Share ke media
Opini Publik

BUNUH DIRI KOG JADI TRENDI?

04 Feb 2025 02:33:0051 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : tempo.co - Deteksi Dini Mencegah Bunuh Diri - 16 Oktober 2024

Samarinda - Warga Perumahan Jakarta Hills Kelurahan Lok Bahu Kecamatan Sungai Kunjang digemparkan dengan penemuan seorang pria berinisial A tewas gantung diri di rumahnya, Senin (20/1/2025). Sebelum kejadian tragis ini, korban diketahui terlibat pertengkaran dengan keluarganya. Tim Inafis Polresta Samarinda yang mengevakuasi korban memperkirakan korban sudah meninggal sekitar 6-7 hari sebelum ditemukan. https://radarsamarinda.com/pria-di-samarinda-tewas-gantung-diri-diduga-usai-cekcok-dengan-keluarga/

Sungguh memprihatinkan, tindakan bunuh diri terus meningkat belakangan ini. Bunuh diri dianggap sebagai solusi keluar dari permasalahan hidup. Pelaku bunuh diri tidak mengenal usia dan jenis kelamin. Faktor yang mendominasi penyebab bunuh diri adalah beban hidup yang kian berat dan tidak bisa ditanggung lagi oleh individu masyarakat.

Sulit untuk dimungkiri, fenomena bunuh diri merupakan indikasi betapa buruknya mental masyarakat yang terbentuk. Mental yang lemah menandakan bahwa masyarakat kita tidak cukup kuat menghadapi tantangan dan ujian hidup.

Mengapa mental menjadi lemah? Karena gaya hidup sekuler yang menjauhkan agama (baca : Islam) dari kehidupan. Dampaknya, krisis identitas dan krisis keimanan melanda masyarakat. Kepribadian yang gampang goyah, mudah tersulut emosi, nafsu sesaat, hingga pikiran yang kalut memberi sumbangsih signifikan atas sakitnya mental. Bunuh diri tidak lagi dianggap sebagai dosa besar dan perilaku jahat terhadap dirinya sendiri. Kematian dijadikan solusi persoalan.

Meningkatnya kasus bunuh diri semestinya juga menjadi peringatan kuat bagi para penguasa. Apakah mereka telah benar-benar mengurusi mengayomi masyarakatnya. Sebab kewajiban penguasa menjaga dan merawat mental warga negaranya. Tanpa bermaksud mengecilkan upaya yang sudah dilakukan, kebijakan pemberian konseling/bimbingan tak akan pernah mampu menghentikan bahkan sekadar mengerem tindakan bunuh diri. Karena lagi-lagi konseling/bimbingan berasas sekuler tidak bisa menyentuh akar masalah.

Namun lagi dan lagi, berat untuk dibantah, kondisi negeri ini juga memengaruhi kesehatan mental masyarakat. Kebijakan yang tidak prorakyat kerap muncul kendati rakyat tengah dalam impitan ekonomi, seperti harga pangan mahal, subsidi dicabut, tarif pajak naik, biaya pendidikan mahal, iuran kesehatan dengan layanan alakadarnya, dan masih banyak kebijakan lain yang kontradiktif dengan kondisi rakyat yang sedang susah.

Jelas, mental lemah akibat krisis iman membuat seseorang juga lemah dalam beribadah. Daya pikir lemah karena atmosfer kehidupan yang serba materialistis dan kapitalistik menjadikan seseorang lebih memilih jalan instan ketimbang susah payah mencari jalan keluar dari masalah.

Yang kian membuat runyam persoalan, ketaatan pada ajaran agama (baca : Islam) diposisikan seolah bahaya laten yang harus segera disingkirkan. Seruan penerapan Islam secara menyeluruh tak ubahnya dipandang sebagai kesalahan. Lekatan terorisme, radikalisme, anti NKRI, anti toleransi terus diteriakkan pada mereka yang berupaya berdakwah di tengah masyarakat agar paham bahwa hanya syariat Islam yang mampu menyelamatkan. Sudah sedemikian jelasnya, Islam bukan hanya agama yang mengurusi aspek spiritual, tapi juga politik. Tetapi lagi-lagi, walau terus dibantah, bisa dirasa, ada kesengajaan berupaya menjauhkan umat dari ajaran Islam yang hakiki.

Fenomena bunuh diri bukanlah terjadi tiba-tiba begitu saja. Ianya hasil dari puluhan tahun berkubangnya negeri ini dengan sekularisme. Buktinya, individu sekuler, materialistis, hedonis, jauh dari visi mulia, bahkan lemah secara psikis, sangat mudah ditemukan di tengah masyarakat. Tidak ada bedanya, apakah derajat masalah hidupnya receh, ringan atau berat, semua dihadapi dengan mental lemah.

Islam melarang umat berputus asa dari rahmat Allah Taala. Setiap persoalan akan diselesaikan berdasarkan syariat Islam. Dalam kacamata Islam, setelah kematian akan ada kehidupan baru, yakni adanya pertanggungjawaban terkait setiap perbuatan yang dilakukan ketika di dunia. Begitu pula cara pandang terhadap ujian, Islam memandang bahwa Allah SWT memberikan ujian sesuai dengan kemampuan setiap orang. Bahkan dalam Al-Qur’an disebutkan : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….” (QS Al-Baqarah: 286).

Menjaga kesehatan mental tidak hanya tanggung jawab individu, keluarga dan masyarakat, tetapi juga negara. Negara harus mampu menciptakan masyarakat yang dekat dengan agama dan memiliki karakter berkepribadian Islam sehingga segala persoalan yang dihadapi akan diselesaikan sesuai dengan tuntunan Islam, baik itu persoalan ekonomi maupun politik. Penerapan sistem Islam secara keseluruhan dalam bingkai negara diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan mental dan kesehatan masyarakat hari ini.

Islam memandang kesehatan sebagai bagian dari kenikmatan yang diberikan kepada setiap individu. Oleh karena itu, Allah SWT mendorong manusia untuk hidup bahagia hingga akhir hayat dalam koridor syariat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Islam juga memiliki solusi yang komprehensif dan sistemik guna memutus kejahatan bunuh diri. Hal ini hanya bisa diterapkan oleh negara yang menerapkan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan. Ketika ketaatan kepada Islam dijadikan ruh di dalam masyarakat dengan penerapan hukum-hukum Islam sehingga akan mampu mencegah segala bentuk tindak kejahatan termasuk fenomena bunuh diri.

Sudah tiba saatnya menjadi kesadaran bersama, selama sistem sekuler yang melahirkan paham kebebasan dalam berpikir dan bersikap terus diterapkan, persoalan bunuh diri tidak akan pernah berkesudahan. Karena hanya dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh yang mampu menjaga kewarasan mental. Masyarakat akan lebih berpikir realistis, bisa menempatkan mana yang berada di wilayah yang dikuasai manusia dan mana yang tidak. Mereka juga akan paham bahwa kebahagiaan tertinggi adalah meraih ridho Allah SWT, bukan sebatas kesenangan dunia. Wallahualam.

Oleh : Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd.(Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)