Samarinda - Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia. Siapa pun berhak untuk mengenyam pendidikan, dari pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi . Namun, fakta saat ini menunjukkan bahwa tidak sembarang orang bisa menikmatinya. Slogan, “Orang miskin dilarang sekolah/kuliah” masih terjadi hingga kini. Kuliah yang menjadi harapan terbesar bagi kebanyakan siswa setelah lulus dari SMA/SMK, harus direlakan begitu saja karena ketidakmampuan untuk meraihnya. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi hak bagi setiap warga negara tanpa terkecuali. Realitas Pendidikan Tinggi di negeri ini menunjukkan bahwa akses terhadap pendidikan tinggi semakin mahal, seolah menjadi hak istimewa bagi kalangan tertentu saja. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tinggi menjadi beban berat bagi mahasiswa dan keluarganya. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya keterlibatan negara dalam pembiayaan pendidikan, yang berakibat pada maraknya komersialisasi pendidikan tinggi.
Baru-baru ini, BEM KM Universitas Mulawarman (Unmul) mengadakan konsolidasi lanjutan bersama seluruh BEM dan LEM di lingkungan universitas untuk merespons permasalahan terkait pembayaran UKT pada semester genap 2024/2025. Beberapa masalah utama yang disuarakan adalah:
1.Permasalahan administrasi saat pembayaran UKT, yakni tidak ditemukannya tagihan pembayaran UKT pada mahasiswa, sehingga proses pembayaran tidak dapat dilakukan.
2. Lambatnya penerbitan Surat Keputusan (SK) rektor mengenai keringanan UKT, yang menghambat mahasiswa kurang mampu dalam memperoleh kepastian terkait biaya yang harus dibayarkan.
3. Kenaikan UKT tanpa kejelasan, yang menyebabkan keresahan dan kebingungan di kalangan mahasiswa, tanpa adanya transparansi apakah hal ini akibat kesalahan sistem atau kebijakan baru dari rektorat.
Masalah ini menunjukkan pola yang terus berulang setiap pergantian semester tanpa adanya solusi yang benar-benar tuntas. Oleh karena itu, diperlukan analisis mendalam mengenai akar masalah UKT yang mahal dan bagaimana Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan bagi pendidikan tinggi.
Adapun Fakta Kenaikan UKT dan Masalah yang Dihadapi Mahasiswa
1. Permasalahan Administrasi : Mahasiswa mengalami kendala teknis saat membayar UKT karena tidak ditemukannya tagihan pembayaran. Kesalahan sistem ini menyebabkan keterlambatan dalam proses administrasi dan membebani mahasiswa yang membutuhkan kepastian dalam pembayaran. Banyak mahasiswa harus melakukan konfirmasi manual atau mendatangi pihak administrasi kampus, yang sering kali memakan waktu dan menambah beban psikologis mereka.
2. Lambatnya SK Rektor Mengenai Keringanan UKT : Mahasiswa yang ekonominya kurang mampu sering kali mengajukan permohonan keringanan UKT. Namun, keterlambatan penerbitan SK keringanan UKT oleh rektorat menghambat mereka dalam mendapatkan kepastian jumlah biaya yang harus dibayar. Keterlambatan ini memaksa mahasiswa untuk mencari solusi darurat, seperti berhutang atau menunda pembayaran, yang dapat berdampak pada kelancaran studi mereka.
3. Kenaikan UKT Tanpa Kejelasan : Beberapa mahasiswa mendapati bahwa UKT mereka mengalami kenaikan tanpa ada sosialisasi yang jelas dari pihak kampus. Hal ini menimbulkan kebingungan dan keresahan, terutama bagi mereka yang sudah memperkirakan biaya kuliah berdasarkan UKT semester sebelumnya. Tanpa adanya transparansi dari pihak kampus, mahasiswa menjadi korban dari sistem yang tidak berpihak pada mereka.
Pendidikan Mahal, Buah Penerapan Sistem Kapitalis
Jika menganalisa masalah mahalnya UKT (Uang Kuliah Tunggal) terdapat beberapa hal:
1. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang Mahal : Masalah Sistemik
Isu UKT mahal selalu muncul setiap pergantian semester. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi merupakan masalah sistemik dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Setiap tahun, mahasiswa yang kesulitan membayar UKT terus melakukan protes, tetapi hasilnya tetap sama—tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan biaya pendidikan.
2. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tidak Berdaya Mengubah Kebijakan
BEM dan organisasi mahasiswa lainnya selalu berusaha menyuarakan aspirasi mahasiswa, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan politik dan hukum yang cukup untuk mengubah kebijakan pendidikan tinggi yang kapitalistik. Pemerintah dan pihak kampus cenderung mengabaikan tuntutan mahasiswa, dengan dalih bahwa UKT sudah sesuai dengan kebutuhan operasional universitas.
3. Negara Lepas Tangan
Pemerintah menganggap pendidikan tinggi sebagai layanan tersier, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu. Hal ini diperkuat dengan kebijakan Kampus Merdeka dan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang semakin menegaskan liberalisasi pendidikan. Dengan kebijakan ini, kampus dipaksa mencari pendanaan sendiri, sehingga beban biaya dialihkan ke mahasiswa. Akibatnya, pendidikan tinggi semakin mahal dan eksklusif, hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial.
Penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu dari bagian pengaturan urusan masyarakat. Bagaimana jalannya pengaturan itu tergantung dari ideologi yang dianut oleh negara. Mahalnya biaya pendidikan saat ini merupakan dampak nyata dari penerapan sistem Kapitalis sekular. Secara nyata, ideologi kapitalis menjauhkan peran negara dalam mengurusi kepentingan urusan masyarakatnya.
Penyerahan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta membuat negara seolah tak mampu mengurusi urusan masyarakat. Sebab, memang inilah tujuan utama dari ideologi kapitalis sekular dengan menetapkan sumber-sumber kakayaan tidak boleh dikelola oleh negara, tetapi harus diserahkan kepada swasta. BUMN sekalipun misalnya, jika negara yang terlanjur mengelolanya maka harus diprivatisasi. Maka dengan demikian terputuslah sumber pendapatan negara dari sumber daya alam. Yang dengannya mampu membiayai berbagai urusan masyarakat. Salah satunya pendidikan.
Inilah yang memicu mahalnya biaya pendidikan saat ini. Sekolah hingga kuliah di perguruan tinggi menjadi barang mewah bagi sebagian kelompok masyarakat. Meski gratis, itu hanya sampai tingkat SMP. Untuk ke jenjang lebih tinggi maka butuh biaya yang tinggi pula. Maka, hanya orang kaya saja yang bisa meraih pendidikan dengan kualitas dan fasilitas yang optimal, tidak bagi yang tergolong miskin. Pada akhirnya, anak dari keluarga yang kurang mampu hanya bisa sekolah apa adanya dan membuang jauh mimpi untuk menikmati sekolah yang lebih tinggi lagi.
Terjadilah diskriminasi pendidikan. Pendidikan tinggi menjadi hak khusus orang kaya, seolah sistem yang ada lebih berpihak kepada kalangan kaya. Dan memang inilah tabiat sistem Kapitalis, sudah didesain untuk berpihak kepada pemilik modal yang bisa memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya. Meskipun mengorbankan sebagian besar rakyat kecil. Jika demikian, selama sistem Kapitalis ini diterapkan maka sampai saat itu pula diskriminasi pendidikan akan terus terjadi.
Islam Menjamin Pendidikan Bagi Semua
Islam merupakan sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problematika yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia, termasuk perkara pendidikan.
Dalam Islam pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara, baik di tingkat dasar maupun tinggi. Islam tidak membedakan akses pendidikan berdasarkan status ekonomi, tetapi menjamin pendidikan bagi seluruh rakyatnya. Pendidikan bukan sekadar sarana individu untuk memperoleh pekerjaan, tetapi merupakan jalan untuk menciptakan generasi yang berilmu dan bertakwa.
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkaitan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, metode pengajaran dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh secara mudah oleh seluruh rakyat, bahkan gratis. Inilah tugas penguasa sebagaimana yang diperintahkan dalam hadits Rasulullah SAW:
“Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika negara abai terhadap urusan pendidikan rakyatnya, maka ini bisa dinilai sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Allah, dosa bagi penguasa karenanya. Inilah yang menjadikan para pemimpin dalam Islam selalu fokus terhadap pendidikan. Rasulullah SAW pun telah mencontohkan hal ini.
Tampak ketika Rasulullah SAW menetapkan agar para tawanan perang Badar dapat bebas jika mereka sanggup mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini sebagai tebusan bagi para tawanan. Perkara ini merupakan bentuk kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai kepala negara. Sehingga rakyat pun tak dikenai biaya sepeser pun.
Mengenai tebusan tawanan, dalam hukum Islam ini adalah hak dan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal. Para tawanan jika ingin bebas maka harus membayar tebusan tawanan yang kemudian akan dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal. Tebusan berupa perintah mengajarkan baca-tulis, nilainya sama dengan pembebasan tawanan perang. Dengan kata lain, Rasulullah SAW memberi upah kepada para pengajar (tawanan perang) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik kas negara.
Apa yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam mengurusi pendidikan rakyat mendorong para khalifah setelah beliau membangun berbagai fasilitas pendidikan secara cuma-cuma untuk rakyat. Pendidikan berkualitas disediakan tanpa dipungut biaya apapun. Khalifah Mu’tashim billah, Khalifah al-Mustanshir, Sultan Nuruddin dan para penguasa Islam lainnya sepanjang masa Kekhilafahan Islam, juga melakukan hal seperti ini.
Maka, wajar jika sepanjang kekuasaan Kekhilafahan Islam, lahir banyak ulama, cendekiawan dan ahli di berbagai bidang. Lahirnya temuan-temuan spektakuler yang telah mendahului ilmuwan-ilmuwan Barat puluhan bahkan ratusan tahun lebih dulu. Sebab, mereka diberi keluasan dalam menuntut ilmu seluas-luasnya tanpa pusing memikirkan biaya.
Sumber Pendanaan Pendidikan Islam, di dukung oleh sistem ekonomi yang menjamin pembiayaan pendidikan dari Baitul Maal. Sumber pemasukan Baitul Maal berasal dari zakat, fai’, ghanimah, kharaj, jizyah, serta pengelolaan sumber daya alam yang diatur oleh negara. Dengan sistem ini, pendidikan tinggi dapat diberikan secara gratis atau dengan biaya yang sangat terjangkau, tanpa membebani mahasiswa atau keluarganya.
Dalam sejarah peradaban Islam, pendidikan tinggi berkembang pesat tanpa adanya kapitalisasi seperti yang terjadi saat ini. Contoh universitas besar seperti Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko dan Universitas Al-Azhar di Mesir menunjukkan bagaimana Islam mampu membangun institusi pendidikan tinggi yang berkualitas tanpa membebankan biaya mahal kepada mahasiswa. Pada masa kejayaan Islam, para ulama dan cendekiawan dapat menempuh pendidikan tinggi tanpa harus mengkhawatirkan biaya pendidikan, karena negara bertanggung jawab penuh dalam pembiayaannya.
Mengulang sejarah gemilang ini sangat mungkin dalam sistem Islam. Sebab, Islam tak hanya menetapkan kewajiban menyediakan pendidikan berkualitas oleh negara secara gratis untuk rakyat muslim saja, tapi juga untuk non muslim. Dengan demikian, mencampakkan ideologi dan sistem Kapitalisme adalah keharusan untuk mengakhiri masalah mahalnya biaya sekolah secara tuntas. Sehingga tak ada lagi diskriminasi pendidikan. Kemudian menggantinya dengan ideologi dan sistem Islam. Menerapkan aturan-aturan Allah dalam segala aspek kehidupan. Maka, hanya dengan inilah keberkahan hidup akan diturunkan oleh Allah dari langit dan bumi.
Allah swt berfirman:
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96) Wallaahu a’lam.
Oleh : Purwanti, S.Pd (Guru BK, Pemerhati masalah pendidikan)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru