Share ke media
Opini Publik

Atasi Pengangguran dan Kemiskinan dengan Program "Siap Kerja", Emang Bisa?

01 Dec 2024 03:41:1668 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : kompas.id - Anies, Ganjar, dan Prabowo Belum Tawarkan Solusi Konkret Atasi Pengangguran - 13 November 2023

Samarinda - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar) semakin serius menangani masalah pengangguran dan kemiskinan melalui program strategis Kukar Siap Kerja. Program ini menargetkan untuk melatih dan memberikan sertifikasi keterampilan kepada 6.000 warga hingga tahun 2026, dengan tujuan meningkatkan daya saing tenaga kerja lokal di pasar kerja yang semakin kompetitif.

Kepala Bidang Pelatihan dan Produktivitas Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja (Distransnaker) Kukar, Lukman, mengungkapkan, program Kukar Siap Kerja disusun untuk menjawab kebutuhan industri akan tenaga kerja yang berkualitas. Setiap tahunnya, Distransnaker Kukar menggelar berbagai pelatihan di bidang keterampilan yang sangat diminati oleh industri, di antaranya pelatihan mekanik dasar, operator alat berat, welding, desain grafis, dan satpam Gada Pratama. 

Gagal Fokus Penyelesaian

Problem pengangguran dan kemiskinan memang masih menjadi PR besar bagi Kukar. Berbagai jurus pun sudah dilakukan. Namun, tampaknya, dari rezim ke rezim pengangguran dan kemiskinan terus menjadi problem warisan dan sulit diselesaikan hingga sekarang. Hal demikian wajar, karena sejak awal pemerintah gagal fokus dalam menyelesaikan persoalan ini.

Selama ini pemerintah hanya fokus pada aspek pasokan tenaga kerja, bukan pada menciptakan lapangan kerja. Bahkan, pendidikan vokasi yang digagas Kemendikbud dengan “mengawinkan” pendidikan dan industri belum bisa mengatasi angka pengangguran. Sebab, pengangguran meningkat karena makin sempitnya lapangan kerja. Selain itu, program tersebut hanya memberikan pelatihan sebagai tenaga mekanik, teknik, satpam dll yang statusnya sebagai “buruh” bagi para kapital dan sesuai standar perusahaan.

Padahal, menciptakan lapangan kerja adalah tugas negara, bukan tugas individu rakyat. Namun, dalam sistem kapitalisme, rakyat justru dituntut bekerja tanpa harus menggantungkan nasibnya pada negara. Kalaulah negara membantu, itu hanya sebatas bantuan minimalis. Alhasil masyarakat masih tetap berada dalam kungkungan masalah ekonomi dan sulit mendapatkan pekerjaan. Untuk itu, pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan program Kukar siap kerja merupakan program “cuci dosa” oleh pemerintah karena ketidakmampuannya dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran. 

Maka, semua kondisi tersebut cukuplah menjadi bukti akan kegagalan sistem kapitalisme dalam memimpin negara. Peran negara dalam sistem inipun hanya sebatas regulator. Bahkan, negara tidak jarang berkolaborasi dengan pemilik modal untuk memeras keringat rakyatnya. Tak heran, penguasaan aset-aset kekayaan alam dan lahan yang mestinya bisa menjadi lapangan kerja bagi rakyat, dihambat oleh kebijakan rezim kapitalistik. Imbasnya, lapangan kerja makin sulit, kemiskinan kian mencekik, dan negara pun mengabaikan peran utamanya sebagai pengurus rakyat.

Cara Islam Mengatasi Pengangguran dan Kemiskinan

Pengangguran dan Kemiskinan akan selalu menjadi permasalahan yang mengiringi ideologi kapitalisme. Berbagai program tidak akan bisa menuntaskan persoalan pengangguran dan kemiskinan selama perangkat sistem kapitalisme tidak diganti. Oleh karena itu, penerapan sistem Islam adalah satu-satunya jalan pintas untuk menyelesaikan problem tersebut.

Islam memiliki cara tersendiri dalam menuntaskan akar persoalan pengangguran dan turunannya. Pertama, Allah SWT. memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk menjamin kebutuhan pokok mereka yaitu sandang, papan, pangan, penyediaan layanan pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, pengaturan kepemilikan dan sebagainya. Rasulullah SAW. bersabda: “Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Kedua, terkait pengelolaan kepemilikan, Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini dalam tiga aspek: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Adanya kepemilikan individu ini menjadikan rakyat termotivasi untuk berusaha mencari harta guna mencukupi kebutuhannya. 

Aset yang tergolong kepemilikan umum tidak boleh dimiliki sama sekali oleh individu atau dimonopoli swasta. Karena ini adalah harta umat, maka pengelolaannya diserahkan pada negara agar hasilnya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh umat. Adanya kepemilikan negara dalam Islam akan menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan dan aset-aset yang cukup untuk mengurusi umat. Termasuk memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin.

Ketiga, jika ada individu yang malas bekerja, cacat, atau tidak memiliki keahlian, maka negara berkewajiban memaksa mereka bekerja dengan menyediakan sarana dan prasarananya. Hal ini pernah dilakukan Khalifah Umar ra. ketika mendengar jawaban orang-orang yang berdiam di masjid pada saat orang-orang sibuk bekerja bahwa mereka sedang bertawakal. Saat itu beliau berkata, “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian Umar ra. mengusir mereka dari masjid dan memberi mereka setakar biji-bijian.

Keempat, negara akan memberlakukan investasi halal untuk dikembangkan di sektor riil baik di bidang pertanian dan kehutanan, kelautan, dan tambang maupun meningkatkan volume perdagangan.  Keempat, negara mengembangkan industri alat-alat (industri penghasil mesin) sehingga akan mendorong tumbuhnya industri-industri lain. 

Kelima, kewajiban bekerja hanya dibebankan pada laki-laki. Kaum perempuan tidak wajib bekerja. Fungsi utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengurus rumah suaminya (ummu warabatul bayt). Kondisi ini akan menghilangkan persaingan antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Dengan kebijakan ini, lapangan pekerjaan sebagian besar akan diisi oleh laki-laki, kecuali sektor pekerjaan yang memang harus diisi oleh perempuan.

Demikianlah mekanisme sistem Islam dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Tentu, Semua langkah tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya penegakan syariat Islam secara kaffah. Wallahua’lam bish shawab

Oleh: Ita Wahyuni, S.Pd.I. (Pemerhati Masalah Sosial)