Samarinda - Wakil Ketua I DPRD Berau Syarifatul Syadiah, turut berpendapat mengenai fenomena banyaknya korban kekerasan hingga pelecehan seksual, yang enggan melapor ke aparat kepolisian. Menurutnya, tindak kekerasan tidak sekadar kekerasan fisik semata. Kekerasan verbal hingga pelecehan seksual juga termasuk sebagai tindakan pelanggaran hukum. Namun disayangkan, masih banyak korban yang enggan melaporkan kekerasan yang diterima, karena merasa malu atau takut. Sehingga terus membiarkan dirinya menjadi samsak hidup dan seolah membiarkan pelaku leluasa melakukan aksinya.
Sebagai seorang perempuan, Syarifatul tentu tidak ingin lebih banyak lagi perempuan yang menjadi korban kekerasan. “Saatnya kaum perempuan berani bersuara,” katanya. Sekretaris DPD Golkar Berau yang akrab disapa Sari ini tidak menampik, peran orangtua dalam melakukan pengawasan terhadap anaknya juga penting. Sebab juga banyak ditemukan aksi kekerasan yang melibatkan anak di bawah umur, terutama kekerasan seksual bagi anak perempuan yang menjalin kasmaran. “Kekerasan dalam pacaran seperti fenomena gunung es. Korban malu untuk bercerita, akhirnya hanya bisa memendam sendiri dan bisa berpengaruh pada psikologis korban juga,” terangnya.
https://berau.prokal.co/read/news/72993-korban-kekerasan-harus-berani-melapor.html
Pergaulan remaja saat ini semakin memprihatinkan, gaul bebas dianggap biasa dan seolah difasilitasi. Bahkan, dianggap suatu hal memalukan apabila remaja tidak memiliki pacar alias pasangan. Seolah orang tua mereka bangga apabila ada yang menjemput anaknya setiap akhir pekan. Seharusnya orang tua yang menjadi benteng pertama perlindungan anak malah memandang ini hal yang biasa saja. Aktivitas pacaran dibenarkan dengan dalil kebebasan mengekspresikan naluri, fitrah manusia yang banyak diminati oleh remaja yang miskin tanggung jawab dan tidak sanggup untuk menikah. Bahkan di antara mereka banyak yang mengalami kekerasan dalam pacaran (dating violence). Mulai dari disakiti secara fisik, diintimidasi, terenggutnya kesucian dan resiko kehamilan yang tak diinginkan semua akibat liberalisasi.
Selain itu kondisi masyarakat yang terdidik oleh sistem kapitalis sekuler menghasilkan sikap individualis. Masyarakat sibuk mengurusi diri masing-masing, hingga ketika ada remaja yang bergaul bebas, tak ada nasihat maupun teguran. Ketika ada sebagian masyarakat yang peduli pada nasib remaja dan menyerukan haramnya zina dan pacaran, kelompok ini justru dipandang negatif dan dicap radikal. Dan negara yang berperan sebagai regulator memfasilitasi para kapitalis media mendulang cuan dari gaya hidup bebas remaja ini. Mereka memproduksi film, sinetron, game, musik, dan aneka tayangan seputar asmara muda-mudi dan pornografi. Tak peduli, bahwa para remaja makin jauh terseret kehidupan liberal yang membahayakan kehormatan, kesucian, kesehatan jiwa raga mereka.
Generasi muda akan rusak jika tidak diatur dengan aturan berasal dari sang Khalik, karena Allah sangat mengetahui apa yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya. Maka Allah SWT pun menurunkan Islam untuk mengatur segala aspek kehidupan di dunia. Salah satunya mengatur tentang pergaulan remaja agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Karena dalam negara Islam, aturan yang mengatur tentang pergaulan tidak diserahkan kepada individunya, tetapi negara, masyarakat dan keluarga ikut andil dalam menerapkan aturan, sehingga aturan itu ditaati semua umat. Islam menetapkan sejumlah rambu-rambu interaksi pria dan wanita, antara lain tidak boleh berdua-duaan (khalwat), larangan campur baur laki-laki dan perempuan (ikhtilat), menjaga pandangan (gadhul bashar), jika pun terjadi interaksi hanya boleh dalam perkara medis, muamalat, dan pendidikan.
Juga memerintahkan bagi wanita untuk menutup aurat lengkap dengan jilbab dan kerudung. Wanita juga tidak boleh tabaruj alias bersolek yang bisa menarik perhatian laki-laki. Selain itu, baik pria maupun wanita wajib menjaga menjaga kemuliaan masing-masing. Sebab dalam Islam pacaran merupakan perbuatan yang dilarang Allah, dalam firmannya “Janganlah kalian mendekati zina. Sungguh zina itu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. (TQS Al – Isra’[17]: 32). Dalam hal ini orang tua wajib mendidik anaknya dengan menanamkan akidah, dan mendidik anak laki-laki sebagaimana mendidik seorang pemimpin. Demikian juga seorang anak perempuan, pendidikan yang orang tua berikan adalah pendidikan bagi seorang calon ibu rumah tangga.
Pada tataran formal, pendidikan harus terlaksana sejalan dengan fitrah laki-laki dan perempuan. Walhasil, saat usia balig, mereka sudah memahami syariat secara utuh dan memahami beban hukum sesuai jenis kelamin masing-masing. Ketika syariat sudah ditetapkan oleh negara, maka hukuman bagi para pezina yang telah menikah akan dirajam sampai mati. Namun, bila pelaku sama-sama masih belum menikah, maka akan dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Allah SWT berfirman, “Perempuan berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah, (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 2).
Islam tak akan membiarkan para pemuda melakukan hal yang diharamkan oleh Allah. Ketika perempuan dan laki-laki yang sudah cukup umur, maka akan dinikahkan. Bila terkendala biaya, negara akan siap membantu. Begitulah sistem Islam yang tidak hanya mampu menghentikan laju perzinaan, namun mampu pula menghadirkan solusi tuntas segala problematika hidup manusia. Wallahu a’lam bhissowab.
Oleh : Devi Ramaddani (Pemerhati sosial)
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru