Share ke media
Opini Publik

Banjir Kariangau, Apakah Karena IKN baru?

16 May 2023 10:47:18590 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : kaltim.suara.com - Banjir Kariangau, Apakah Karena IKN baru? - 22 Maret 2023

Samarinda - Hujan yang mengguyur Kota Minyak sejak Selasa (25/4) pagi, membuat sejumlah daerah kembali tergenang. Pantauan BPBD Balikpapan beberapa titik tergenang. Khususnya di kawasan utara kota. Salah satunya di sekitar Kilometer 5,5 Kariangau. Tepatnya dekat lapangan Karang Joang Golf.


Plt Kepala BPBD Balikpapan, Usman Ali menuturkan, banjir menggenangi Jalan Kariangau dengan ketinggian air 120 sentimeter atau sepinggang badan dewasa. Serta permukiman sekitar ikut terendam dengan ketinggian air 1,5 meter. Sebab, di sana merupakan dataran rendah.


Menurutnya, hujan dengan intensitas tinggi mulai pagi sampai sore hari, sehingga mengakibatkan banjir. Kemudian terpantau jam surut sekitar pukul 16.00 Wita. Sifatnya area rendah dan air bisa tergenang beberapa jam hingga surut. Ini sama seperti di kawasan Beller. ( Kaltimpost.jawapos.com,27/04/2023)


Banjir besar yang melanda sebagian kawasan permukiman di Kota Balikpapan, hari ini, bukan kejadian yang tidak bisa diduga sebelumnya. Karena ahli yang pernah melakukan penelitian menyebutkan sebanyak 24 faktor penyebab banjir, belum ditangani semua oleh Pemerintah Kota Balikpapan.


Di resume hasil penelitiannya yang dipublikasikan di Jurnal Penataan Ruang Vol. 15 Nomor 2 Tahun 2020 , para ahli ini mengatakan, dari 24 faktor penyebab banjir tersebut, rinciannya disebutkan, 10 karena faktor eksternal dan 14 karena faktor internal yang mempengaruhi terjadinya banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ampal.


“Secara umum program yang dilaksanakan pemerintah sudah sesuai dengan faktor penyebab banjir, namun terdapat beberapa program masih berupa rencana (belum ditindaklanjuti),” ujarnya. (Niaga asia, 16/04/2022)


Apakah Ada Kaitannya dengan Pembangunan IKN?


Banjir terus berulang akibat tata kelola alam yang salah (kapitalis sekuler). Padahal Balikpapan dan Kaltim pada umumnya merupakan wilayah IKN baru, tidak seharusnya banjir. Bagaimana jadinya, kalau IKN membawa dampak banjir? Maka semakin parah kota penyangga dan sekitarnya. Akankah nasib IKN baru sama dengan jakarta? Ibu kota nusantara yang permasalahan terkait banjir belum bisa diselesaikan dan belum menemukan solusi terbaik. Padahal salah satu alasan pindah ibu kota diantaranya juga karena alasan banjir.


Balikpapan sebagai kota penyangga IKN masih bermasalah mengenai tata kota, dimana penduduknya masih banyak yang tinggal di daerah resapan air. Ditambah dengan banyaknya industrialisasi dan semenisasi yang mengakibatkan resapan air berkurang akibat pori-pori tanah tertutup. Hal inilah yan menyebabkan wilayah ini sekarang sering mengalami banjir.


Hutan dibabat untuk pembangunan tol IKN, begitu juga dengan hutan-hutan kota hancur. Diperparah dengan minimnya reboisasi. Pembangunan gedung perkantoran dan perumahan yang masif di kota penyangga IKN menjadikan resapan tanah menjadi berkurang berganti dengan beton. Sehingga pada saat hujan mengguyur banjirpun tak terelakkan.


Bencana banjir memang bukan perkara baru. Nyaris setiap musim penghujan bencana banjir pasti jadi langganan bukan hanya di Kariangau tapi juga di wilayah lain di Kaltim. Risiko ekonomi dan sosial yang ditimbulkan pun sudah tidak terhitung lagi. Sementara masyarakat dipaksa menerima keadaan, dengan dalih semua terjadi lantaran faktor alam.


Padahal, penyebab banjir tidak semata faktor alam. Ada banyak hal yang harus dievaluasi dari perilaku manusia, utamanya terkait budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan. 


Penanganan banjir pun kadang terkesan lamban, sehingga masyarakat harus bertahan dalam bencana berlama-lama. Aktivitas masyarakat menjadi terganggu, akibat banjir yang tak kunjung usai dan sering menimpa mereka.


Penyebab banjir tidak bersifat tunggal, demikian pula penanganannya. Meski curah hujan akibat perubahan iklim selalu dituding sebagai penyebab banjir yang utama. Benar, jika curah hujan dan cuaca menjadi salah satu penyebabnya, tetapi alam dengan segala keseimbangannya menjadi tidak stabil saat aktivitas manusia menggeser penopang siklus alami alam. 


Curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi. Seharusnya, Kehadiran hujan sejatinya mendatangkan rahmat, bukan menjadi bencana buat manusia.


Meluasnya bencana banjir justru menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkeram. Bukan rahasia lagi mengenai intervensi besar para pemodal di lingkar kekuasaan. Fakta terjadinya reklamasi pantai, daerah resapan air yang beralih fungsi menjadi perumahan elite, ataupun tempat wisata, hanyalah satu dari sekian realitas yang terjangkau mata.


Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi faktanya memang kian tidak terkendali. Permukaan tanah pun makin turun akibat konsumsi air tanah untuk penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu pun dengan sungai. Volumenya makin menyempit akibat melimpahnya produksi sampah dan sedimentasi dampak hunian di bantaran kali. 


Alih fungsi lahan karena pembangunan masif dan tidak memperhitungkan dampak lingkungan, membuat debit air tidak tertampung secara normal. Sampah-sampah yang menumpuk pun turut memperparah kondisi ini. Walhasil, banjir pun tidak terelakkan. Kalaupun mitigasi bencana dilakukan, tampak semuanya sekadar upaya cuci tangan. Artinya, tidak benar-benar berusaha menyentuh akar persoalan. 


Islam Solusi Tuntas Banjir


Sejatinya, dunia ini butuh sistem Islam karena paradigma sistem Islam bertentangan dengan sistem kapitalisme yang diterapkan sekarang. 


Dalam sistem kapitalisme, kebijakan penguasa yang merepresentasi kepentingan para pemilik modal justru jadi sumber kerusakan, sementara sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Sang Pencipta dan Pengatur Kehidupan.


Pembangunan kapitalistik bukanlah spirit pembangunan dalam Islam. Negara tidak akan melakukan alih fungsi lahan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang demi meraih pertumbuhan ekonomi. Dalam membangun, negara harus mempertimbangkan prinsip-prinsip pengelolaan lahan yang bersifat menyeluruh.


Ajaran Islam benar-benar mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab terhadap alam bahkan dinilai sebagai bagian dari keimanan. Maka siapa saja yang melakukan kerusakan alam akan dianggap sebagai pelaku maksiat. 


Sungguh bencana terjadi saat keseimbangan alam terganggu oleh aktivitas manusia. Allah SWT berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS Ar-Rum: 41).


Dalam pembangunan, negara wajib memperhatikan pembangunan infrastruktur yang dapat menampung curah hujan dari daerah aliran sungai dalam jumlah besar dengan membangun bendungan. 


Pada masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Bukti empiris atas hal ini masih dapat kita saksikan di beberapa wilayah, yakni kala Islam pernah berkuasa di wilayah Iran maupun Turki, misalnya.


Negara juga akan membangun kanal ataupun saluran drainase untuk mengurangi dan memecah jumlah air dalam jumlah besar agar mengalir ke tempat lain yang lebih aman. 


Secara berkala, negara akan melakukan pengerukan lumpur-lumpur di sungai atau daerah aliran air untuk mencegah terjadinya pendangkalan.


Penguasa dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Semuanya bisa berjalan saat syariat Islam diterapkan secara keseluruhan.  Islam misalnya, menetapkan sumber daya alam termasuk hutan, sungai, dan tambang sebagai milik rakyat. Islam mengatur soal penggunaan tanah dan pentingnya memperhatikan tata ruang. Lalu memberikan kewenangan pengelolaannya kepada negara sebagai pemelihara urusan rakyat, seraya dengan tegas melarang eksplorasi dan eksploitasi secara serampangan sebagaimana biasa dilakukan dalam sistem kapitalisme saat ini.


Itulah kenapa saat sistem Islam ditegakkan, tidak pernah terjadi bencana yang penyebabnya di luar faktor alam. Oleh karena itu, seluruh bencana yang terjadi pada masa itu statusnya benar-benar sebagai musibah dan ujian, bukan dampak dari kerakusan dan niradab manusia terhadap lingkungan. 


Sudah saatnya kita kembali kepada aturan Islam, karena hanya dengan aturan Islam semua permasalahan manusia akan bisa diselesaikan, termasuk dalam masalah banjir. 

Wallahu a’lam bissowab

Oleh: Lifa Umami, S.HI  ( Pemerhati Masalah Sosial)

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu dari masyarakat yang ingin menuangkan pemikiran, ide dan gagasannya yang hak ciptanya sepenuhnya dimiliki oleh yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.