Samarinda - Sejak awal bulan mei, 17 wilayah perkampungan dan 67 RT dari empat kecamatan di Kabupaten Berau, yakni Sambaliung, Teluk Bayur, Kelay dan Segah Kalimantan Timur, dilanda banjir besar setinggi 3 meter. Banjir terjadi akibat luapan Sungai Kelai. Aktivitas warga menjadi lumpuh akibat banjir ini. Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Berau, sebanyak 3.993 kepala keluarga (KK) yang terdampak banjir. Jumlah kepala keluarga (KK) yang terdampak banjir sebanyak 3.993 dengan jumlah jiwa 12.025 orang.(berauterkini.co.id, Kamis (8/5/2025).
Banjir kali ini lebih besar dibanding banjir pada Maret lalu. Saat itu, ada 3.444 KK dengan 10.327 jiwa di 56 RT dari 9 kampung di 4 kecamatan yang terdampak banjir. Dengan kejadian ini, setidaknya 4 kecamatan itu sudah mengalami dua kali banjir cukup parah sepanjang 2025. Selain itu dampak lain dari banjir ini adalah ancaman gagal panen karena banyak lahan area pertanian warga yang terendam air, dan matinya sejumlah hewan ternak warga. Demi keamanan dan keselamatan warga yang terdampak banjir banyak memilih mengungsi sementara ke tempat yang lebih aman atau ke keluarga yang lokasinya lebih aman dari banjir.
Lagi-lagi penyebab banjir selalu pada curah hujan yang tinggi dan pendangkalan sungai. Untuk itu pemerintah berencana membuat jalur air (gorong-gorong) d berbagai titik dan meninggikan pembangunan jalan. Banjir sering terjadi dari dulu, bedanya sekarang makin meluas dan semakin tinggi, dan dalam durasi yang lebih lama.
Dengan memperhatikan dan mengamati dengan jeli kondisi lingkungan saat ini terutama di hulu sungai menunjukkan banyak hutan gundul sehingga air dengan mudah membawa material. Sedangkan rencana pengerukan sungai oleh pemerintah belum ada.
Alih fungsi lahan di hulu sungai sebagai salah satu pengendali arus air, rusak karena pohon dan hutan sdh di babat untuk pertambangan batu bara dan perkebunan sawit. Perijinan tambang dan perkebunan sawit merajalela, sementara pemerintah daerah tidak memiliki wewenang secara langsung untuk menata usaha pertambangan dan perkebunan sawit termasuk pengawasan dampak lingkungan.
Fatur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, mengatakan, cuaca bukan satu-satunya penyebab banjir parah di Berau tetapi karena marak alih fungsi lahan yang menyebabkan hilangnya daerah resapan. Walhi Kaltim pun menganalisis daerah aliran sungai (DAS) dan hutan yang hilang. Melalui analisis spasial Geographic Information System (GIS) menggunakan data Pusat Peta Batas Wilayah milik Badan Informasi Geospasial, luas administrasi mencapai 1.405.800,34 hektar pada 2018, untuk empat kecamatan terdampak, yakni Kelay, Sambaliung, Teluk Bayur, dan Segah.
Dari luasan itu, luas tutupan hutan 1.268.733,89 hektar pada 2000, berkurang menjadi 1.123.603,54 hektar pada 2022. Itu berarti, hanya dalam dua dekade, tutupan hutan hilang mencapai 145.130,45 hektar, hampir setara dua kali luas Singapura.
Hilangnya tutupan hutan itu untuk berbagai kegiatan, seperti permukiman, perkebunan sawit hingga pertambangan batubara. Analisis Walhi Kaltimata Minerba One Maps Indonesia Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) 2018, terdapat 32 perusahaan pertambangan batubara di empat kecamatan terdampak banjir dengan luas konsesi 76.413,01 hektar.
Direktur eksekutif Walhi ini yakin, perubahan bentang buntut alih fungsi lahan ini berkontribusi besar terhadap banjir Berau beberapa pekan lalu. Kondisi DAS rusak pada menyebabkan air dengan cepat melaju hingga memenuhi badan sungai, (Mongabay, 19 april 2025).
Terjadinya banjir berulang bukan semata karena curah hujan tinggi dan pendangkalan sungai. Namun, akar masalahnya adalah kebijakan pembangunan kapitalistik yang telah mengabaikan lingkungan dan dampaknya pada Masyarakat.
Islam sebagai agama yang paripurna, diturunkan Allah swt melalui nabiNya Rasulullah saw untuk menjadi Solusi bagi seluruh permasalahan umat manusia termasuk banjir ini. Menurut Syamsuddin Ramadhan (hizbut-tahrir.or.id, 6/1/2013 negara dalam Islam harus memiliki kebijakan mutakhir dan efisien, yang meliputi sebelum, ketika, dan pasca banjir. Kebijakan dalam mencegah terjadinya banjir tersebut adalah sebagai berikut
Pertama, kasus banjir yang disebabkan keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, akan ditempuh beberapa upaya berikut: (1) Membangun berbagai bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dll. (2) Memetakan berbagai daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim dll), dan selanjutnya mengeluarkan kebijakan melarang membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut; atau jika ada pendanaan yang cukup, negara akan membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini, maka berbagai wilayah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan. Sedangkan daerah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan genangan, namun karena berbagai sebab terjadi penurunan tanah, sehingga terkena genangan atau banjir, maka negara akan berusaha semaksimal mungkin menangani genangan itu, dan jika tidak mungkin negara akan mengavakuasi penduduk di daerah itu dan dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan kompensasi; (3) Membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau apapun namanya untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. Secara berkala, dilakukan pengerukan lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, negara juga akan melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau. (4) Membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan sebagai tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama musim kemarau atau paceklik air.
Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, negara akan menggariskan beberapa hal penting berikut: (1) Membuat kebijakan tentang master plan, yang di dalamnya ditetapkan kebijakan sebagai berikut; pertama, pembukaan pemukiman atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase; kedua, penyediaan daerah serapan air; ketiga, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Dengan kebijakan ini, negara mampu mencegah kemungkinan terjadinya banjir. (2) Mengatur syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan. Jika seseorang hendak membangun sebuah bangunan, baik rumah, toko, dll, maka ia harus memperhatikan syarat-syarat tersebut. Kebijakan tersebut tidak untuk menyulitkan rakyat yang hendak membangun sebuah bangunan. Bahkan negara akan menyederhanakan birokrasi, dan menggratiskan surat izin pendirian bangunan bagi warganya. Hanya saja, ketika pendirian bangunan di lahan pribadi atau lahan umum, diduga bisa mengantarkan bahaya, maka Khalifah diberi hak untuk tidak menerbitkan izin pendirian bangunan. Hal ini sesuai kaidah ushul fikih ad-dhararu yuzâlu (bahaya itu harus dihilangkan). Khilafah pun akan memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pandang bulu. (3) Membentuk badan khusus yang menangani berbagai bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Selain dilengkapi peralatan canggih, petugas lapangan juga dilengkapi pengetahuan yang cukup tentang SAR ( search dan rescue), serta ketrampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam. Mereka diharuskan siap sedia setiap saat, dan bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah. (4) Menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam yang harus dilindungi. Juga menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Termasuk memberi sanksi berat bagi yang merusak lingkungan hidup. (5) Mensosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan. Ini sesuai ketetapan syariat mengenai dorongan berlaku hidup bersih dan tidak membuat kerusakan di muka bumi. Negara pun mendorong kaum Muslim menghidupkan tanah-tanah mati atau lahan kurang produktif, sehingga bisa menjadi buffer lingkungan yang kokoh.
Ketiga, dalam menangani korban bencana alam, negara akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan lokasi bencana. Lalu menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak, agar korban bencana alam tidak menderita wabah penyakit, kekurangan makanan atau terlantar. Selain itu, negara mengerahkan para alim ulama memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt.
Demikian lah islam memberikan solusinya. Penyelesaian banjir dalam negara dilakukan secara sistemis, yaitu dengan menerapkan sistem Islam kafah. visi negara sebagai pengelola bumi Allah sehingga tidak akan pernah membuat aturan dan kebijakan yang merusak bumi. “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’” (QS Al-Baqarah [2]: 30). Juga firman-Nya, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.” (QS Al-A’raf [7]: 56). Ketika saat ini terjadi bencana yang demikian hebatnya, patut disadari bahwa itu merupakan kerusakan yang disebabkan manusia tidak mau menjalankan syariat Allah Taala, sebagaimana firman-Nya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum [30]: 41). Wallahualam bissawab.
Oleh : dr.Sulistiawati MAP