Samarinda - Ratusan honorer dari berbagai instansi melakukan unjuk rasa di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur didepan kantor Bupati pada hari Senin (11/8/2025) lalu. Unjuk rasa ini digelar untuk meminta kejelasan pengangkatan status R3 dan R4 setelah sebelumnya mengikuti seleksi CPNS dan PPPK namun tidak lulus seleksi meskipun sudah lama mengabdi, yaitu telah 15 tahun lamanya dan dengan gaji seadanya.
Berdasarkan undang-undang yang ada, honorer adalah pegawai yang diangkat oleh instansi pemerintah, baik yang ada di pusat maupun yang ada di daerah tetapi tidak memiliki status sebagai PNS atau PPPK.
Adapun honorer status R3 adalah tenaga non-ASN yang sudah terdata dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan telah mengikuti seleksi PPPK tetapi belum mendapatkan penempatan. Sedangkan kode R4 adalah tenaga kerja yang tidak terdata dalam database Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) atau Badan Kepegawaian Nasional (BKN)
Pemerhati Pendidikan di PPU, Andi Nurhakim, menanggapi rencana aksi unjuk rasa tersebut dengan menyampaikan dukungannya terhadap pengunjuk rasa dan turut mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) PPU dan DPRD PPU untuk segera memberikan kejelasan bagi tenaga honorer R3 yang sudah terdaftar di database BKN dan R4 yang telah mengabdi lebih dari lima tahun lamanya namun belum juga terdaftar.
Menurut Andi, polemik ini terjadi akibat kinerja lembaga terkait dan organisasi perangkat daerah (OPD) teknis yang dinilai kurang maksimal. Ia menyanggah alasan pemerintah kabupaten yang seringkali menyalahkan aturan pemerintah pusat.
Drama Honorer dalam kapitalisme
Pada hari Pendidikan Nasional, Mei 2025 lalu, Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia tak akan menjadi negara sejahtera dan maju tanpa pendidikan yang baik. Ia juga menyatakan bahwa pemerintah selalu menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan bangsa. Namun sayang, pidato Presiden tersebut lebih tampak sekadar basa-basi, karena pada faktanya peran krusial guru sebagai fondasi utama pendidikan berkualitas belum diimbangi dengan penghargaan yang sepadan guru.
Kesejahteraan guru terlebih lagi guru honorer, hingga saat ini masih jauh dari harapan. Sebagaimana diketahui bahwa gaji guru di Indonesia, meskipun yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) tergolong rendah dari pada dengan negara lain. Ditamnah dengan harga-harga kebutuhan hidup yang terus meningkat, maka gaji itu sering kali tidak mencukupi sampai tiba waktu menerima gaji dibulan berikutnya.
Sementara nasib guru honorer jangan ditanya. Banyak sekali dari mereka yang nominal gajinya sangat jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), bahkan tidak sedikit yang hanya menerima upah seadanya. Jutaan guru honorer juga masih terus memperjuangkan nasibnya agar bisa diangkat menjadi pegawai negara.
Istilah guru honorer itu sendiri muncul sebagai konsekuensi dari penerapan sistem pendidikan nasional yang belum mampu mencukupi kebutuhan tenaga pendidik. Sejak masa Orde Baru, banyak sekolah, baik negeri maupun swasta mengalami kekurangan guru. Di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), keberlangsungan sekolah bahkan sering kali bergantung pada dedikasi guru honorer. Namun hingga kini, pemerintah pusat maupun daerah belum memiliki pos anggaran khusus untuk menggaji mereka. Maka tidak salah jika ada yang mengatakan guru honorer sebagai pahlawan tanpa jaminan hidup.
Pengklasifikasian guru menjadi dua kategori, yakni ASN dan non-ASN (honorer) merupakan salah satu konsekuensi dari diterapkannya sistem sekuler kapitalistik. Dalam sistem kapitalisme, tenaga kerja yang didalamnya termasuk guru, dipandang sebagai aset produksi yang dapat dikomersialisasi dan ditekan pembiayaannya sehingga bisa mendapatkan keuntungan maksimal, eksploitasi terhadap para guru selaku pihak yang berposisi sebagai pekerja, dianggap hal yang lumrah. Hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi kapitalisme, yaitu meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang serendah-rendahnya.
Penerapan sistem ekonomi kapitalisme menjadi salah satu penyebab minimnya anggaran pendidikan. Dalam sistem ini, SDA yang sejatinya milik seluruh rakyat dan jumlahnya yang melimpah, justru memberikan kesempatan untuk dikuasai secara bebas oleh pihak swasta maupun asing. Negara, yang tadi seharusnya bertanggung jawab dalam mengelola SDA dan mengembalikan keuntungannya kepada rakyat, justru hanya berperan sebagai regulator. Maka tidak heran jika negara kehilangan potensi pemasukan besar dari sektor ini, negara hanya memperoleh bagian dari pajaknya saja.
Di sisi lain, negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, bukan sebagai penanggung jawab utama atas kesejahteraan rakyat dan kualitas generasi. Wajar jika pemerintah lebih memilih menganggarkan gaji yang minim bagi guru honorer demi menekan beban pengeluaran negara, meskipun tanggung jawab mereka setara, bahkan lebih berat dibandingkan dengan guru ASN.
Kebijakan pemerintah yang tampak berpihak kepada guru honorer, seperti pemberian bantuan Rp300.000 per bulan bagi sebagian guru honorer yang memenuhi syarat, atau bantuan subsidi upah (BSU), hanyalah solusi tambal sulam. Bantuan tersebut tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Alhasil, kesejahteraan guru honorer tetap menjadi harapan yang belum kunjung terwujud.
Islam Menjamin Kesejahteraan Guru
Sebagai sistem kehidupan yang sempurna, Islam memiliki aturan yang khas dan rinci untuk seluruh aspek kehidupan manusia. Negara wajib menerapkan aturan-aturan tersebut secara praktis dan menyeluruh, karena negara bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya. Dalam sistem pendidikan Islam, negara berkewajiban menetapkan berbagai regulasi, termasuk yang terkait dengan penetapan gaji guru sesuai dengan ketentuan syarak.
Rekrutmen guru pun akan dilakukan sesuai kebutuhan dilapangan, profesionalitas, dan tentunya dengan manajemen pembiayaan yang adil dan menyejahterakan.
Dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa besaran gaji dalam Islam ditentukan berdasarkan nilai jasa yang diberikan. Upah atau gaji bisa berbeda-beda karena perbedaan nilai jasa, bukan karena status pekerjaan (ASN atau non-ASN). Untuk itu, negara akan menunjuk ahli guna mengukur nilai jasa seorang guru secara objektif.
Dalam Islam, jasa guru sebagai ujung tombak peradaban, maka tidak heran jika para khalifah sepanjang sejarah peradaban Islam memberikan gaji yang sangat besar kepada mereka. Contohnya saja sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadhi’ah bin Atha, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Telah memberikan gaji sebesar 15 dinar per bulan (1 dinar = 4,25 gram emas) kepada guru. Jika dikonversi dengan harga emas saat ini (Rp1.900.000 per gram), maka gaji guru tersebut setara dengan Rp121.125.000 per bulan.
Bahkan pada masa Shalahuddin al-Ayyubi gaji guru lebih tinggi. Pada dua madrasah yang di dirikannya, yaitu Madrasah Suyufiyah dan Madrasah Shalahiyyah, gaji guru saat itu berkisar antara 11 hingga 40 dinar. Jika dikonversi, nilainya mencapai Rp88 juta hingga Rp323 juta per bulan. Kemudian pada masa Khilafah Abbasiyah, para pengajar, fuqaha, dan ulama yang mengajar di berbagai universitas di Baghdad menerima gaji sebesar 300.000 dinar per tahun. Jika dikonversi berdasarkan nilai emas saat ini, maka setara dengan Rp15,75 miliar per bulan.
Meskipun dibutuhkan anggaran yang sangat besar untuk mewujudkan layanan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat, negara tidak pernah khawatir akan kekurangan dana. Allah Taala telah menetapkan sejumlah pos pemasukan rutin bagi negara. Salah satunya adalah kekayaan SDA yang merupakan milik umum. Dengan SDA kita sangat melimpah, jika dikelola secara profesional dan amanah, dapat menjadi sumber pemasukan yang luar biasa. Selain itu, masih ada pos-pos lain seperti ganimah, anfal, kharaj, dan usyur yang tidak kalah potensial. Dengan dana tersebut, seluruh kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan dapat diselenggarakan secara optimal.
Demikianlah, dengan menerapkan sistem kapitalisme hanyalah melahirkan realitas pahit terkait dengan kesejahteraan guru terutama honorer. Tidak sedikit dari mereka harus menunggu berbulan-bulan untuk menerima gaji, itu pun jumlahnya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Hal ini tidak hanya satu atau dua kasus, melainkan terjadi pada jutaan guru honorer.
Tetapi sebaliknya dalam negara Islam guru diposisikan sebagai pilar utama peradaban dan diberi kedudukan yang mulia. Negara, dengan penuh tanggung jawab, memberikan penghargaan dan kesejahteraan yang layak kepada mereka sebagai bentuk pengakuan atas peran vitalnya dalam pendidikan dan pembentukan generasi. Oleh karena itu, memperjuangkan tegaknya kembali negara Islam adalah merupakan sebuah keharusan agar problematik guru honorer dapat segera diakhiri. Wallahualam bissawab.
Oleh : Nurjaya, S.PdI
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru