Share ke media
Opini Publik

Dibunuh Ayahnya, Dikhianati Negaranya: Darurat Perlindungan Anak

14 Aug 2025 03:00:257 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : antarnews.com - Kapolda: Pembunuhan sekeluarga akibat kurang harmonis - 26 Oktober 2018

Samarinda - Ketika anak-anak tidak lagi aman bahkan di lingkungan terdekatnya, kita tidak bisa lagi diam. Pertanyaannya bukan hanya siapa pelaku kekerasan, tetapi siapa yang membiarkan kekerasan itu tumbuh, individu, masyarakat yang apatis atau sistem kehidupan yang salah arah?

Tragedi memilukan terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur. Seorang ayah berinisial W (24), tega mengakhiri nyawa dua anak balitanya sendiri. Peristiwa tragis ini terjadi di rumah kontrakan mereka di kawasan Loa Janan Ilir, Samarinda, pada akhir Juli 2025.

Polisi mengungkapkan bahwa W mencekik kedua anaknya hingga tewas saat sang istri sedang bekerja. Berdasarkan hasil penyelidikan, motif pembunuhan dipicu oleh tekanan psikologis akibat konflik rumah tangga yang berkepanjangan, rasa sakit hati terhadap sang istri, serta beban ekonomi yang berat. Pelaku mengaku merasa tidak dihargai oleh istrinya, serta frustasi karena tak mampu menafkahi keluarga.

Diketahui, W telah beberapa bulan menganggur setelah berhenti dari pekerjaannya karena menderita penyakit lambung dan gangguan tenggorokan. Kesehatan fisik yang memburuk, himpitan ekonomi, serta konflik emosional dalam rumah tangga disebut sebagai kombinasi yang mendorong pelaku melakukan tindakan ekstrem tersebut.

Pihak kepolisian menegaskan bahwa kasus ini merupakan pembunuhan berencana, mengingat pelaku sempat membuat rencana sebelum melakukan aksinya. (Kaltim.today 29/07/2025)

Bagaimana mungkin seorang ayah menjadi sosok yang justru merenggut nyawa darah dagingnya sendiri? Tragedi ini bukan sekadar kabar duka, tapi alarm keras bahwa ada yang sangat salah dengan sistem kehidupan kita.

Samarinda mencatat sekitar 160-210 kasus kekerasan terhadap anak setiap tahun, dengan mayoritas pelaku berasal dari lingkungan terdekat korban seperti orang tua, kerabat, atau tetangga. Sepanjang 2024, Kalimantan Timur mencatat 810 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan Samarinda menjadi kota penyumbang tertinggi, yakni 198 kasus.

Secara nasional, Komnas Perlindungan Anak mencatat 4.388 pengaduan kekerasan anak sepanjang 2024 hingga awal 2025, meningkat 34% dari tahun sebelumnya. Rinciannya : 56% kekerasan seksual, 24% kekerasan fisik/psikis, 20% lainnya seperti sengketa hak asuh. Ironisnya 60% kekerasan terjadi di lingkungan keluarga, disusul sekolah (17%) dan media sosial (8%).

Angka-angka ini bukan sekadar data, melainkan jeritan yang tak terdengar dari ribuan anak yang tak punya perlindungan. Anak tak hanya jadi korban, tapi juga pelaku kekerasan. Fenomena ini bak gunung es, kasus yang terungkap hanyalah sebagian kecil. Banyak kekerasan lain yang tidak terdata, tidak dilaporkan, atau tidak Pernah pernah sampai ke meja hijau.

Salah satu faktor dominan di balik kekerasan terhadap anak adalah tekanan ekonomi. Ketika orang tua hidup dalam lilitan kebutuhan, tanpa pekerjaan yang layak, tanpa akses jaminan sosial dan kesehatan yang memadai, maka keluarga kehilangan fungsi dasarnya sebagai tempat perlindungan dan kasih sayang. Dalam kondisi ini, letupan emosi mudah meledak dan anak kerap menjadi pelampiasan.

Namun, kasus-kasus kekerasan ini bukan semata persoalan moral individu atau kurangnya kontrol diri. Akar permasalahannya jauh lebih dalam yakni kerusakan sistem kehidupan yang saat ini menaungi masyarakat. Sistem ini gagal menyediakan jaminan kesejahteraan dan stabilitas emosional bagi keluarga.

Di Indonesia, sebenarnya telah memiliki berbagai regulasi terkait perlindungan anak: mulai dari UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hingga program pembangunan keluarga. Namun realitasnya, angka kekerasan terhadap anak terus meningkat, bahkan makin brutal. Artinya, regulasi yang ada belum mampu menyentuh akar masalah.

Salah satu penyebabnya adalah ruh atau dasar ideologis dari aturan tersebut yang bersifat sekuler dan kapitalistik. Dalam sistem sekuler kehidupan dipisahkan dari nilai-nilai agama. Sementara sistem kapitalistik mengukur segalanya dari aspek materi dan untung rugi. Maka tak heran, berbagai kebijakan hanya menyentuh kulit persoalan, tidak menyentuh struktur keluarga, pendidikan karakter, relasi sosial, hingga sistem ekonomi yang adil.

Kekerasan terhadap anak adalah masalah sistemik. Ia lahir dari sistem keluarga yang rapuh, sistem ekonomi yang menindas, sistem sosial yang permisif, serta negara yang abai menjalankan peran sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan rakyat.

Berbagai data dan kasus yang mencuat, termasuk tragedi pembunuhan anak oleh ayah kandung di Samarinda, menjadi bukti nyata titik bahkan lebih dari itu, jika kita menengok ke Palestina, kita akan melihat anak-anak yang setiap hari menghadapi kelaparan, serangan bom, dan kehilangan keluarganya. Mereka hidup dalam lingkaran kematian yang dilegalkan oleh sistem dunia yang zalim. Ini semua adalah potret buram dari sistem kehidupan demokrasi kapitalis sekuler yang cacat.

Islam menjamin keamanan jiwa dan jiwa manusia terlebih anak-anak. Jiwa anak manusia begitu agung di mata syariat. Bahkan, membunuh satu jiwa tak berdosa, dalam Islam, setara dengan membunuh seluruh manusia.

Allah Swt berfirman:

“Barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” (QS Al-Ma’idah: 32)

Fakta tingginya kekerasan hingga pembunuhan terhadap anak adalah indikasi darurat perlindungan jiwa di negeri ini. Negara abai, masyarakat permisif, individu kehilangan kontrol. Ini bukan sekedar soal pelaku yang kejam tapi sistem yang gagal melindungi.

Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam Islam, penjagaan nyawa anak-anak tak hanya diatur dalam ruang privat tapi juga dijamin secara sistemik dalam beberapa tataran. Di antaranya pertama individu, di mana setiap individu dibina agar menjadi pribadi yang bertakwa dan sadar tanggung jawab sebagai hamba Allah dan pelindung keluarga.

Kedua, keluarga dibangun atas dasar syariat, bukan sekedar ikatan biologis. Ketiga, masyarakat hidup dalam suasana iman, saling kontrol, bukan apatis. Keempat. negara berperan sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) umat.

Berbeda dengan sistem sekarang (sekuler) yang sering lambat dan lemah dalam menangani kejahatan, Islam punya aturan yang lengkap. Islam mencegah kejahatan sejak awal dengan pendidikan berbasis aqidah Islam sejak kecil sehingga melahirkan manusia-manusia yang berakhlak baik dan takut kepada Allah. Islam juga menjaga keluarga agar kuat dan harmonis, supaya anak tumbuh di rumah yang aman dan penuh kasih sayang serta menjamin kebutuhan dasar warganya, seperti makan, tempat tinggal, dan pekerjaan, agar orang tidak stres dan melakukan kejahatan.

Jika dilingkungan mulai terlihat ada kekerasan atau hal mencurigakan, warga wajib melapor kepada pihak berwenang atau penguasa. Masyarakat Islam tidak boleh cuek, mereka wajib saling menasihati dan mencegah kemungkaran (amar makruf nahi munkar). Islam juga memberikan hukuman yang tegas dan adil agar Pelaku menebus dosanya di dunia (disebut jawabir), bukan hanya dibiarkan tanpa tanggung jawab. Sehingga orang lain takut untuk berbuat yang sama (disebut jawazir), jadi kejahatan tidak berulang.

Hanya dalam naungan sistem Islam, semua ini berjalan sebagai satu kesatuan. Islam tidak membiarkan keluarga tercerai berai karena ekonomi, tidak membiarkan individu kehilangan arah karena krisis aqidah, dan tidak membiarkan masyarakat permisif terhadap keburukan selama hukum Islam hanya dijadikan bahan kajian bukan sistem hidup yang diterapkan, tragedi demi tragedi akan terus berulang. Kini saatnya umat Islam menjadikan penegakan syariat sebagai fokus perjuangan. Inilah jalan satu-satunya untuk melindungi jiwa anak-anak, generasi penerus umat. Wallahu’alambisshawab

Penulis: Siti Marhawa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terkini