Samarinda - Kisruh kelangkaan gas terjadi di berbagai wilayah tak terkecuali di Kaltim beberapa waktu lalu. Kelangkaan ini bermula dari kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melarang pengecer menjual gas elpiji 3 kg mulai 1 Februari 2025. Meski Presiden Prabowo Subianto telah mencabut kebijakan tersebut, nyatanya banyak warga sudah terlanjur melakukan panic buying
Kebijakan pengaturan distribusi gas bersubsidi terlampir dalam surat edaran terbaru, yang telah tercatat di surat Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Bo. 570/MG.05/DJM/2025 tanggal 20 Januari 2025, tentang Penyesuaian Ketentuan Pendistribusian LPG Tabung 3 Kg di Sub Penyalur.
Plt Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Perindustrian, dan Perdagangan (DKUMPP) Kota Bontang, Alfrita Junain Sande menyampaikan, bahwa pihaknya telah menerima surat edaran tersebut, dimana sekarang ini setiap pangkalan tidak diperbolehkan lagi menyalurkan gas melon ke pihak pengecer. (radarbontang.com).
Kelangkaan gas elpiji 3 kg juga terjadi di Kota Tepian membuat DPRD Samarinda bergerak. Komisi II menggelar RDP bersama instansi terkait, mendesak agar distribusi gas bersubsidi dilakukan langsung ke tingkat RT untuk memastikan pasokan tepat sasaran. (kaltimfaktual.co).
Kelangkaan gas melon terus berulang, kali ini dikarenakan aturan distribusi yang berubah. Lantas kenapa gas melon sering mengalami kelangkaan dan bagaimana Islam memandang?
Kebijakan Zhalim
Rakyat kerap menjadi korban kebijakan yang zalim penguasa. Pasalnya, akibat kebijakan perubahan distribusi gas bersubsidi rakyat terpaksa mengantri lama dan jarak yang jauh. Hal tersebut mereka lakukan agar bisa memasak untuk keluarganya. Sebab, kini gas melon satu-satunya bahan bakar untuk memasak, setelah minyak tanah dikonversikan ke gas sejak beberapa tahun yang lalu.
Mereka terpaksa mengantri berdesak-desakkan meskipun panas ataupun hujan, diantaranya ada perempuan dan lansia demi mendapatkan gas melon. Bahkan, di wilayah lain ada yang meninggal usai kelelahan mengantri gas.
Kebijakan perubahan sistem distribusi LPG, dengan mekanisme mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi agar bisa mendapatkan stok gas melon untuk dijual. Meskipun akhirnya kebijakan tersebut dibatalkan karena memicu kekisruhan, kejahatan bahkan korban.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan gas seolah peduli akan kebutuhan dasar rakyat. Namun sejatinya, kelangkaan terjadi akibat kebijakan pemerintah sendiri yang setengah hati mengurus rakyat dengan membagi kelas subsidi dan non subsidi. Penguasa seakan jadi populis otorutarianisme, seolah jadi pahlawan setelah membatalkan kebijakan dzalim.
Selain itu, sistem ini juga meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi “karpet merah” pada korporasi untuk mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat. Padahal, semestinya negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan apalagi perusahaan. Akhirnya rakyat harus membayar mahal untuk mengakses kebutuhan dasarnya.
Ironisnya, kelangkaan terjadi di berbagai wilayah Indonesia termasuk Kaltim sebagai penghasil migas. Tengok saja di Muara Badak, Bontang, dan Balikpapan adalah kota/kabupaten penghasil gas yang jumlahnya besar harusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Problem mendasar dari kelangkaan gas terjadi karena penerapan sistem Sistem kapitalisme. Sistem ini menghilangkan peran negara sebagai ro’in (pengurus rakyat). Sebaliknya negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator semata.
Islam Mencegah Kezhaliman
Dalam Islam ketika ada keluhan masyarakat maka maka akan segera ditindaklanjuti oleh penguasa. Namun, jika kezhaliman dilakukan oleh penguasa dan dia terbukti membuat kebijakan dzalim maka Qadhi madzalim akan bertindak tegas bahkan boleh memberhentikannya. Hal tersebut tertuang dalam buku Aj Hizah karya Syekh Taqiyudin An-Nabhani bab Mahkamah Mazholim.
Islam pun telah menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum dan mewajibkan negara untuk mengelola SDA tersebut demi kepentingan rakyat. Hal tersebut dijelaskan dalam kitab Nizhom Iqtishody bab kepemilikan umum karya Syekh Taqiyudin An-Nabhani, bahwasanya SDAE adalah milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal air, api dan padang gembala “. (HR. Abu Dawud).
Selain itu, negara menjalankan fungsinya yakni sebagai raa’in dan memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum. Termasuk migas sumber daya alam yang merupakan hajat publik. Bukan justru menyulitkan rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam/khalifah adalah Ra’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Hendaknya seorang penguasa mengingat sabda Rasulullah SAW ini ketika diberi amanah sebagai pelayan umat tidak menyulitkan rakyatnya. “Barangsiapa yang menyulitkan (orang lain) maka Allah akan mempersulitnya para hari Kiamat.” (HR. Bukhari). Wallahu A’lam
Oleh: Ninis (Aktivis Muslimah Balikpapan)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru