Samarinda - Konsep ashobiyyah atau fanatisme kelompok sering kali menjadi pembahasan dalam kajian sosial, politik, dan agama. Istilah ini berasal dari bahasa Arab yang merujuk pada semangat kesukuan atau perasaan kesetiaan yang berlebihan terhadap kelompok tertentu, baik itu suku, bangsa, ras, atau golongan. Dalam Islam, ashobiyah adalah bentuk sekat-sekat Nasionalisme atau Kebangsaan dan semangat membela atau menolong karena kesukuan atau kelompok yang kelak pelakunya tidak diakui oleh Rosulullah saw sebagai umatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada Ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena Ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena Ashabiyah.[HR. Abu Dawud].
Kemudian dalam hadits yang lain, beliau bersabda :
Barangsiapa terbunuh karena membela bendera kefanatikan yang menyeru kepada kebangsaan (Nasionalisme) atau mendukungnya, maka matinya seperti mati Jahiliyah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menjelaskan makna ashabiyah. Sebuah riwayat dari Putri Watsilah bin Al-Asqa’, ia mendengar Ayahnya berkata, “Aku berkata, wahai Rasulullah, apa itu ashabiyah?” Rasul menjawab: “Engkau menolong kaummu atas kezaliman yang dilakukan.” (HR. Abu Dawud).
Jika dikaji lebih mendalam, kita akan mendapati bahwa ashobiyah ini merupakan semangat persatuan yang dibangun atas dasar kesamaan suku dan bangsa. Paham ini meletakkan kesetiaan tertinggi individu hanya kepada suku dan bangsa dengan maksud agar individu memiliki sikap mental atau perbuatan untuk mewujudkan kemajuan, kehormatan, kesejahteraan bersama.
Padahal dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:
“Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ashabiyah, atau berperang untuk ashabiyah atau menyerukan ashabiyah, maka dia mati jahiliah,” (HR Ahmad)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa semangat ashobiyyah tidak sejalan dengan ajaran Islam. Poin dari ashabiyah adalah fanatisme buta terhadap kabilah, suku, kelompok maupun bangsa, meletakkan fanatisme suku dan bangsa di atas agama. Sehingga batasan agama yang seharusnya menjadi parameter dalam setiap urusan dikesampingkan karena alasan solidaritas kesukuan.
Bagian dari Moderasi Beragama
Komitmen kebangsaan dan nasionalisme merupakan salah satu indikator moderasi beragama yang terus digaungkan oleh pemerintah dan berbagai pihak, mulai dari kalangan pejabat, lingkungan pendidikan, sampai kalangan ulama/mubaligh.
Ide semacam ini sesungguhnya berasal dari Barat dengan proyek global mereka membangun Moderate Network. Berdasar pada rekomendasi RAND Corporation, mereka merancang “Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World”. Dalam pembahasannya dijelaskan tentang karakteristik muslim moderat dan betapa pentingnya mendukung entitas muslim moderat. Dalam poin itu dinyatakan bahwa muslim moderat adalah orang yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi, termasuk gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum non sektarian; serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan.
Moderasi beragama, termasuk seruan nasionalisme, di dalamnya tentu dirancang demi kepentingan Barat, bukan untuk umat Islam. Tujuan utamanya adalah mencetak muslim yang sesuai arahan Barat, menjauhkan umat Islam dari Islam yang hakiki, dan mencegah kebangkitan umat Islam. Sehingga, Barat tetap bisa menguasai dunia dengan sistem kapitalismenya.
Persatuan Umat dengan Khilafah
Islam datang menghapus semua ikatan jahiliyah, termasuk nasionalisme. Nasionalisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa satu-satunya perekat negara yang sah adalah ras atau bangsa. Akidah Islam menjadikan semua manusia setara apapun suku, bangsa, rasnya. Yang membedakan hanyalah ketakwaan. Ikatan ideologis Islam telah terbukti bisa menyatukan berbagai bangsa, ras, suku dalam satu wilayah dan kepemimpinan. Kisah yang paling mempesona adalah kisah Rasulullah saw. ketika mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin di awal hijrah. Persaudaraan ini sangat kuat dan berpengaruh.
Ikatan ideologis ini terus menjadi dasar persatuan mereka sampai ribuan tahun sesudahnya. Islam menyatukan orang Arab, Bar-Bar, Romawi, Afrika, Turki, Persia, dan India, berikutnya juga Melayu, Cina, Sirkasia, Bosnia, dan lain-lain menjadi umat yang satu, yaitu umat Islam.
Sedangkan Cinta tanah air itu fithrah, tidak perlu nasionalisme untuk menumbuhkan dan mengekspresikannya. Islam malah mengingatkan jangan sampai menjadi ashobiyah. Itu menyiratkan bahwa sekalipun cinta tanah air itu merupakan fithrah tapi ia bisa mengarah kepada ashobiyah saat tidak disinari dengan cahaya Allah. Nabi saw. pun menegaskan keharaman ashabiyah, di antaranya melalui hadis: “Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyerukan ashabiyah, orang yang berperang karena ashabiyah, serta orang-orang yang mati membela ashabiyyah (HR Abu Dawud)
Khatimah
Jelaslah, bahwa nasionalisme alih-alih akan menyatukan umat, justru telah terbukti menjadi penyebab terpecah belah dan lemahnya umat Islam hari ini.
Oleh karena itu, adalah nasionalisme adalah ide batil yang tidak layak diserukan. Akan sangat berbahaya jika seruan nasionalisme yang bertentangan dengan Islam ini diserukan
Sikap ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya persatuan umat. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10).
Oleh: Jubaidah
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru