Samarinda - Beberapa waktu lalu Bupati Berau, Sri Juniarsih Mas yang menjadi salah satu pembicara dalam forum on Blue Natural Capital, Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) yang berlangsung di Sekretariat CTI-CFF di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (8/6/2024). Dihadapan para pakar lingkungan utusan dari berbagai negara, Bupati perempuan pertama di Kabupaten Berai tersebut mempresentasi potensi bahari dan program pembangunan ekonomi biru yang telah dilaksanakan di Kabupaten Berau.
Dalam paparannya, Bupati Sri Juniarsih, menyampaikan komitmen Pemkab Berau dalam mewujudkan pembangunan ekonomi biru. Membangun sektor perikanan, kelautan dan pariwisata yang berkelanjutan. Hal itu ditunjukkan dengan ditetapkan kawasan konservasi pesisir dan pulau pulau kecil dengan luas 285 ribu hektar lebih di Bumi Batiwakkal. Serta memberikan pendampingan dan pembinaan kepada masyarakat di pesisir dan kepulauan untuk menjaga lingkungan dan meningkatkan ekonomi secara berkelanjutan.
Dalam kesempatan itu, Sri Juniarsih juga secara khusus mengundang seluruh partisipan high level forum CTI-CFF untuk berkunjung ke Kabupaten Berau. Berwisata dan bahkan berinvestasi membangun Bumi Batiwakkal.
Untuk diketahui CTI-CFF adalah Inisiatif Segitiga Karang untuk Terumbu Karang, Perikanan, dan Ketahanan Pangan. (CTI-CFF) adalah kemitraan multilateral enam negara yang bekerja sama untuk melestarikan sumber daya laut dan pesisir yang luar biasa dengan mengatasi isu-isu penting seperti ketahanan pangan, perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati laut. Ini merupakan kerja sama multilateral pertama yang berfokus pada ketahanan pangan melalui pengelolaan sumber daya alam laut yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan dampak perubahan iklim. CTI-CFF dibentuk pada tahun 2009 dan beranggotakan pemerintah Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor-Leste (“CT6”) yang mewakili penjaga kawasan Segitiga Terumbu Karang. (https://beraukab.go.id/news/bupati-sri-juniarsih-paparkan-pilot-project-program-blue-economy-berau)
Ekonomi Biru di Kabupaten Berau
Bank Dunia menyatakan ekonomi biru adalah pemanfaatan sumber daya laut yang berwawasan lingkungan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan mata pencaharian sekaligus pelestarian ekosistem laut.
Adapun program ekonomi biru yaitu meliputi perluasan kawasan konservasi laut sebagai ekosistem blue carbon, penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan budidaya laut, pesisir, dan darat yang ramah lingkungan, serta penataan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menghindari kerusakan akibat tingginya aktivitas ekonomi.
Sebagai Negara Maritim yang memiliki potensi perikanan dan kelautan yang berlimpah, maka tidak heran jika program blue economy atau ekonomi biru penting untuk Indonesia. Tercatat nilai sektor perikanan Indonesia mencapai US$ 29,6 miliar, setara dengan 2,6 persen PDB Indonesia. Negeri ini juga berada di urutan kedua penghasil ikan terbesar di dunia setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Laut Indonesia yang memiliki bagian terbesar Segitiga Terumbu Karang yang menjadi habitat 76 persen dari seluruh spesies terumbu karang dan 37 persen dari seluruh spesies ikan terumbu karang dunia. Dimana nilai ekosistem terumbu karang bagi ekonomi dunia adalah mencapai USD172 miliar. (kadin.id)
Kepulauan Maratua mempunyai nilai khusus karena terletak di Zona Coral Triangle (ZCT). Ini menjadi tantangan bersama untuk mewujudkan economy carbon agar dikelola secara maksimal untuk membangun perekonomian daerah.
Oleh karena itu, pengembangan program ekonomi biru di pulau Maratua dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) berupa mangrove, terumbu karang dan lamun. Yakni dengan menjaga kawasan tersebut sebagai ekosistem blue carbon dan pengembangan sektor pariwisata di daerah-daerah pesisir Kabupaten Berau.
Ekonomi Biru Alat Menguasai Negara Maritim Oleh Para Kapitalis
Kebijakan ekonomi biru memang tampaknya mampu menjadi solusi untuk mengatasi problematika yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia khususnya yang mencari alternatif lain sebagai sumber pemasukan negara dan dunia pada umumnya.
Namun menurut kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Focal Point for Corporate Accountability (IFP) menganggap agenda Tata Kelola Ekonomi Biru Global yang dibahas dalam Konferensi Laut Global PBB akan semakin mendorong perampasan ruang laut dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat, khususnya yang tinggal di pesisir dan masyarakat adat. (Betahita.id, 2022)
Tentu kita tidak bisa menutup mata, bahwa nelayan sebagai ujung tombak pemanfaatan sektor bahari, adalah kalangan ekonomi bawah. Mereka miskin. Ini sungguh ironi. Menurut data BPS (2018), setidaknya 20 sampai 48 persen nelayan dan 10 hingga 30 persen pembudidaya tergolong miskin.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi miskin pada nelayan dan pembudidaya. Di antaranya harga jual hasil tangkap yang terlalu murah dibanding dengan biaya produksi. Sementara itu, kuantitas produksi dan tangkapan dari dua kalangan ini, terutama usaha kecil dan menengah, juga terlalu rendah dibandingkan pengusaha perikanan skala besar.
Pengembangan ekonomi biru dari sektor pariwisata melalui kerjasama dengan pihak asing akan berdampak pada kerusakan tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Akan terjadi transfer budaya asing ke penduduk lokal yang akan mengikis agama dan adat istiadat mereka. Dari segi ekonomi, masyarakat lokal takkan mampu bersaing dengan pemilik modal. Sehingga mereka akan tetap berada pada ekonomi rendah.
Selain itu juga, yang perlu kita garis bawahi bahwa program ekonomi biru bukan murni proyek negeri ini, tetapi program yang di prakarsai oleh dunia internasional Kapitalisme yang mempunyai kepentingan terhadap negara-negara berkembang untuk memperbaiki kerusakan –Krisis iklim- yang mereka timbulkan akibat dari kerakusan industri raksasa para negara-negara kapitalis. Sementara negara-negara berkembang termasuk Indonesia disuruh memperbaiki kerusakan akibat dari kerakusan mereka. Yakni melalui blue carbon.
Akademisi Perikanan dan Kelautan dari Universitas Trilogi Jakarta, Muhammad Karim, menilai konsep ekonomi biru terjadi pergeseran. Ia menyebut, paradigma ekonomi biru hanyalah dalih untuk menciptakan ketergantungan dan ketidakadilan baru di sektor kelautan. Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Gunter Pauli, ekonomi biru tidak menolak atau mengkritik globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Ia hanya ingin menciptakan suatu keseimbangan baru dalam ekonomi global. Dengan kata lain kata Karim, ekonomi biru merupakan salah satu varian kapitalisme neoliberal yang mengusung teori pertumbuhan biru atau blue growth.
Secara ideologis, ekonomi biru memiliki hubungan yang sangat dekat dengan aliran Neo-Austrian yang berpaham liberalisme klasik. “Bentuknya adalah utang luar negeri. Ironisnya kata Karim, negara-negara berkembang yang kaya sumber daya kelautan, termasuk indonesia tak menyadarinya” kata Karim.
Karim menyayangkan, pengalaman berbagai negara pengusung ekonomi biru justru menunjukkan bahwa dana tersebut menimbulkan masalah struktural dan kultural.
Karim mencontohkan, Seychelles, salah satu negara kepulauan di Samudera Hindia, menjadikan laut sebagai ruang pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi lewat eksplorasi dan eksploitasi perikanan tuna. “Akibatnya, industri perikanan tuna dikuasai Uni Eropa membuat perikanan skala kecil hingga masyarakat terpinggirkan,” kata Karim. Contoh itu kata Karim, membuktikan bahwa kebijakan ekonomi biru mengorbankan serta meminggirkan nelayan kecil, masyarakat pesisir. (Betahita.id, 22/3/2024)
Lebih mirisnya lagi, Peneliti Transnational Institute, Carsten Pedersen menjelaskan, ruang kemudi politik ekonomi kelautan global saat ini dikendalikan dengan kuat oleh 100 perusahaan transnational (TNCs) yang menyumbang 60 persen dari modal yang terakumulasi dalam ekonomi laut. Yang mana 86 persen di antaranya berasal dari perusahaan minyak dan gas lepas pantai dan industri perkapalan. Ia menyebut, kooptasi kuat perusahaan multinasional tersebut dalam pengambilan keputusan dalam sistem PBB telah memperparah praktek perampasan laut. Yang mana mereka lebih banyak berbicara soal investasi dan pembiayaan ekonomi biru.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Parid Ridwanudin menegaskan, tata kelola laut di Indonesia juga disusun untuk melayani kepentingan korporasi skala besar. Agenda strategi ekonomi biru Indonesia yang akan disampaikan oleh Pemerintah Indonesia di forum UN Global Ocean Conference jauh dari perlindungan masyarakat pesisir.
Parid menjelaskan terkait dengan kawasan konservasi laut. Walhi menilai kawasan ini akan mudah diubah untuk kepentingan proyek-proyek ekstraktif seperti pertambangan dan juga diubah untuk kawasan neo-ekstraktif seperti proyek pariwisata skala besar.
Hal ini telah disebut jelas dalam UU Cipta Kerja, Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, dan Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan.
Parid menyebut hal ini adalah bentuk perampasan ruang laut yang direncanakan (planned ocean grabbing) yang dilakukan oleh pemerintah. Ocean grabbing adalah perampasan kontrol dan akses terhadap sumber daya kelautan dan perikanan yang menjadi hak masyarakat, dilakukan melalui proses tata kelola yang tidak tepat serta merusak kesejahteraan sosial-ekologis masyarakat. (Betahita.id, 2022)
Pergeseran ekonomi biru pada praktiknya di beberapa negara mengalami kegagalan dan nelayan kecil menjadi korban. Maka hal ini menegaskan bahwa ekonomi biru adalah alat untuk menguasai dan mengekploitasi SDA Perikanan dan Kelautan di Indonesia.
Islam Menjaga Potensi Laut dan Isinya
Begitu banyaknya limpahan karunia dan nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Salah satunya adalah sumber daya alam kelautan agar manusia itu bisa memanfaatkan dan menikmatinya. Namun, hal itu belum bisa dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat secara umum karena pengelolaannya hari ini tidak sesuai dengan syariat Islam. Karena masih diserahkan kepada pihak swasta atau asing. Padahal Rasulullah saw. Bersabda :
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Laut, menurut hadis di atas termasuk ke dalam kategori air. Laut beserta seluruh potensi bahari dalam Islam adalah sumber daya kepemilikan umum (milik rakyat). Pengelolaannya harus di bawah tanggung jawab penguasa negara untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat secara luas selaku pemilik potensi bahari tersebut. Negara semestinya berperan mewakili rakyatnya untuk mengelola potensi bahari sehingga tidak boleh terjadi privatisasi oleh pihak tertentu, baik individu maupun para pemodal komersial. Negara juga tidak boleh disetir oleh pihak lain untuk memenuhi kepentingan mereka sebagaimana yang terjadi hari ini.
Di samping itu, penguasa harus berperan aktif untuk mengurus dan mengatur urusan rakyatnya. Rasulullah saw. Bersabda :
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Dengan demikian, sangat penting untuk mengembalikan fungsi laut sebagai wujud pemeliharaan karunia Allah SWT. Jelas sekali, mengelola alam sebagaimana perintah Allah adalah mandat penciptaan dan amanah atas nama keimanan. Allah Swt. berfirman,
“Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (TQS An-Nahl [16] : 14)
Wallahua’lam bishowab
Oleh : Meltalia Tumanduk (Pemerhati Masalah Sosial)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru