Share ke media
Opini Publik

BALIKPAPAN SEBAGAI KOTA MICE: PEMBANGUNAN UNTUK RAKYAT ATAU PEBISNIS KAPITALIS?

17 Dec 2024 03:11:12137 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : travel.kompas.com - BALIKPAPAN SEBAGAI KOTA MICE: PEMBANGUNAN UNTUK RAKYAT ATAU PEBISNIS KAPITALIS? - 1 Mei 2024

“Bisnis besar sering kali menjadi perusak terbesar dari kesejahteraan rakyat atas nama kemajuan.”

— Howard Zinn, Sejarawan dan Aktivis Penentang Kapitalisme.

Howard Zinn adalah seorang sejarawan, penulis, profesor, dan aktivis politik Amerika yang dikenal karena kritiknya terhadap ketidakadilan sosial, kapitalisme, dan perang. Karyanya sering mengungkap sejarah dari perspektif orang-orang yang terpinggirkan, seperti kelas pekerja, perempuan, dan minoritas. Dalam perkataannya di atas, Howard Zinn menyoroti ironi pembangunan yang digerakkan oleh perusahaan besar. Dalam mengejar keuntungan, mereka sering kali mengklaim bahwa tindakan mereka adalah demi “kemajuan” atau “pembangunan.” Namun, kenyataannya, kebijakan dan proyek mereka justru dapat merugikan kesejahteraan masyarakat, seperti meningkatkan kesenjangan ekonomi, menghilangkan akses terhadap kebutuhan dasar, atau merusak lingkungan hidup yang menjadi sumber penghidupan banyak orang.

Penambahan Fasilitas di Balikpapan Guna MICE

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Balikpapan mendorong untuk menambah fasilitas ruang pertemuan, seiring dengan pesatnya perkembangan kota ini setelah ditetapkannya Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Wakil Ketua DPRD Kota Balikpapan, Yono Suherman, mengungkapkan potensi Balikpapan sebagai pusat kegiatan skala nasional dan internasional harus didukung dengan sarana yang memadai sehingga penting untuk diadakan penambahan fasilitas guna mendukung Balikpapan sebagai destinasi meeting, insentif, convention, dan exhibition (MICE).

“Kota Balikpapan saat ini kerap menjadi lokasi pertemuan, baik yang berskala daerah, nasional, hingga internasional, khususnya sejak ditetapkannya IKN di Kaltim.

DPRD dan Pemkot Balikpapan selama ini telah mendukung penuh pembangunan IKN dengan menyiapkan berbagai fasilitas untuk menarik investor, baik yang berinvestasi di Balikpapan maupun di IKN,” ujar Yono, Selasa (3/12).

MICE Untuk Siapa?

Kawasan atau kota MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) adalah area khusus yang didesain untuk menyelenggarakan berbagai jenis acara bisnis dan professional, seperti rapat, konferensi, perjalanan insentif, dan pameran. Penetapan sebuah kawasan sebagai MICE adalah adanya sarana dan prasarana pendukung berbagai kegiatan bisnis, sehingga infrastruktur canggih seperti pusat konvensi, hotel berbintang, akses transportasi, serta hal-hal yang menarik bagi pebisnis untuk melakukan kegiatan bisnis di suatu wilayah, menjadi sebuah hal yang wajib adanya.  Sehingga pada dasarnya, sebagian besar pembangunan kawasan MICE didorong oleh kebutuhan untuk menarik investasi asing dan lokal, yang memprioritaskan keuntungan finansial dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan seperti ini hanya akan fokus pada kebutuhan dan keinginan para pemilik modal (pebisnis/kapitalis), yang tentu kebutuhan antara kelompok pebisnis dan masyarakat berbeda jauh. Masyarakat menginginkan tercapainya kesejahteraan dan keadilan sosial, sedangkan para kapitalis menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran seefisien mungkin.

Kepentingan Kapitalis Merusak Kepentingan Rakyat

Pembangunan yang berorientasi pada pebisnis sering kali memunculkan kritik karena dinilai lebih banyak membawa manfaat kepada segelintir elite pengusaha dibandingkan rakyat secara keseluruhan. Pertama, pembangunan seperti ini cenderung memperbesar ketimpangan sosial dan ekonomi. Infrastruktur seperti pusat konvensi, hotel berbintang, dan kawasan bisnis sering kali menguntungkan para pemodal besar, sementara masyarakat lokal tidak merasakan dampak langsungnya. Banyak proyek pembangunan juga mengakibatkan penggusuran masyarakat kecil tanpa kompensasi yang memadai, menciptakan ketidakadilan yang semakin memperlebar kesenjangan antara kelas sosial.

Kedua, dampak negatif terhadap lingkungan menjadi isu utama dalam proyek pembangunan yang berfokus pada pebisnis. Pembangunan berskala besar sering kali mengorbankan kawasan hijau untuk kepentingan properti komersial. Contohnya, alih fungsi lahan untuk kawasan MICE atau mal kerap kali menyebabkan hilangnya ruang hijau, kerusakan ekosistem, dan peningkatan risiko bencana alam seperti banjir. Hal ini bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang seharusnya menjadi prioritas untuk masa depan.

Ketiga, kebutuhan dasar masyarakat sering diabaikan dalam pembangunan seperti ini. Anggaran yang besar dialokasikan untuk proyek-proyek bisnis sementara sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik untuk rakyat tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini mengakibatkan masyarakat tetap bergulat dengan masalah-masalah mendasar, sementara manfaat dari proyek-proyek besar lebih fokus memberikan keuntungan pada kelompok pebisnis dan wisatawan.

Keempat, pembangunan yang berorientasi pada pebisnis sering kali meminggirkan masyarakat lokal dan usaha kecil. Dengan hadirnya perusahaan besar yang mendominasi ekonomi kawasan, masyarakat kecil sulit bersaing dan kehilangan akses ekonomi yang layak. Ditambah lagi, kebijakan pembangunan seperti ini sering kali melibatkan investor asing yang lebih berfokus pada keuntungan tanpa memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, pembangunan yang hanya berorientasi pada kepentingan pebisnis perlu dikritisi karena menciptakan ketimpangan sosial, merusak lingkungan, dan mengabaikan kebutuhan dasar rakyat. Pembangunan ini cenderung mengabaikan kebutuhan dasar masyarakat setempat, seperti penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, atau fasilitas umum lainnya yang lebih merata. Akibatnya, meskipun kota atau kawasan tersebut berkembang pesat dalam hal bisnis, masyarakat lokal justru terpinggirkan, terhambat oleh ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Pendekatan ini hanya akan menguntungkan segelintir elite pengusaha tanpa membawa dampak jangka panjang yang positif bagi masyarakat luas. Yang pada akhirnya hanya menghasilkan polarisasi antara para pemilik kapital dan rakyat.

Kepemimpinan Islam Tiadakan Kapitalisme

“Barang siapa yang mengurus urusan kaum Muslimin, kemudian ia tidak berusaha keras (menghindari) kemiskinan dan kebutuhan mereka, maka ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR. Ahmad)

Hadits di atas menjelaskan bahwa pemimpin harus fokus pada pembangunan yang adil, merata, dan inklusif. Prinsip ini telah diaplikasikan lengkap dengan seperangkat sistem Islam yang mendukung ketercapaian pembangunan nasional yang merata. Dengan bukti keberhasilan nyata yang tak ternafi’kan dunia, yakni peradaban khilafah yang menjadi peradaban adidaya Islam selama 13-14 lamanya. Kesuksesan peradaban Isla tak lain dan tak bukan karena sistem Islam menjamin setiap syariat direalisasikan sempurna, sehingga hasilnya pun sempurna, tidak mendzalimi pihak lain.

Beberapa poin penting kesusksesan syariat Islam mengadakan pembangunan yang adil, merata, dan inklusif.

1.Konsep Keadilan Sosial dan Ekonomi

Islam menekankan keadilan dalam distribusi kekayaan dan peluang ekonomi agar tidak terjadi ketimpangan. Hal ini termaktub dalam maqashid syariah yang bertujuan menjaga kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Al-Qur’an menyatakan dalam Surah Al-Hasyr [59:7]:

”...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”

Ayat ini menegaskan bahwa distribusi kekayaan harus merata dan tidak boleh hanya berpusat pada kelompok tertentu.

2.Instrumen Redistribusi Kekayaan

Islam memiliki mekanisme untuk memastikan pembangunan dapat berjalan merata melalui instrumen ekonomi seperti:

Zakat: Salah satu rukun Islam yang berfungsi sebagai alat distribusi kekayaan dari golongan mampu kepada golongan yang membutuhkan (QS. At-Taubah [9:60]).

Infaq dan Sedekah: Dana sukarela yang dianjurkan untuk membantu sesama dan mendukung kebutuhan umat.

Wakaf: Aset produktif yang ditujukan untuk kepentingan publik, seperti membangun sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum.

Jizyah: Pungutan yang dipungut dari laki-laki non-Muslim yang mampu (jizyah).

Kharaj: pungutan dar hasil bumi atau tanah (kharaj) dalam konteks pemerintahan Islam.

3.Pemerataan Pembangunan Melalui Pengelolaan Sumber Daya Alam

Sumber daya alam dalam Islam dianggap sebagai milik bersama (harta milik umum) yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Keuntungan dari pengelolaan ini digunakan untuk membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang merata. Rasulullah SAW bersabda:

“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api (sumber energi).” (HR. Abu Dawud)

Ini menegaskan bahwa sumber daya strategis tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok, melainkan dikelola untuk kepentingan masyarakat luas.

Dengan penerapan syariat-syariat Islam ini dalam sistem yang kaffah (menyeluruh), negara dapat melakukan pembangunan tanpa perlu “memohon” pada para pebisnis kapitalis untuk melakukan berbagai investasi yang malah mengorbankan rakyat dan lingkungan.

Oleh: Diyaa Aaisyah Salmaa (Dosen)