Share ke media
Opini Publik

Bahaya Dibalik Pengembangan Pariwisata Lewat Pelestarian Budaya

29 Jul 2023 03:56:32508 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : eticon.co.id - Mengenal Pariwisata Berbasis Budaya (Cultural Tourism) - 3 November 2021

Samarinda - Setelah disahkan tahun 2022 lalu, penyebarluasan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10/2022 tentang Pemajuan Kebudayaan, langsung ditindaklanjuti oleh wakil Berau di DPRD Kaltim, Makmur HAPK. Menurut wakil bupati Berau periode 2005-2015 itu, penyebarluasan Perda Nomor 10/2022 ini juga untuk menumbuhkembangkan seni dan budaya yang ada. Pasalnya, Ia menginginkan seni dan budaya bukan hanya sebagai simbol suatu daerah saja. 

Selain itu adanya penyebarluasan Perda ini, Makmur berharap kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau juga berkomitmen untuk mengembangkan dan melindungi kebudayaan. Sebab, itu adalah salah satu hal yang patut dilakukan untuk menjaga setiap warisan leluhur. (berau.prokal.co, 9/7/2023).

Sebenarnya ini menjadi suatu yang lumrah dan menjadi kebiasaan para petuah untuk menjaga setiap warisan leluhurnya. Namun, ada hal yang harus diperbaiki ulang mengenai esensi sebuah kebudayaan karena bukan hanya bicara melestarikan budaya leluhur. 

Akan tetapi, bagaimana adanya seni dan budaya itu memberikan kebaikan dan manfaat yang luas dan tidak melenceng dari aturan agama. Bahkan, bukan menjadi jalan mulus bagi orang-orang asing dan aseng untuk menguasai wilayah strategis di berbagai bidang yang di dalamnya kekayaan alam sangat melimpah. 

Terkhusus,  di bidang pariwisata, adanya Perda Nomor 10/2022 tentang Pemajuan Kebudayaan, meskipun atas nama pelestarian budaya, tetap banyak celah untuk menjajah dan merampas kekayaan alam negeri ini dengan regulasi yang ada termasuk perda tersebut.

Mewaspadai Pengembangan Pariwisata Lewat Pelestarian Budaya

Sudah menjadi rahasia umum, dalam sistem kapitalisme saat ini, tiap undang-undang atau kebijakan yang dibuat hanya berpihak pada penguasa dan para kapital/pengusaha. Dan ini membuka jalan bagi swasta untuk mengeruk kekayaan alam negeri ini dengan jeratan gurita nya.  

Sehingga, adanya perda terkait pengembangan pariwisata lewat pelestarian budaya, sejatinya telah melenakan. Sesungguhnya ada SDA negeri ini yang dijajah dan dieksploitasi oleh swasta. Berharap ekonomi dari pariwisata lewat pengembangan budaya menjadi pupus. Yang terjadi, malah terperdaya dengan dosa karena kesyirikan dan kemaksiatan. 

Bagaimana kekayaan SDA nampak nyata dan transparan diambil begitu mudah dan cepat oleh asing maupun aseng. Dan cara pandang yang sekuler kapitalistik telah menjadikan sektor pariwisata berkembang tanpa melihat norma agama.

Atas nama kepentingan ekonomi, pariwisata berbau sirik atau sinkretisme (percampuran agama) menjadi legal atas nama moderasi beragama.

Bahkan tak bisa dipungkiri, betapa banyak kebudayaan yang di dalamnya mengandung unsur kesyirikan dan kemaksiatan. Lihatlah bagaimana adat istiadat yang menyajikan sesaji di pantai/laut atau tradisi membuang naas yang dihidupkan kembali oleh masyarakat di Kampung Talisayan, Berau, Kalimantan Timur.  

Fakta ini sudah jelas syirik karena berharap pada selain Allah. Namun,  begitu bobroknya sistem hari ini, hal ini malah difasilitasi dan dikembangkan dalam sektor pariwisata dengan dalih toleransi beragama.

Sudah menjadi lumrah diketahui publik bahwa bisnis leasure identik dengan miras dan prostitusi. Sehingga, bagi kalangan pemuja kebebasan, miras dan prostitusi adalah kesenangan jasadiyah yang harus dipenuhi dan jadi budaya kebebasan. Baik miras maupun prostitusi, selalu melingkari kawasan wisata. Dalam sistem kapitalisme, bisnis ini legal bahkan dilindungi. Tidak peduli apakah bisnis tersebut menyebabkan kemudaratan bagi masyarakat atau tidak.

Pandangan Islam tentang Budaya dan Pariwisata

Begitu nampak indah konsep Islam tentang budaya dan pariwisata yang memuliakan dan menjaga fitrah manusia dari kerusakan. Ini jauh sekali dengan paradigma sistem kapitalis yang rusak dari akarnya.

Sesungguhnya, pariwisata dalam pandangan Islam adalah tempat syiar yang efektif karena selain menyodorkan keindahan alam sebagai bukti ke-Mahabesaran Allah SWT, pariwisata pun menjadi tempat untuk memperkenalkan budaya Islam yang cantik dan menawan sehingga para turis akan makin memahami Islam, takjub dengan kemuliaan islam serta semakin dekat dengan rahmat Allah SWT.

Islam tidak alergi bicara budaya dan seni. Tetapi, is6lam justru memberikan pandangan sempurna dan menawan terhadap budaya yang mengembalikan manusia pada penghambaan kepada Sang Kholiq semata. Islam tidak buta pada kebudayaan. Namun Islam mengatur budaya itu tunduk pada sang Maha Pembuat Aturan yakni Allah SWT. Sehingga, budaya-budaya tetap ada dan itu tidak menabrak syariat Allah SWT. 

Jadi, sangat berbeda, bagaimana Islam dan kapitalisme meletakkan budaya. Islam meletakkan budaya tunduk dan ikut sesuai syariat, sementara kapitalisme justru sebaliknya. Budaya menjadi primadona yang harus selalu diikuti walau itu menabrak agama. 

Demikian, menjadi penting untuk dipahami oleh umat bahwa menjadikan pariwisata sebagai salah satu bagian sarana dakwah bukan hanya berbicara sebatas konsep teknisnya saja. Tetapi lebih dari itu, kita harus membenahi landasan pengelolaan negara yang sekuler menjadi Islam agar sektor pariwisata kembali memiliki fungsi utamanya yaitu syiar Islam. Wallahu a’lam.

Oleh: Nur Haya, S.S

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu dari masyarakat yang ingin menuangkan pemikiran, ide dan gagasannya yang hak ciptanya sepenuhnya dimiliki oleh yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.