“Jika Anda ingin menghancurkan sebuah bangsa tanpa peperangan, cukup rusak sistem pendidikannya.” (John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-35)
Guru di Persimpangan Jalan
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Pada tahun 2024 ini, , perayaan Hari Guru mengusung tema yang menggugah semangat peningkatan kualitas pendidikan, sebagaimana disampaikan dalam sambutan Menteri Agama yang menyoroti pentingnya sinergi antara guru dan pemangku kepentingan pendidikan. Namun, di balik perayaan ini, ironi besar menghantui
Kualitas sebuah negeri dapat dengan mudah dilihat dari kualitas para guru di dalamnya. Guru adalah jantung dari pendidikan. Maka, jika jantung pendidikan sebuah negara lemah dan dalam kondisi sakit, kecerdasan generasi negeri sedang dipertaruhkan. Fakta inilah yang sedang menghinggapi guru di negeri ini. Berbagai persoalan menggerogoti profesi ini, membuat guru berada di persimpangan jalan antara idealisme pengabdian sebagai kecintaan pada negeri dan realitas hidup di sistem pendidikan yang rusak. Beberapa isu utama yang dihadapi guru hari ini mencakup:
1.Gaji Tidak Layak
Banyak guru honorer menerima upah jauh di bawah standar, bahkan tidak cukup untuk kebutuhan hidup. Meski begitu, mereka tetap dituntut mendidik dengan maksimal. Kondisi ini melemahkan semangat dan menciptakan ketidakstabilan mental, membuat guru sering “menombok” untuk kegiatan pendidikan.
2.Minimnya Perlindungan Hukum
Guru kerap dikriminalisasi saat menjalankan tugas, terutama saat menerapkan disiplin. Alih-alih mendapat dukungan, mereka menghadapi ancaman hukum yang merusak karier dan reputasi. Situasi ini menimbulkan ketakutan, membuat guru ragu mengambil tindakan tegas.
3.Dipandang Sebagai Pekerja Biasa
Guru sering dianggap hanya sebagai penyampai materi, padahal peran mereka lebih dari itu. Mereka membimbing, membentuk karakter, dan menanamkan nilai moral. Sayangnya, kontribusi ini sering diabaikan, seolah mereka hanya roda kecil dalam sistem besar pendidikan.
Realitas menunjukkan bahwa banyak guru yang sebenarnya menjadi korban dari sistem pendidikan yang tidak mendukung . Sistem pendidikan di Indonesia saat ini, seperti halnya di banyak negara lain, tidak lepas dari cengkeraman sistem kapitalis. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana untuk mencerdaskan kehidupan negeri, justru lebih sering diarahkan pada kepentingan pasar dan industri. Alih-alih menciptakan manusia yang berdaya pikir kritis dan mandiri, sistem pendidikan kita lebih banyak mencetak generasi yang siap bekerja sebagai roda penggerak ekonomi kapitalis. Ironisnya, guru—sebagai pilar utama pendidikan—ikut terjebak dalam pusaran ini, dipaksa menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar, bukan kebutuhan negeri. Carut marut ini dapat dipahami dengan membagi dalam beberapa poin, yakni:
1.Guru dalam Bayang-Bayang Kapitalisme
Dalam sistem pendidikan kapitalis, guru diperlakukan layaknya pekerja biasa, bukan pendidik sejati. Mereka dituntut untuk memenuhi target kurikulum yang kaku dan berorientasi pada hasil, bukan proses pembelajaran yang bermakna. Akibatnya, guru lebih sibuk mengejar angka daripada menanamkan nilai dan karakter. Bahkan, guru-guru honorer yang digaji rendah menjadi bukti nyata bahwa profesi ini dianggap kurang bernilai secara ekonomi, meskipun mereka memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk masa depan generasi bangsa.
2.Pendidikan untuk Pasar, Bukan untuk Bangsa
Sistem kapitalis telah mengubah wajah pendidikan menjadi komoditas. Sekolah dan universitas menjadi tempat produksi “tenaga kerja” yang sesuai dengan kebutuhan industri. Kompetensi yang diajarkan sering kali diarahkan pada keterampilan teknis semata, bukan pada pengembangan karakter atau kemampuan berpikir kritis. Generasi yang dihasilkan bukanlah generasi pemimpin yang mampu mengubah bangsa, melainkan generasi buruh yang siap ditempatkan di lini produksi.
Guru, dalam konteks ini, hanya menjadi alat yang dipaksa mendukung visi kapitalis tersebut. Mereka diarahkan untuk mencetak siswa yang patuh dan produktif, bukan yang kritis dan inovatif. Padahal, fungsi pendidikan yang sejati adalah membebaskan, menciptakan individu yang mampu berpikir mandiri dan berkontribusi untuk masyarakat luas, bukan sekadar roda penggerak ekonomi.
3.Ketidakadilan dan Eksploitasi Guru
Dalam sistem kapitalis, guru sering kali menjadi korban eksploitasi. Mereka bekerja di bawah tekanan dengan upah yang tidak layak, tanpa perlindungan hukum yang memadai. Profesi guru kehilangan martabatnya karena dipandang sebagai tenaga kerja biasa, bukan sebagai agen perubahan sosial. Akibatnya, banyak guru kehilangan motivasi dan semangat, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan itu sendiri.
Solusi: Pendidikan yang Berorientasi pada Kemaslahatan Umat Ala Peradaban Islam
Untuk keluar dari jerat sistem kapitalis, diperlukan perubahan mendasar dalam paradigma pendidikan. Pendidikan yang berorientasi pada kemaslahatan umat hanya dapat terwujud jika didukung oleh sistem yang menempatkan guru dan ilmu pengetahuan pada posisi strategis nan mulia. Dalam kesusksesan sistem pendidikan, peradaban Islam telah memberikan contoh keberhasilan besar sepanjang sejarah kehidupan manusia. Berikut beberapa poin bagaimana sistem Islam mebawa keberhasilan tersebut:
1.Pengelolaan Kekaayaan Alam Negeri
Dalam sistem Islam, sumber daya alam dimiliki dan dimanajemen 100% oleh negara tanpa campur tangan korporasi yang sarat kepentingan keuntungan, hasil dari kekayan alam ini diperuntukan untuk kepentingan rakyat, bukan korporasi. Hasilnya digunakan untuk membiayai sektor-sektor penting seperti pendidikan, sehingga guru mendapatkan gaji yang layak bahkan tinggi dan kesejahteraan mereka terjamin. Dengan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu, Peradaban Islam dengan penerapan sistem Islam telah melahirkan generasi emas seperti Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi, yang menjadi pelopor di berbagai bidang. Dan tentu masih banyak pula ilmuwan-ilmuwan berjasa di dunia yang lahir dari sistem pendidikan peradaban Islam ini. Hal ini sesuai dengan dalil Islam:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya alam yang penting untuk kehidupan tidak boleh dimonopoli oleh individu atau korporasi, melainkan harus dikelola untuk kepentingan bersama.
2.Kurikulum Berbasis Ketaatan Pada Tuhan
Kurikulum berbasis akidah menanamkan keimanan dan ketaatan pada Tuhan sebagai fondasi utama pendidikan. Kesadaran akan pengawasan Ilahi mendorong siswa untuk menjauhi perbuatan dzalim dan berbuat adil. Ketakutan akan dosa menjadi pengontrol internal yang efektif, membentuk individu berakhlak mulia dan bertanggung jawab secara moral serta sosial.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan… yang mengajar manusia dengan pena, mengajarkan apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq 96:1-5)
Ayat ini menegaskan bahwa proses pendidikan harus dimulai dengan menyebut nama Allah, menandakan pentingnya keterhubungan ilmu dengan keimanan kepada-Nya.
3.Hukum Islam Yang Tegas
Penerapan hukum Islam yang tegas dan adil, tanpa memandang status sosial, mendukung terciptanya sistem pendidikan yang melahirkan generasi berakhlak, taat, dan manusiawi, alih-alih melakukan tindakan criminal yang tak manusiawi. Hukum syariat tidak hanya berfungsi sebagai sanksi, tetapi juga sebagai pencegah yang efektif, karena setiap individu memahami konsekuensi dari tindakan kriminal. Ketundukan pada aturan Ilahi menciptakan rasa tanggung jawab dan takut berbuat dosa, membentuk masyarakat yang disiplin, beradab dan saling menghargai. Dengan landasan hukum yang kuat, guru dan siswa sama-sama terdorong untuk menjalankan peran mereka dengan integritas dan ketaatan, menciptakan lingkungan pendidikan yang harmonis dan berkualitas.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi-saksi yang adil, dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena hal itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah 5:8)
Pendidikan harus kembali pada esensi sejatinya: mencerdaskan bangsa dan membentuk manusia yang utuh, bukan sekadar tenaga kerja untuk industri. Ini hanya bisa terwujud jika sistem pendidikan dibangun di atas landasan akidah, nilai-nilai kemanusiaan serta peran dari pengelolaan kekayaan alam yang memprioritaskan rakyat, bukan keuntungan korporasi semata. Guru yang sejahtera dan dihormati adalah kunci untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berorientasi pada kemaslahaan umat. Inilah kunci bagaimana peradaban Islam menjadi peradaban adidaya selama 13-14 abad dan disegani dunia.
Oleh: Diyaa Aaisyah Salmaa (Dosen, Aktivis Pemerhati Remaja)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru