Samarinda - Hampir semua sosial media yang berkaitan dengan guru tengah ramai membicarakan fenomena guru berburu sertifikat untuk diunggah ke platform Merdeka Mengajar (PMM). Sertifikat-sertifikat ini menjadi syarat pemenuhan penilaian kinerja guru. Meningkatnya kompetensi melalui peran sebagai partisipan kegiatan seminar, webinar, lokakarya, konferensi, simposium, dan/atau studi banding lapangan yang diselenggarakan di bidang pendidikan hanyalah salah satu dari 18 kegiatan yang dapat dipilih oleh guru. Namun, poin ini paling banyak diminati karena dianggap lebih mudah untuk didapatkan dibandingkan 17 kegiatan lainnya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui PMM mewajibkan guru untuk mengumpulkan poin dari berbagai kegiatan pengembangan kompetensi. Setiap guru wajib mengumpulkan minimal 32 poin dalam satu semester dari berbagai kegiatan pengembangan kompetensi tersebut. Kegiatan seminar dan pelatihan biasanya memberikan 4 poin per kegiatan. Oleh karena itu, banyak guru beramai-ramai mendaftar kegiatan seminar dan pelatihan guna memenuhi target poin.
Fenomena ini menuai pro dan kontra. Sebagian pihak menilai kebijakan ini efektif mendorong guru meningkatkan kompetensinya. Namun, sebagian yang lain mengkritik karena guru hanya terpaku pada pengumpulan sertifikat tanpa benar-benar mengimplementasikan ilmu yang didapat.
Pakar menilai kebijakan yang ada justru kontraproduktif bagi peningkatan kualitas guru. Yang terjadi, guru sibuk berburu sertifikat untuk memenuhi target poin. Padahal, tujuan utamanya adalah peningkatan kompetensi guru. Kebijakan penilaian kinerja guru perlu dievaluasi dan diperbaiki. Sistem penilaian seharusnya lebih mengedepankan kualitas dampak peningkatan kompetensi guru terhadap proses pembelajaran dan pencapaian hasil belajar siswa.
Dengan demikian, guru akan lebih fokus mengimplementasikan ilmu yang diperoleh dari berbagai kegiatan pengembangan kompetensi. Sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan secara nyata, bukan sekadar berburu sertifikat. (www.kompasiana.com 22/01/2014).
Disibukkannya guru dan kepala sekolah dengan penyusunan RHK atau Rencana Hasil Kerja dan pengisian SKP atau Sasaran Kinerja Pegawai mengakibatkan guru akhirnya melupakan tugas utamanya, yakni mengajar kepada siswa-siswanya. Kini, guru lebih sibuk dengan tugas administrasi. Bahkan di berbagai platform media sosial curhatan guru soal SKP, RHK dan PMM banyak menghiasi dan makin masif. Apalagi banyak yang mengungkap, saat penyusunan SKP 2023 belum kelar, kini sudah harus disibukkan dengan penyusunan SKP 2024. (www.pojoksatu.id 16/01/2024).
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengintegrasikan Platform Merdeka Mengajar (PMM) dan e-Kinerja BKN (m.jpnn.com, 19/12/2023). Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran Bersama Kepala Badan Kepegawaian Negara dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 17 tahun 2023 dan Nomor 9 Tahun 2023 tentang Sistem Informasi Pengelolaan Kinerja Aparatur Sipil Negara Guru. Fitur kinerja guru yang diintegrasikan dengan PMM tak dimungkiri akan menambah beban administrasi guru. Padahal selama ini pun administrasi guru sudah banyak. Platform ini menjadikan guru sibuk dengan hal yang bersifat administratif yang terkait dengan kinerja, sementara tugas utamanya terabaikan. PMM menguras banyak tenaga dan waktu para guru sehingga tidak fokus mengajar siswa. Guru dituntut untuk memperbaiki kualitas pendidikan justru dibenturkan dengan kebijakan yang menjauhkan peran guru sebagai pendidik generasi.
Tugas guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi. Tugas yang sangat mulia dan merupakan pilar peradaban. Hanya sayangnya, saat ini diterapkan aturan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan yang menjadikan guru hanya fokus meraih materi sebanyak-banyaknya hingga mengabaikan tugas sebagai pendidik generasi. Kinerja guru hanya dilihat dari hal-hal yang bersifat duniawi dan bagi ASN berupa angka kredit semata. Pendidikan hanya dipandang secara ekonomi, penghasil materi dan diperuntukkan bagi kelangsungan peradaban merusak yakni kapitalisme. Hal ini pun terjadi karena penguasa tidak maksimal memberi kesejahteraan kepada guru.
Berbeda dengan Islam. Dalam pandangan Islam, guru kompeten memiliki dua nilai, yaitu kepribadian mulia dan profesionalitasnya sebagai pendidik. Di sinilah peran strategis guru dalam mewujudkan pendidikan berkualitas. Guru adalah penggerak perubahan. Merekalah pendorong utama generasi agar menjadi pilar peradaban. Para cendekiawan dan ilmuwan yang lahir benar-benar mengabdikan diri dan ilmu mereka untuk kemaslahatan umat manusia. Bukan hanya generasi yang berorientasi materi, tetapi generasi yang mampu mengimbangi kehidupan dunia dan akhirat secara proporsional. Guru ketika mengajar karena dorongan akidah, hanya mengharapkan ridha Allah semata akan menyadari bahwa apa yang dilakukan didunia tentang amanahnya akan dimintai pertanggubg jawaban di akhirat kelak.
Dalam sistem hari ini untuk menjadi guru yang berkualitas harus berkomitmen yang tinggi, yaitu berusaha meluangkan waktu untuk mengkaji Islam sebagai bekal dalam mendidik murid-muridnya. Perlunya support sistem berupa sistem Islam meniscayakan para guru harus bergerak bersama-sama berjuang mewujudkan sistem pendidikan ideal yaitu Pendidikan Islam. Pendidikan yang berasaskan akidah Islam dengan tujuan pendidikannya adalah mencetak generasi bersyaksiyah islamiyah, generasi faqih fiddin (ulama) dan juga ilmuwan.
Demikian pula dengan tunjangan guru. Islam sangat memahami peran sentral guru sehingga wujud penghargaan untuk dedikasi mereka adalah memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Tujuannya, agar para guru bisa berfokus menjalankan amanahnya tanpa was-was lagi dengan persoalan ekonomi.
Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khattab menggaji masing-masing dari mereka sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) jika di konversikan ke dalam rupiah 1 gram emas senilai 1 juta maka gaji guru pada saat itu 63.750.000 per bulan. Sejarah pula mencatat, Syaikh Najamuddin Al-Habusyani yang diangkat oleh Shalahuddin Al Ayyubi untuk mengajar di sekolah Shalahiyah digaaji 40 dinar tiap bulan. Gaji guru diambil dari fa’i atau kharaj, apabila kurang maka akan diambil dari harta milik umum. Sumber daya alam merupakan harta milik umum yang dikelola negara untuk kemakmuran rakyat.
Maka, kinerja guru tidak cukup ditingkatkan dengan fitur PMM dan dilihat dengan capaian capaiannya melainkan semua aspek yang mendukung kinerja guru harus tersedia mulai dari manajemen pendidikan, infrastruktur yang memadai, pembiayaan hingga tunjangan yang menjadikan guru fokus untuk melahirkan generasi cerdas ilmu serta berakhlak mulia. Hanya dengan Islam, guru guru yang kompeten akan memiliki kinerja terbaik bukan hanya di hadapan manusia tetapi juga dihadapan Allah SWT.
Oleh Jamaiyah, S. Pi (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Remaja)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru