Samarinda - Ancaman liberalisasi di negeri ini semakin tak terbendung. Liberalisasi sendiri adalah suatu paham yang menganggungkan kebebasan tanpa campur tangan dari pihak lain bahkan dari agama sekalipun. Orang yang menganut paham ini akan merasa hidupnya bebas dan hanya mengedepankan keuntungan jasadi tanpa mengindahkan aturan atau norma yang berlaku pada diri dan lingkungan. Paham inilah yang menjadi salah satu sebab meningkatnya angka pernikahan dini.
Salah satunya di Kabupaten Paser
Pada tahun 2024, Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Paser menyatakan, ada 109 kasus pernikahan dini atau di bawah umur terjadi. Amir Faisol, Kepala DPPKBPPPA Paser mengatakan, pernikahan dini sebagian besarnya disebabkan married by accident (MBA).
Fenomena meningkatnya kasus pernikahan dini di Paser ini menjadi yang tertinggi di Kaltim beberapa tahun terakhir. Fenomena ini berdampak pada persoalan sosial, kesehatan generasi muda, meningkatnya risiko stunting dan kekerasan seksual pada anak. Menurut Amir, pernikahan usia anak, apalagi yang memuat unsur paksaan dapat dicirikan sebagai bentuk kekerasan seksual. Tentunya ada aspek hukum yang mengatur hal ini yaitu UU No 16 Tahun 2019 dan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Liberalisasi Mencengkeram Negeri?
Melonjaknya angka pernikahan dini dari tahun ke tahun adalah fenomena gunung es pergaulan bebas yang menghantui negeri ini. Maraknya pernikahan dini bukanlah permasalahan yang berdiri selain sendiri melainkan ia adalah dampak dari sistem sekuler liberal hari ini yang membuat generasi tenggelam dalam pergaulan bebas.
Tidak adanya aturan yang mengatur pergaulan manusia hari ini menyebabkan rusak dan sakitnya hubungan antar lawan jenis. Hubungan laki-laki dan perempuan hari ini didominasi tujuan seksual. Bukan untuk saling menolong atau menghormati.
Lihatlah bagaimana sebagian besar penyebab tingginya angka pernikahan dini adalah hamil di luar nikah. Negara semestinya merenungi akar masaah tingginya angka pernikahan dini ini yaitu maraknya pergaulan bebas. Bukannya malah mem-fasilitasi dengan memberikan dispensasi nikah.
Hal ini “wajar” jika negara memiliki karakter sekuler kapitalis. Karena negara yang memiliki karakter ini akan terus melegalisasi pemicu-pemicu kemaksiatan dan nafsu seks yang dilakukan generasi. kelab-kelab malam, tempat karaoke, lokalisasi, dan konser malah difasilitasi dengan adanya miras. Begitupun komten atau media pornografi yang hari ini berserakan di berbagai platform digital. Semua ini menegaskan bahwa negara yang bercorak sekuler kapitalis hanya mementingkan keuntungan materi namun nihil dari ruh ilahi.
Sistem pendidikan yang tidak berbasis akidah Islam juga menjadi sebab pergaulan bebas. Mata pelajaran agama diberikan terbatas hanya dua jam dalam sepekan. Muatan materinya pun juga tidak membentuk kepribadian generasi yang seharusnya memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Materi tentang aurat dan pergaulan tak banyak dipahamkan pada generasi. Berikutnya, masyarakat yang individualis menambah persoalan akan maraknya gaul bebas. Banyak masyarakat yang tidak berani menegur jika ada kawula muda yang ikhtilat (campur baur) dan khalwat.
Alhasil, semua penyebab di atas menjadi akar masalah dari tingginya angka pernikahan dini. Remaja yang masih belum siap berumah tangga pun terpaksa menikah. Kalau sudah begini, wajar jika banyak rumah tangga yang berpotensi KDRT dan anak yang stunting. Lantas masihkah kita diam dan tak ingin mencari solusi komperehensif terhadap permasalahan pergaulan generasi?
Islam Tidak Melarang Pernikahan Dini
Islam tidak pernah membatasi usia pernikahan bagi laki-laki dan perempuan. Hal yang menjadi patokan untuk siap menikah dalam Islam bukan berdasarkan usia, melainkan pada kesiapan mental, finansial, dan ilmu dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Hukum menikah dalam Islam pun sunnah.
Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam “Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu, hendaknya menikah, sebab menikah itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Selain untuk ibadah, menikah juga memiliki tujuan untuk melestarikan jenis dan menjaga kehormatan. Bagi yang belum mampu menikah, maka Islam memiliki serangkaian aturan untuk menjaga pergaulan antar lawan jenis.
Sistem pergaulan dalam Islam seperti perintah menundukkan pandangan, menjaga kemaluan, melarang perempuan tabarruj (berhias di hadapan laki-laki yang bukan mahram), menutup aurat, (QS An-Nur ayat 30-31), larangan khalwat dan ikhtilat memiliki hikmah terjaganya moral generasi dari perilaku rusak atau menyimpang yang berdosa besar.
Semua aturan ini tidak dapat terlaksana jika negara tidak mendukung jalannya aturan ini.
Negara Islam dalam institusi kepemimpinan Islam berperan dalam menjaga kehormatan generasi seperti menutup tempat-tempat yang mengundang kemaksiatan, mensterilkan media dari konten-konten pornografi, menggencarkan konten-konten edukasi yang bermuatan dakwah Islam atau pendidikan, melarang adanya konser atau event-event yang berpotensi berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat, dan melakukan razia setiap malamnya untuk mengawasi rakyatnya jika ada yang melakukan mesum atau berdua-duaan.
Jika ada yang kedapatan melanggar maka negara akan menindak tegas dengan hukuman yang tegas menjerakan seperti hukuman cambuk bagi yang belum menikah dan rajam bagi yang sudah menikah.
Dalam kitab Nizhamul Ijtima’iy fil Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dinyatakan bahwa masyarakat Islam dalam Khilafah memandang hubungan pria dan wanita yang bersifat seksual termasuk kejahatan dan dosa besar. Pelakunya akan dipandang sebagai orang yang harus dikucilkan dan orang hina yang dipandang dengan pandangan marah dan nista.
Demikianlah serangkaian aturan Islam dalam mengatasi pergaulan bebas. Yang meniscayakan mulianya akhlak generasi Muslim dan terhindar dari pergaulan yang rusak. Allah Taala berfiman: “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (TQS Al-Isra’ ayat 32). Wallahu ‘alam bis shawab.
Oleh : Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag