Samarinda - Program pengiriman 19 kader ulama muda Masjid Istiqlal ke Amerika Serikat untuk mengikuti short course bertema Religion and Peace menuai perhatian publik. Program ini diklaim bertujuan meningkatkan kapasitas keilmuan ulama, memperluas wawasan internasional, serta memperkuat pemahaman lintas budaya dan agama. Lebih jauh, program ini diharapkan memperkenalkan wajah Islam Indonesia yang moderat, damai, dan inklusif di kancah global.
Sekilas, tujuan tersebut tampak sangat positif: memperkuat peran ulama muda di ranah global, membangun jejaring lintas agama, dan memperdalam pemahaman terhadap keragaman. Namun, jika ditelisik lebih dalam, program ini justru menyimpan persoalan serius yang berpotensi mengarah pada sekularisasi pemikiran Islam melalui pengarusan paham moderasi agama versi Barat.
Moderasi: Wajah Baru Sekularisme
Istilah “Islam moderat” sering dikampanyekan sebagai solusi ekstremisme dan konflik agama. Namun, dalam praktiknya, wacana moderasi sering diposisikan sebagai alat ideologis untuk menafsirkan ulang ajaran Islam agar sesuai dengan nilai-nilai sekuler dan liberal yang berkembang di Barat.
Dalam konteks ini, program Religion and Peace bisa dibaca sebagai bentuk halus dari sekularisasi — di mana kader ulama diarahkan agar memahami Islam melalui perspektif pluralisme dan relativisme agama.
Moderasi kemudian tidak lagi dimaknai “jalan tengah dalam bersikap”, tetapi menjadi instrumen untuk melunakkan prinsip Islam agar tidak dianggap “radikal” oleh pandangan global.
Pembajakan Potensi Kader Ulama
Label “peningkatan kualitas ulama muda” sering menjadi jargon program internasional semacam ini. Namun, perlu ditelaah lebih dalam: peningkatan seperti apa yang dimaksud? Apakah peningkatan dalam pemahaman Al-Qur’an, Hadis, dan syariah, atau peningkatan dalam kemampuan diplomasi dan adaptasi terhadap ideologi pluralistik?
Jika isi program lebih menekankan pada dialog lintas agama, studi perdamaian global, atau teori pluralisme religius yang berangkat dari paradigma Barat, maka yang terjadi bukanlah penguatan identitas keulamaan, tetapi pembajakan potensi ulama muda agar menjadi agen ideologi moderat yang sejalan dengan narasi sekuler internasional. Kader ulama yang seharusnya menjadi warasatul anbiya (pewaris tugas kenabian) justru berisiko kehilangan fondasi epistemologis Islam yang hakiki. Mereka bisa berubah dari subjek dakwah menjadi objek eksperimen ideologi global.
Islam Sudah Sempurna — Tak Butuh Tambahan Moderasi
Islam adalah risalah yang sempurna (kaffah) — mencakup dimensi spiritual, sosial, dan politik. Islam telah memiliki konsep yang sangat jelas. Tidak ada urgensitas belajar beragam agama dan budaya di dunia, karena Islam telah memadai sebagai mualajah musykilah, termasuk konsep tentang toleransi dan perdamaian. Islam tidak membutuhkan tambahan ide atau “revisi konsep” dari moderasi versi Barat.
Belajar agama lain atau budaya dunia memang bisa menambah wawasan, tetapi tidak boleh dijadikan pijakan ideologis baru yang menggantikan konsep Islam. Ulama perlu memahami konteks global untuk berdakwah, tetapi pijakan epistemologisnya tetap harus bersumber pada Islam, bukan pada teori perdamaian sekuler yang mengabaikan peran wahyu. Wallahu ‘alam.
Oleh : Jubaidah
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru