Share ke media
Politik

Awas, Produk DPRD Kaltim Terancam Inkonstitusional

08 Nov 2021 11:00:441015 Dibaca
No Photo
Muhammad Husni Fahruddin ( Ayub ), Sekretaris DPD Golkar Kaltim

Samarinda - Setelah Sidang Paripurna DPRD Kaltim ke 25 diselesaikan termasuk mengumumkan pemberhentian Makmur HAPK sebagai Ketua DPRD dengan pengganti Hasanuddin yang juga sama-sama dari Fraksi Golkar, polemik muncul karena Makmur HAPK tetap memimpin kegiatan kedewanan sebagai Ketua DPRD Kaltim ditambah dengan statmen Wagub Kaltim Hadi Mulyadi yang tidak akan menindaklanjuti proses pergantian tersebut bila belum ada keputusan yang inkracht.

Menanggapi hal tersebut Sekretaris DPD Partai Golkar Provinsi Kaltim yang juga praktisi hukum Muhammad Husni Fahruddin menyampaikan bahwa tetapnya Makmur HAPK menjalankan fungsinya sebagai Ketua DPRD Kaltim maka produk-produk yang dihasilkan oleh DPRD Kaltim sebagai sebuah institusi akan menjadi inkonstitusional.

“Paripurna DPRD Kaltim yang mengumumkan pemberhentian ketua DPRD dengan dihadiri anggota DPRD dan dibacakan surat keputusannya langsung oleh sekretaris dewan, maka sejak saat itu posisi Makmur telah tidak menjadi Ketua, namun Hasanuddin juga tidak otomatis menjadi ketua yang baru, posisi ketua DPRD menjadi kosong, kekosongan ini tidak boleh ada dalam sebuah lembaga, sehingga pimpinan DPRD Kaltim yang tersisa yakni para wakil-wakil ketua haruslah bersepakat bersama anggota lainnya dalam sebuah sidang paripurna untuk menunjuk pelaksana tugas ketua DPRD Kaltim, selama masa transisi ini, sebelum di sahkan oleh Mendagri, maka plt ketua ini yang secara konstitusi menggantikan posisi sebagai ketua agar produk yang dihasilkan oleh sebuah lembaga menjadi sah secara hukum”,  jelas husni yang akrab disapa dengan panggilan Ayub ini.

Apabila Ketua DPRD Kaltim masih dipimpin oleh seorang yang secara konstitusi telah di berhentikan maka produk apapun yang dihasilkan oleh “karang Paci” (sebutan lain kantor DPRD Kaltim) menjadi inkonstitusional dan rentan bermasalah hukum.

“Jikalau produk yang dihasilkan DPRD Kaltim inkonstitusional maka menjadi cacat hukum dan batal demi hukum yang berakibat semua keputusan, kebijakan, pengelolaan keuangan termasuk pengesahan APBD 2022 cacat hukum atau mungkin hal ini di sengaja agar ada alasan hukum pihak eksekutif membuat Pergub lagi sama seperti APBDP 2021 yang lalu tanpa melibatkan DPRD Kaltim dan akhirnya semua keputusan lainnya yang seharusnya mengikutsertakan fungsi legislatif rentan digugat ke lembaga peradilan”, jelas ayub yang juga aktif di Komite Transparansi Pembangunan ini.

Terkait adanya proses hukum yang masih berjalan dalam polemik pergantian Ketua DPRD Kaltim ini, husni menjelaskan, “dalam proses pergantian Ketua DPRD semua orang harus mengacu pada aturan yang termaktub didalam UU nomor 17 tahun 2014 tentang MKD, PP nomor 12 tahun 2018 tentang pedoman penyusunan tatib yang kemudian di turunkan dalam tatib DPRD Kaltim nomor 1 tahun 2020, jadi kalau belum memahami aturan main tersebut pasti akan terus mem polemikan diri, proses hukum di peradilan umum yang dilakukan oleh pak makmur silahkan saja berproses, menunggu proses berjalan, mekanisme pergantian ketua DPRD Katim juga harus berjalan, kemudian munculnya alasan tidak boleh dijalankan proses pemberhentian Ketua DPRD karena belum ada putusan pengadilan yang bersifat inkraht, maka politik hukum memang agak sedikit memerlukan pemikiran yang realistis dari sisi politis, karena pengesahan pemberhentian seorang menjadi ketua DPRD dan pengesahan seseorang menjadi pengganti atau Ketua DPRD yang baru adalah kewenangan Mendagri, bila sudah ada pengesahan dari Mendagri baru produk Mendagri ini yang bisa di jadikan objek sengketa karena bila menjadikan objek sengketa adalah produk putusan partai politik dalam hal ini surat persetujuan DPP Golkar dan mekanisme yang menyertainya maka aturan telah menyebutkan agar diselesaikan dalam tingkatan yang di sebut dengan Mahkamah Partai karena bersifat internal partai, apalagi ini bukan diberhentikan sebagai anggota DPRD tetap hanya digeser sebagai alat kelengkapan dewan”, imbuh Ayub.

“Bila berhitung dari siapa yang dirugikan, maka jangan mengkalkulasi kerugian dari pihak pak makmur sebagai penggugat atas pemberhentian dirinya tapi coba lihat kerugian yang di alami partai politik, karena jabatan ketua DPRD itu adalah kepanjang-tanganan partai politik, saat yang bersangkutan sudah merasa bukan bagian dari partai, tidak mau terlibat dalam kegiatan partai, bukan penyambung lidah rakyat melalui aspirasi di partai dan tidak mengayomi konstituen partainya maka betapa besar kerugian yang dialami sebuah lembaga yang bernama partai politik, sehingga kedua belah pihak mengalami kerugian, untuk itu dalam sebuah lembaga politik putusan hukum yang bersifat inkraht nantinya bisa langsung diikuti apapun keputusan tersebut, bila pak makmur ternyata gugatannya diterima secara inkraht nantinya maka posisinya otomatis akan dikembalikan seperti sedia kala dan bila ternyata gugatan pak makmur ditolak maka mekanisme telah selesai dijalankan, jangan sampai hukum dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, karena setelah awalnya meminta putusan Mahkamah Partai Golkar, dilanjutkan dengan gugatan PMH di Pengadilan Negeri dan kemungkinan juga akan melakukan gugatan TUN di PTUN yang jelas ini untuk memperpanjang waktu posisi sebagai ketua saja sehingga Golkar juga memerlukan kepastian hukum terkait pergantian ketua DPRD Katim ini.

Sehubungan pihak Pemprov Kaltim yang tidak akan menindaklanjuti surat DPRD Kaltim ke Mendagri, Maka sesuai Tatib DPRD Kaltim Nomor 1 Tahun 2020, Pasal 26 ayat (1) Pimpinan DPRD menyampaikan keputusan tentang pemberhentian dan penggantian pimpinan kepada Menteri dalam negeri melalui Gubernur paling lambat 7 hari sejak paripurna; ayat (2) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat menyampaikan keputusan DPRD kepada Menteri paling lama 7 Hari sejak diterima Putusan DPRD.

“Dulu Senayan dan Mendagri sangat faham ketika membuat aturan ini yang di jadikan acuan dalam proses pembuatan tatib DPRD diseluruh Indonesia, akan ada polemik mengenai hak absolut partai politik ketika ingin memberhentikan atau merotasi pimpinan DPRD, makanya kemudian dipertegas dengan adanya batasan waktu, agar proses dan mekanisme bisa berjalan dengan lancar jangan sampai tersendat karena ketidakfahaman dan kepentingan politik tertentu”, tegas ayub yang juga sekjend Laskar Kebangkitan Kutai (LKK) ini secara diplomatis.

Selanjutnya Ayub menyampaikan bahwa “Pergantian Ketua DPRD ini hal yang lumrah, sangat sah dimata hukum karena ada payung aturan yang menaunginya, masyarakat jangan terikut dan terombang-ambing dalam domain politis ini, yang patut kita kawal sekarang adalah produktivitas dan kinerja seorang ketua DPRD Kaltim, kalau nantinya pengganti Pak Makmur tidak menghasilkan produktivitas dan kinerja yang tinggi dan tidak signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak mampu menjadi penyeimbang lembaga eksekutif agar gubernur dan Jajarannya dapat profesional dalam menjaga SDA kaltim sebagai contohnya, barulah saatnya masyarakat Kaltim bersuara lantang, saya sebagai putra kutai siap menjadi garda terdepan dalam menyuarakan tuntutan masyarakat Kaltim”. (Red/Ar)