Share ke media
Opini Publik

Duh, Lagi Lagi Pungli di Sekolah Negeri!

17 Sep 2024 04:38:2758 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : edukasi.okezone.com - Duh, Sekolah Ini Diduga Lakukan Pungli Buku Sekolah - 26 Januari 2017

Samarinda - Tidak dapat dipungkiri, tersiar atau pun hanya bisik bisik di kalangan masyarakat, kita sering mendengar tentang pungutan liar atau pungli di sekolah negeri. Bentuk punglinya pun seringkali diperhalus dengan sebutan ‘pertolongan’, entah ‘pertolongan’ karena si calon siswa ini telat mendaftar saat tahun ajaran baru, siswa pindahan, atau dalam kasus lain biaya tambahan dalam bentuk pembelian buku paket, yang katanya tidak wajib tapi toh sangat berpengaruh dalam kegiatan belajar siswa. Akhirnya, seperti tradisi yang di normalisasi, ada yang menganggap wajar daripada tidak bersekolah. Tidak sedikit yang memilih untuk membayar saja, daripada melaporkan, atau beranggapan daripada bersekolah di sekolah swasta yang biayanya lebih mahal. Lalu, akibat maraknya kasus pungli di sekolah negeri, terbentuklah stigma di masyarakat saat ini terutama bagi mereka yang kalangan menengah keatas berupa; lebih baik menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta, walaupun lebih mahal namun, dianggap mutu dan biayanya jelas sejak awal. Padahal praktek pungli tidak menutup kemungkinan terjadi juga di sekolah swasta.

Fakta terbaru dibulan agustus yang terang terangan terjadi di SDN 021 Tanjung Redeb, penarikan uang bangku sebesar 300 ribu kepada orang tua siswa pindahan oleh Kepala Sekolahnya sendiri. Hasil pemeriksaan oleh Dinas Pendidikan pun akan berujung pada dicopotnya jabtan Kepala Sekolah yang baru saja diangkat pada Maret 2024 lalu itu. Sang Kepala Sekolah malah melaporkan sejumlah guru, tiga orang tua murid dan sekretaris Dinas Pendidikan ke Mapolres Berau atas pelanggaran UU ITE. Merasa difitnah, Kepala Sekolah mengatakan uang bangku sebesar 300 ribu itu merupakan kesepakatan bersama dengan orang tua murid pindahan, bukan paksaan (Berauterkini.co.id, 27/08/2024). Yang terjadi di SDN 021 hanyalah satu diantara banyak praktek pungli yang terungkap, mungkin lebih banyak lagi yang tidak dan belum dibongkar. Yang pasti setiap dimulainya tahun ajaran baru, pungli akan berkamuflase dalam berbagai modus, selain buku paket, pengadaan seragam, iuran kegiatan sekolah hingga uang sumbangan, juga gratifikasi sebagai syarat penerimaan murid yang terkendala sistem zonasi.

Faktor utama terjadinya praktek pungli biasanya karena pendanaan sekolah yang kurang. Dibuatlah rekayasa kebutuhan, seperti pungli yang berkedok sumbangan atau infaq dengan alasan menunjang proses pembelajaran. Potret Pendidikan di sistem kapitalis sekuler memang pahit, anggaran Pendidikan dari pemerintah yang terbatas cenderung kurang menjadikan sekolah seolah berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan operasionalnya. Sehingga pungutan liar dengan berbagai wujudnya pun terjadi. Ini baru dikalangan SD dan SMP yang seharusnya gratis, belum lagi di tingkat universitas yang diberlakukan sistem otonomi menjadi penyebab biaya UKT semakin tahun semakin diluar nalar besarannya.

Tentu carut marut Pendidikan kita tidak lepas dari dalangnya, yaitu sistem sekuler kapitalis. Sekuler, memisahkan kehidupan dunia dari agama, singkatnya tidak mengenal halal haram. Maka tidak heran segala celah diperas agar mendapatkan uang. Mau haram atau menzalimi orang tua murid ya tidak peduli, karena dalam Sekulerisme, Tuhan hanya berada di area ibadah ritual yang bersifat personal. Di ranah publik seperti sekolah atau pasar, Tuhan dianggap tidak ada. Lalu, dalam kapitalisme, Pendidikan merupakan objek komoditas layaknya barang dagangan, keuntungan materi menjadi tolak ukur, jika investasi dibidang ekonomi lebih menguntungkan maka anggaran untuk Pendidikan yang menjadi tanggung jawab negara tidak ragu untuk dipangkas. Sudahlah anggaran Pendidikan terbatas hanya 20% dari APBN 2024 yaitu Rp. 660,8 triliun dan faktanya dari sidang UU Sisdiknas di Mahkamah Konstitusi terungkap bahwa terdapat kekurangan dana sekitar Rp.418 triliun untuk menyelenggarakan Pendidikan di jenjang SD dan SMP secara gratis. Seolah kurang niat menjalankan amanahnya di sektor Pendidikan, Penguasa lebih memilih menggelontorkan dana untuk anggaran Bansos yang kebetulan semakin jor – Joran saat musim pemilu 2024, mencapai Rp. 496 Triliun. Atau lebih suka memberikan anggaran proyek IKN sebanyak Rp. 566 Triliun pada tahun 2021. Negara seperti lepas tangan terhadap tanggung jawab Pendidikan dengan mengutamakan proyek ambisius, rakyat mau tidak mau berusaha sendiri, mereka yang ingin Pendidikan bermutu maka harus membayar lebih dengan jalur bersekolah di swasta misalnya, atau yang mampu bersekolah di Negeri terpaksa bersabar dan tetap membayar berbagai bentuk pungli walaupun harus berhutang sana sini, lalu mereka yang tidak mampu akhirnya memutuskan tidak bersekolah. Sementara itu, Lembaga penyelenggara Pendidikan mencari berbagai cara untuk menambal kekurangan pendanaan hingga akhirnya membuka lebar celah pungli, gratifikasi hingga korupsi oleh oknum pendidik. Hukuman pelaku pungli pun hanya sebatas pencopotan jabatan, tidak memberikan efek jera malah rawan untuk diulang dan ditiru.

Apapun alasannya, pungli tidak dapat dibenarkan, termasuk perbuatan zalim dan bathil. Bahkan lebih buruk dari pencuri, karena pelaku dan pencatat pungli memanfaatkan kelemahan dan kebutuhan orang lain. Tidak hanya terjadi pada dunia Pendidikan, pungli juga terjadi hampir disetiap sudut, sebut saja ketika ingin mengurus kartu identitas, izin usaha, urusan tanah dan bangunan, supir angkutan ketika akan melewati suatu jalan, dan sebagainya. Inilah yang terkondisikan dalam sistem sekuler kapitalis. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 188).

Tentu saja sistem Islam jauh berbeda dengan sistem bathil yang saat ini diterapkan, dan sudah dibuktikan melalui sejarah bukan hanya dongeng semata. Contohnya, bagaimana masa kepemimpinan Khalifah Al-Hakam II dengan 80 sekolah umum di Cordoba menjamin semua mendapat hak Pendidikan. Lalu pada masa khilafah Abbasiyah dimana peradaban Islam mampu membangun pusat ilmu pengetahuan dunia yang menjadi dasar teknologi dan ilmu kedokteran hingga hari ini. Guru dalam negara islam adalah profesi yang terhormat dan bergaji tinggi, tidak akan ditemui nasib mengenaskan guru honorer yang bergaji seratus dua ratus ribu seperti zaman now.

Dalam Islam, Pendidikan adalah hak dasar yang dapat dan wajib diakses oleh siapa pun secara gratis atau dengan biaya semurah murahnya, tidak peduli si murid dari keluarga kaya atau miskin, hal ini menjadi tanggung jawab penuh negara dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Sama krusialnya dengan kebutuhan dasar lain seperti bahan makanan pokok, tempat tinggal, dan layanan kesehatan. Pertanggung jawaban penguasa dalam negara yang menerapkan Islam akan disadari sebagai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak di akhirat. Maka, penguasa tidak akan bertindak sebagai regulator saja apalagi sampai berani mengabaikan hak dasar rakyatnya hingga membiarkan jajarannya mengambil harta dengan jalan yang bathil dan haram. Inilah salah satu poin dasar yang membedakan dengan penguasa sekuler.

Pembiayaan Pendidikan dalam negara Islam berasal dari Baitul mal. Pendapatannya berasal dari dua pos utama, kepemilikan negara seperti ghanimah, jizyah, zakat. Kemudian kepemilikan umum, hasil pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) seperti tambang batu bara, minyak, gas, emas, pemanfaatan hasil hutan dan laut. Jadi, SDA dikelola negara untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, bukannya diobral ke pihak swasta dan investor asing lalu hasilnya masuk ke kantong pribadi atau sekelompok pengusaha, sementara penguasa hanya bertindak sebagai wasit seperti yang terjadi di era kapitalisme saat ini. Biaya Pendidikan juga bisa berasal dari wakaf, Islam tidak melarang penduduknya yang berlebihan harta untuk membiayai Pendidikan secara sukarela. Dalam sistem Islam, aturan, administrasi dan kurikulum Pendidikan juga bersifat terpusat, tidak ada konsep otonomi seperti dalam kapitalisme yang menyebabkan biaya Pendidikan di tiap lembaga bisa berbeda dan meningkat brutal. Serta menutup rapat pintu pungli dan kecurangan lainnya oleh oknum penyelenggara Pendidikan.

Tujuan Pendidikan dalam negara Islam yaitu mencetak manusia cerdas bertakwa yang memahami darimana Ia berasal, untuk apa Ia hidup didunia dan hendak kemana setelah kematian. Dengan sendirinya ahlak pun menjadi bonus, ilmu dan jabatan yang kelak didapat menjadi sarana kesejahteraan bagi seluruh alam. Tidak seperti hasil Pendidikan di sistem sekuler kapitalis yang hanya mencetak calon pekerja, Pendidikan dianggap investasi yang suatu hari harus kembali modal bagaimanapun caranya termasuk hasil korupsi dianggap rejeki, lalu ilmu serta jabatan yang didapat malah menyusahkan orang lain dan menjadi petaka bagi alam. Semoga dengan kerusakan yang secara nyata ditunjukan oleh sistem buatan manusia saat ini menjadikan kita sadar bahwa hanya sistem Islam lah, aturan paten dari sang Pencipta yang mampu membawa kebaikan bagi manusia dan seluruh alam. 

Wallahu ‘alam bisawab. 

Oleh : Ana Fitriani