Samarinda - Dinas Sosial (Dinsos) Kota Balikpapan memperkuat upaya pencegahan terhadap kasus anak yang berhadapan hukum (ABH) melalui peningkatan sosialisasi kepada masyarakat. Tercatat sekitar 200 kasus telah dilaporkan hingga pertengahan tahun 2025 ini.
Menurut Kepala Dinsos Balikpapan, Edy Gunawan, jumlah tersebut menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi, angka itu dinilai masih cukup tinggi dan berpotensi terus bertambah. Beliau menekankan pentingnya peran keluarga dalam pengawasan dan pembinaan anak karena faktor lingkungan dan pola asuh keluarga sangat mempengaruhi perilaku anak. (https://busam.id/di-balikpapan-200-kasus-anak-berhadapan-dengan-hukum/)
Fenomena anak berhadapan dengan hukum kian mengkhawatirkan. Usia yang seharusnya digunakan untuk bermain dan belajar, justru teralihkan untul hal yang serius, menguras tenaga, pikiran, dan mental. Ada beberapa kasus yang sering melibatkan anak-anak, diantaranya kekerasan seksual terhadap anak, kekerasan fisik, perundungan, penyalahgunaan narkoba, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan anak di bawah umur, pencurian dan kriminalitas lainnya. Dari ratusan kasus yang telah dilaporkan, kasus kekerasan seksual menjadi yang paling dominan. Angka yang tercatat seperti fenomena gunung es, kemungkinan kasus serupa yang tidak dilaporkan masih banyak lagi, karena faktor malu, kurangnya informasi, atau ketidaktahuan korban/keluarga.
Kian asingnya peran agama dan moral dalam kehidupan, memungkinkan bagi semua kalangan masyarakat, termasuk anak-anak, terlibat dalam tindak hukum kriminal. Baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Peran orang tua akan semakin berat ketika tidak ada dukungan dari lingkungan dan keluarga. Orang tua tidak hanya harus menanamkan nilai nilai agama dan moral di rumah, tetapi juga harus berjuang melindungi dan melawan arus negatif dari lingkungan luar. Anak-anak menghabiskan Sebagian besar waktunya di luar rumah, seperti sekolah, bermain dengan teman-temannya ataupun terpapar sosial media. Gaya hidup masyarakat yang individualis menambah beban orang tua karena harus mengontrol anaknya sendiri. Ditambah lagi kesempitan ekonomi yang dirasakan hari, memaksa ayah maupun ibu untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga sehingga waktu dan tenaga yang tersisa hanya sedikit untuk mengawasi pendidikan anak. Peran media sosial juga tidak kalah berbahayanya, anak-anak banyak terpapar konten-konten yang tidak baik yang dapat mempengaruhi pola pikir dan tingkah anak.
Penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal telah memberi sumbangsih besar dalam masalah ini. Sistem yang mendewakan kebebasan dan menjadikan kebahagiaan berdasarkan capaian materi ini terbukti telah melahirkan anak berhadapan hukum (ABH). Sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan) adalah asas dari sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini. Sekulerisme mengikis nilai-nilai agama, membatasi peran agama dalam kehidupan. Demokrasi yang menjamin kebebasan berperilaku, berpendapat, beragama dan berkepemilikan menjadikan perilaku anak-anak disandarkan pada “apa yang dia sukai” meskipun melanggar aturan agama. Kebebasan pers dan derasnya arus informasi tanpa filter banyak memunculkan konten-konten pornografi, pornoaksi, dan kekerasan yang mudah diakses oleh anak-anak. Kapitalis neoliberal berdampak pada pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa pencapaian materi dan kesuksesan adalah tolak ukur kebahagiaan. Pola pikir konsumerisme berdampak seseorang bahkan anak-anak merasa tidak puas jika tidak memiliki barang-barang tertentu. Sistem ini juga menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebar. Anak-anak dari keluarga miskin bisa merasa putus asa akhirnya terlibat hukum dengan melakukan kejahatan, misalnya pencurian demi memenuhi kebutuhan hidup ataupun keinginannya. Anak-anak keluarga kayapun bisa terlibat hukum karena kurangnya pengawasan dan merasa “kebal hukum”.
Sistem tersebut melahirkan iman dan ketakwaan yang lemah. Masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kebaikan, asing dengan amar makruf nahi mungkar. Negara pun kian abai terhadap tupoksinya sebagai pengurus dan penjaga umat menjadikan maraknya kasus anak berhadapan hukum.
Lalu, bagaimana Islam memandang kasus anak yang berhadapan hukum (ABH)? Perlu diingat, di dalam Islam anak yang baligh sudah terkena beban hukum. Peran orang tua dengan support sistem Islam melahirkan anak yang soleh jauh dari kemaksiatan apalagi kejahatan. Orang tua wajib menanamkan pondasi keimanan sejak kecil, mengajarkan ketauhidan Allah Ta’ala serta syariat Allah Ta’ala. Sehingga ketika anak sudah baligh, ia paham bahwa sebagai hamba Allah tujuan hidupnya di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Ia juga paham bahwa kelak semua manusia akan mati dan kembali pada Allah, mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.
Selain itu, pendidikan dalam Islam haruslah berlandaskan akidah Islam. Baik di rumah maupun di sekolah. Sehingga anak-anak tidak hanya cerdas, namun mempunyai akhlak yang mulia.
Anak-anak juga harus berada di lingkungan yang baik. Dan tanggung jawab ini, selain ada pada orang tua, negara pun sangat berperan penting. Negara wajib memfasilitasi hal itu. Misalnya menyaring konten-konten atau tayangan televisi dan sosial media agar tidak terpapar dengan konten-konten yang berbau seksual, judi atau hal-hal haram lainnya.
Ditambah dengan sistem ekonominya. Sistem ekonomi dalam Islam memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok rakyatnya. Sehingga rakyatnya bisa Sejahtera. Keluarga terutama ibu dapat fokus menjadi al ummun madrasatul ula (madrasah pertama) bagi anak-anaknya.
Dengan kolaborasi yang baik antara keluarga dan negara, yakni sesuai dengan aturan Islam maka anak yang sudah baligh paham bahwa setiap perbuatan yang melanggar perintah Allah Ta’ala harus siap menerima konsekuensi hukum.
Melihat sejarah peradaban Islam, tampak bahwa penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah menjadi kunci munculnya generasi terbaik yang berhasil membawa umat pada kebangkitan. Pada masa-masa kejayaan Islam di bawah Khilafah, seperti pada era Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, muncul banyak ilmuwan dan cendekiawan yang berkontribusi besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Masa ini dikenal sebagai “Zaman Keemasan Islam” atau “Golden Age of Islam”.
Generasi Islam tumbuh dengan kekuatan iman dan ketakwaan serta ahli menyolusi berbagai problem kehidupan. Beberapa ilmuwan yang lahir dari peradaban Islam yakni Ibnu Sina (Avicenna), ahli di bidang kedokteran dan filsafat dengan karya beliau Al-Qanun fi at-Tibb (Canon of Medicine), menjadi rujukan utama di Eropa selama berabad-abad. Ada Al-Khawarizmi, ahli matematika dengan konsep aljabar dan algoritma. Ada Ibnu Al-Haytham (Alhazen), ahli dalam bidang optik, yang meletakkan dasar perkembangan ilmu fisika modern. Demikianlah khilafah, menerapkan Islam secara kaffah serta memadukan ketakwaan dan ilmu pengetahuan. Dengannya, slam mampu tampil sebagai pionir peradaban selama belasan abad.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meningkatnya kasus kejahatan yang melibatkan generasi muda ini akibat minimnya penerapan nilai-nilai Islam. Dan bahwa kejayaan umat di masa lalu adalah buah dari perpaduan takwa, ilmu, dan sistem yang baik (sistem Islam kaffah), sesuatu yang banyak hilang di era modern ini. wallahua’lam bishowab..
Oleh : Ayu Putri Wandani (Pendidik)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru