Samarinda - Penurunan daya beli masyarakat Indonesia pada awal 2025 tengah menjadi sorotan. Ini tercermin dari deflasi yang terjadi pada awal tahun. Meskipun pemerintah menganggap deflasi sebagai tanda keberhasilan pengendalian harga, para ekonom justru menilai bahwa kondisi ini lebih mencerminkan lemahnya konsumsi masyarakat. Komoditas yang paling banyak berkontribusi pada deflasi antara lain tarif listrik, beras, daging ayam, bawang merah, tomat dan cabai merah.
Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, menyoroti dampak melemahnya daya beli terhadap sektor manufaktur. Ia menyebut bahwa tekanan di sektor ini berkontribusi besar terhadap meningkatnya angka pengangguran (tempo.com,25/3/25).
Pada awal 2025, hampir 14.000 pekerja formal kehilangan pekerjaan akibat penurunan di sektor manufaktur. Hal ini mempengaruhi pendapatan rumah tangga dan akhirnya daya beli masyarakat menurun. Berdasarakan data dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mencatat jika sepanjang tahun 2024 sebanyak 77.965 tenaga kerja kehilangan pekerjaan, dengan tambahan 3.325 orang terdampak PHK pada januari 2025. Bahkan, PHK massal di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) per 1 Maret 2025 menyebabkan lebih dari 10.000 karyawan kehilangan sumber pendapatan mereka.
Gelombang pemutusan hubungan kerja juga terjadi di Kab. Berau sejak januari 2025. Kepala Dinas Ketenagakerjan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Zulkifli Azhari mengungkapkan bahwa sejak Januari hingga Maret 2025, tercatat lebih dari 760 orang pekerja mengalami PHK. Sekitar 24 perusahaan terlibat dalam gelombang PHK tersebut, mayoritas berasal dari sektor pertambangan batu bara (news.id,08/04/25).
Pemberhentian tenaga honorer dengan masa kerja kurang dari 2 tahun juga terjadi di Kabupaten Berau berdasarkan Surat Edaran Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Berau Nomor 870/1439/BKPSDM-I/2024 perihal Tindak Lanjut Tenaga Non ASN. “Kami berharap nantinya ada mekanisme lain yang bisa dilakukan khususnya bagi mereka yang masa kerjanya masih dibawah dua tahun, seperti outsourcing,” harap Muhammad Said. 7/1/2025).
Kondisi ini memberikan pengaruh terhadap meningkatnya angka pengangguran, sehingga masyarakat merasa cemas dan dengan terpaksa mengurangi konsumsi kebutuhan tersier.
Dampak Penerapan Kapitalisme
Ada banyak faktor yang menyebabkan turunnya daya beli, seperti inflasi, pelemahan nilai tukar rupiah, penurunan pendapatan riil masyarakat, PHK, pengangguran, kenaikan pajak, biaya hidup yang meningkat, serta kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga BBM. Namun, semua faktor tersebut pada dasarnya berakar dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem inilah yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya permasalahan-permasalahan tersebut. Rinciannya adalah sebagai berikut.
Pertama, sistem kapitalisme berfokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pemerataan kesejahteraan. Akibatnya, kesejahteraan hanya dirasakan oleh segelintir elite, yaitu para pemilik modal. Pemerintah sibuk membangun infrastruktur di pusat-pusat ekonomi demi menarik investasi, tetapi abai terhadap pembangunan infrastruktur di pedesaan. Akibatnya, distribusi pangan terganggu, harga pangan lokal menjadi mahal, dan kalah bersaing dengan produk impor. Kondisi ini menyulitkan petani untuk sejahtera, padahal menurut data BPS, sektor pertanian adalah sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Hal yang sama terjadi pada buruh. Pemerintah lebih khawatir kehilangan investasi asing daripada memperjuangkan upah layak bagi rakyatnya. Demi menarik investor, pemerintah tega mengubah formulasi upah dalam UU Cipta Kerja agar sesuai dengan keinginan pemilik modal sehingga menyengsarakan kaum buruh.
Tidak heran jika laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2019 menyebutkan bahwa 1% orang kaya di Indonesia menguasai 50% aset nasional. Ini adalah akibat dari sistem kapitalisme yang menekankan pertumbuhan dan mengabaikan pemerataan. Ketimpangan yang makin tajam berdampak pada lemahnya daya beli masyarakat.
Kedua, sistem ekonomi kapitalisme membebaskan kepemilikan atas apa pun. Akibatnya, sumber daya alam (SDA) yang seharusnya dikelola negara demi kemaslahatan rakyat malah dikuasai oleh pemilik modal, baik asing maupun lokal. Dampaknya, rakyat kesulitan mengakses kebutuhan pokok. Contohnya, privatisasi air bersih membuat banyak warga tidak bisa menikmati akses air yang layak.
Kebebasan kepemilikan juga mendorong liberalisasi dan privatisasi di berbagai sektor strategis sehingga pendapatan negara dari SDA menjadi minim. Negara pun terpaksa mengandalkan pajak dan utang. Pajak yang tinggi jelas membebani rakyat dan makin melemahkan daya beli.
Ketiga, sistem kapitalisme memosisikan negara hanya sebagai regulator, bukan pengurus urusan umat. Pemerintah hanya membuat aturan, sedangkan swasta yang menyelenggarakan berbagai layanan dan kebutuhan masyarakat. Rakyat pun diposisikan sebagai konsumen yang hanya bisa mengakses layanan jika memiliki uang. Hanya warga yang memiliki kekayaan yang dapat hidup layak, sedangkan rakyat miskin kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Lebih parah lagi, aturan-aturan yang dibuat sering kali berpihak kepada pemilik modal. Dalam sistem demokrasi kapitalistik, kekuasaan cenderung dikuasai oleh oligarki. Contohnya, meski UU Cipta Kerja menuai penolakan dari rakyat, undang-undang tersebut tetap disahkan karena kuatnya kepentingan pengusaha dalam proses legislasi.
Keempat, sistem moneter kapitalisme berbasis mata uang kertas (fiat money) yang tidak memiliki sandaran pada komoditas berharga seperti emas dan perak. Hal ini menjadikan sistem keuangan rapuh dan tidak stabil. Pencetakan uang yang tidak didukung cadangan emas menyebabkan penurunan nilai mata uang atau inflasi. Inflasi inilah yang secara langsung menurunkan daya beli masyarakat dari waktu ke waktu.
Sistem Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam memiliki konsep yang sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam Islam, negara berperan sebagai sentra yang bertanggung jawab penuh dalam mengurus kepentingan umat. Negara memiliki kewajiban untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya hingga tercapai kesejahteraan yang merata.
Islam memiliki sejumlah mekanisme yang menjamin stabilitas daya beli masyarakat, yaitu:
Pertama, sistem ekonomi Islam menjamin bahwa kebutuhan publik dapat diakses secara merata oleh seluruh warga. Kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan disediakan oleh negara dan dirasakan secara merata oleh masyarakat tanpa diskriminasi berdasarkan kemampuan ekonomi.
Kedua, negara akan menjamin kebutuhan individu dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dewasa agar dapat memenuhi kebutuhan seluruh tanggungannya. Selain itu, negara juga bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang tidak mampu, terutama jika kepala keluarganya tidak memiliki kemampuan untuk bekerja, baik karena cacat ataupun sakit.
Ketiga, negara akan mengatur kepemilikan agar tidak terjadi dominasi oleh swasta, apalagi asing. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Adapun kepemilikan umum—seperti sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak—haram dikuasai oleh individu. Dengan pengaturan ini, negara akan mandiri dalam mengelola sumber daya alam sehingga akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Keempat, sistem mata uang Islam berbasis emas dan perak sehingga menjadikan perekonomian stabil dan bebas dari inflasi maupun krisis ekonomi. Sebagai bukti, nilai satu dinar pada masa Rasulullah saw. dengan saat ini masih memiliki daya beli yang sama.
Ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis, Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami. Ia berkata, “Saya mendengar penduduk bercerita tentang Urwah, bahwa Nabi Muhammad saw. memberikan uang 1 dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau.” (HR Bukhari).
Dari hadis tersebut kita mengetahui bahwa harga wajar seekor kambing pada masa Rasulullah saw. adalah 1 dinar. Uang 1 dinar pada tahun 2025 bernilai sekitar Rp 5 juta. Jumlah uang tersebut mencerminkan harga umum seekor kambing yang sehat saat ini. Artinya, tidak terjadi penurunan nilai mata uang (inflasi). Oleh karena itu, penurunan daya beli akibat inflasi tidak akan terjadi dalam sistem Islam.
Khatimah
Demikianlah sistem ekonomi Islam yang mampu menjaga stabilitas perekonomian serta menjamin kesejahteraan rakyat. Daya beli masyarakat akan senantiasa terjaga karena hal ini merupakan salah satu indikator utama dari terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dengan sistem moneter berbasis dinar dan dirham serta negara yang berfungsi sebagai pengurus urusan umat, kestabilan daya beli dan kesejahteraan rakyat dapat terwujud secara nyata dan berkelanjutan. Sistem ekonomi Islam akan diterapkan dengan paripurna dalam naungan Daulah Khilafah Islamiah.
Oleh : Ita Irawati