di dunia ini. Sebab setiap peradaban pasti memiliki cara pandangnya sendiri dalam kehidupan, cara hidup, pemahaman tentang berbagai benda, nilai, tujuan, dan sifat-sifat yang ideal. Peradaban Islam, ketika sudah sempurna dalam segala sisinya, maka ia tidak akan membutuhkan unsur-unsur peradaban lainnya. Bahkan pengaruh peradaban lainnya yang dicangkokkan ke dalam tubuh peradaban Islam, adalah unsur asing yang akan merusaknya, dan akan menghancurkan masyarakat Islam, cepat atau lambat.
Dengan menelaah apa yang dibahas dalam halaqah fikih peradaban ala NU, kita justru melihat upaya-upaya memasukkan pemikiran asing dalam tubuh umat Islam semacam nasionalisme dan demokrasi. Arah pembahasannya fikih siyasah, yaitu pembahasan yang terkait dengan hukum-hukum seputar politik. Padahal, bila kita elaborasi antara makna fikih dan hadharah, semestinya fikih hadharah membahas hukum-hukum syarak terkait dengan sistem kehidupan yang diterapkan negara secara menyeluruh, tidak terbatas pada aspek siyasah saja. Dan aspek siyasah yang diambil juga tidak tepat, karena berangkat dari pemahaman konsep siyasah ala Barat yang membatasinya pada aspek kekuasaan dan pengaturan kekuasaan.
Fikih Siyasah Islam
Politik (as-siyasâh) berakar dari kata sâsa–yasûsu–siyâsat[an]. Artinya: mengatur, memimpin, memelihara, dan mengurus suatu urusan. Dalam Islam, politik bukan menitikberatkan pada aspek kekuasaan, namun pada pengaturan urusan masyarakat dengan hukum-hukum Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Karena itu bagaimana negara menyelenggarakan pendidikan bermutu yang bisa diakses oleh seluruh rakyat adalah politik. Bagaimana agar setiap rakyat yang sakit bisa mendapatkan perawatan yang dibutuhkan secara gratis adalah politik. Bagaimana negara memastikan agar setiap orang bisa makan, memiliki rumah, dan hidup secara layak, adalah politik.
Politik dilaksanakan oleh negara dan rakyat. Negara secara langsung melakukan pengaturan ini dengan hukum-hukum Islam. Rakyat mengawasi, mengoreksi, dan meluruskan negara jika menyimpang dari Islam. Gambaran ini diungkapkan oleh Ibnu Qutaibah (w. 276H): “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.”
Dalam Islam, aturan yang terpancar dari akidahnya bukan hanya aturan spiritual, yakni aturan yang mengatur hubungan hamba dengan Rabbnya saja. Namun terpancar juga aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia yang lain dalam berbagai aspeknya. Aturan ini, hanya bisa berjalan ketika ada institusi yang menerapkannya dalam kehidupan. Inilah politik, maka hanya Islam yang akidahnya juga merupakan akidah politik, yaitu menuntut penerapan hukum-hukmnya dalam kehidupan dan mengatur penerapan ini dalam institusi yang disebut sebagai Daulah Khilafah Islamiyyah.
Maka mengambil fikih siyasah, namun membatasinya pada aspek tertentu, bahkan menafikan syariatnya untuk dijalankan secara utuh dan menyeluruh dalam kehidupan adalah bentuk pemandulan fikih siyasah Islam. Akibatnya fikih ini hanya terbatas pada teori-teori di kitab fikih dan tidak mampu mewujudkan kebaikan dan kemashlahatan yang Allah telah tetapkan.
Khatimah
Para pembenci Islam dan kaum muslim, mereka terus berupaya menyerang Islam. Mereka sengaja menyematkan istilah atau label tertentu. Misalnya Islam Nusantara sebagai identitas baru dengan tujuan agar umat Islam kehilangan identitasnya. Kehilangan jati dirinya sebagai umat Islam terbaik yang telah Allah SWT ciptakan untuk seluruh kalangan manusia.
Barat dan sekutunya terus berupaya menciptakan istilah dan “label-label” baru seperti Islam Nusantara, Islam moderat, Islam fundamental, Islam tradisional, dan lain sebagainya. Tujuan sebenarnya tidak lain untuk mengokohkan ide sekularisme ke dalam pemikiran umat Islam. Selain itu, melalui ide ini mereka juga telah berhasil menciptakan ketakutan, keraguan, dan saling mencurigai. Bahkan menimbulkan permusuhan di antara sesama umat Islam.
Sehingga pada akhirnya kepentingan serta tujuan mereka untuk menguasai negeri-negeri muslim yang kaya raya telah berhasil. Mereka telah mampu menghadang perjuangan umat Islam dalam meraih kebangkitan umat untuk mewujudkan sebuah intensitas umat terbaik di dunia. Maka sudah selayaknya para ulama dan kiai mewaspadai Halaqah Fiqih Peradaban dan menolak Konsensus Jakarta. Para ulama dan kiai harus mulai memfokuskan diri dalam perjuangan penegakan KhilafahIslamiyah. Sebagaimana telah dicontohkan oleh para ulama di era peradaban emas kekhilafahan.
Membicarakan fikih hadharah dalam Islam adalah membicarakan bagaimana menghidupkan syariat agar menjadi warna khas yang mewarnai masyarakat Islam. Bukan hanya satu aspeknya saja, melainkan pengaturan yang utuh dan menyeluruh pada setiap aspek kehidupannya. Memasukkan unsur-unsur asing, apalagi unsur Barat yang bertentangan secara asasiyah dengan Islam, sama saja dengan menghancurkan hadharah Islam.
Inilah yang perlu menjadi kewaspadaan umat, apalagi para mubalighah yang menjadi tulang punggung kebangkitan umat. Tugas kita untuk menjaga agar umat ini tetap tegak berdiri dalam rangka ketaatan kepada Allah dan meninggikan kalimat-Nya. Jangan sampai perjuangan kita tertipu dan justru memperjuangkan sesuatu yang salah dan mendatangkan kemurkaan Allah. Wallaahu’alam bi-ashowwab.
Oleh : YULITA ANDRIANI
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru