Share ke media
Opini Publik

Gugat HGU ke MK: Masyarakat Mulai Melek

16 Mar 2025 07:17:4837 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : kabartimurnews.com - Bertambah Satu Kabupaten di Maluku Yang Ajukan Gugatan MK - 12 Desember 2024

Samarinda - “Kebijakan dua siklus HGU dan HGB jelas melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang telah mengatur tata cara dan jangka waktu pemberian hak atas tanah dalam membentuk HGU dan HGB,” ujar Stepanus di Gedung MK pada Selasa, 4 Maret 2025 lalu

Stepanus Febyan Babaro, perwakilan Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Timur mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Isi gugatannya adalah untuk membatalkan Pasal 16A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tentang pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai kepada investor dengan jangka waktu yang terlalu lama, hingga 100 tahun.

Masyarakat adat merasa cemas, takut, dan khawatir karena pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai dengan jangka waktu yang terlalu lama itu akan membuat pemerintah lebih memprioritaskan investor daripada melindungi hak-hak masyarakat adat, hal itu disampaikan oleh pemohon gugatan, Stepanus Febyan Babaro.

Lamanya waktu tersebut yaitu 100 tahun, berpotensi semakin menyisihkan masyarakat adat dari tanah leluhur mereka. Dikhawatirkan pula akan memperkecil kesempatan masyarakat adat untuk melestarikan tanah leluhur dan budaya mereka.

Hakim konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa dalil pemohon yang menggunakan frasa “cemas, takut, dan khawatir” menurutnya terlalu subjektif untuk bisa dinilai dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan kedudukan legal standing pemohon belum jelas. Menurutnya, permohonan masih kabur dalam menjelaskan apakah ia perseorangan atau bagian dari masyarakat adat yang terkena dampak. 

Kendati demikian, isu yang diajukan bersifat penting untuk dibahas dalam persidangan mahkamah, para hakim meminta kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan agar lebih komprehensif dan aktual.

Dari sisi administratif ke MK memang hanya diwakilkan satu komunitas masyarakat, yakni masyarakat adat sehingga bisa maju. Tindakan yang diambil oleh komunitas masyarakat tersebut adalah benar, dan ini artinya sudah muncul kesadaran dari masyarakat akan bahayanya langkah yang diambil oleh pemerintah. Yaitu perampasan ruang hidup masyarakat.

Kekhawatiran masyarakat adat karena pemberian HGU, HGB dan hak pakai dalam jangka terlalu lama justru lebih memprioritaskan investor daripada hak-hak masyarakat adat adalah benar. Sudah seharusnya masyarakat kritis, cerdas dan cepat bertindak karena tabiat demokrasi kapitalis sekuler liberal hanya berpihak kepada oligarki daripada masyarakat saat ini.

Dalam banyak kasus sengketa lahan, pemerintah menggunakan mekanisme hukum domein verklaring. Warisan hukum kolonial ini menyatakan bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya dengan surat (sertifikat) otomatis akan menjadi tanah negara. Oleh karena itu, jutaan masyarakat terancam kehilangan lahan dan tempat tinggal karena mereka tidak memiliki SHM (Sertifikat Hak Milik). Belum lagi warga terancam oleh mafia tanah yang bisa menggandakan SHM untuk mereka perjualbelikan.

Demikianlah UU dan aturan sistem kapitalisme dzalim kepada rakyatnya.

Tanah Dalam Perspektif Islam

Pada dasarnya, tanah merupakan tempat tinggal dan beraktivitasnya manusia. Dalam Islam, tanah merupakan salah satu kekayaan yang mendapat perhatian penting. Aturan pertanahan dalam Islam akan menjamin ketahanan pangan, keamanan, tempat tinggal, dan lainnya.

Islam memandang masalah pertanahan dengan mendudukkan hak milik tanah atas dasar tiga kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Tanah rakyat wajib dilindungi dan tidak boleh dijadikan milik umum dan negara; sedangkan tanah milik umum tidak boleh dimiliki atau diserahkan kepada individu, seperti tanah yang mengandung barang tambang yang melimpah (emas, tembaga, hutan, pantai, lautan, dan SDA lainnya); juga sumber dan saluran air, serta jalan-jalan umum.

Pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada perusahaan swasta saat ini, misalnya, lahir dari kebijakan privatisasi yang jelas-jelas merupakan kebijakan yang haram dan zalim yang hanya menguntungkan para pengusaha atau segelintir pihak saja.

Sedangkan dalam sistem Islam, privatisasi air, tambang, ruas jalan, dan sebagainya yang diberikan oleh swasta, tidak boleh ada (akan dicabut). Hal ini pernah terjadi saat Abyadh bin Hamal datang menemui Rasulullah saw., meminta agar diberi tambang garam yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul pun memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang di majelis itu berkata, “Apakah Anda tahu yang Anda berikan kepadanya? Anda memberikannya (tambang yang seperti) air yang terus mengalir.” Kemudian Rasulullah saw. menarik kembali tambang itu dari Abyadh. (Lihat HR Abu Dawud).

Dalam catatan sejarah, Rasulullah saw. dan para khalifah telah mengelola dan mengatur harta milik negara secara maksimal untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslim. Walaupun khalifah berhak mengelola harta milik negara, tetapi mereka tidak memosisikan diri sebagai pedagang, produsen, ataupun pengusaha.

Kedudukan negara hanya sebagai pengatur yang wajib berdasarkan hukum syarak, bukan ambisi atau kepentingan tertentu. Aspek yang diutamakan oleh negara sebagai pengatur urusan rakyat (ri’ayah) adalah merealisasikan kemaslahatan umat, bukan kepentingan keuntungan semata.

Terkait tanah milik individu, negara akan memberikan proteksi kepada setiap rakyat yang memiliki tanah, menerbitkan sertifikat tanah kepada pemiliknya, memudahkan pemanfaatannya, dan melindunginya dari para pengganggu. Pengklasifikasian ini memberikan kepastian kepemilikan agar tidak terjadi penguasaan dan pemanfaatan oleh segelintir orang, khususnya tanah umum dan negara.

Syaikh Taqiyuddin Annabhani dalam kitab Al Iqtishodi Fi Al Islam, Bab Hukum Seputar Tanah Hal 173-174 menyebutkan tanah negara meliputi:

1. Tanah subur yang layak untuk dijadikan lahan pertanian atau ditanami. Contoh: tanah yang diberikan Rasulullah saw. kepada Zubair di Haibar clan tanah Bani Nadhir. Pada kedua tanah tersebut terdapat pepohonan dan pohon kurma. Contoh lain: tanah-tanah subur yang ditinggalkan oleh pemiliknya di negeri-negeri yang ditaklukkan.

2. Tanah yang sebelumnya ditanami, kemudian dihancurkan. Contoh: tanah batha’ih dan sabakh di Irak yang terletak antara Kufah dan Bashrah.

3. Tanah mati yang sebelumnya tidak ditanami atau tidak dikelola dalam jangka waktu yang lama dan negara telah menetapkan tanah tersebut berada dalam kekuasaan negara karena termasuk fasilitas kota dan desa. Contoh: pantai laut clan sungai yang dekat dengannya.

4. Tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama lebih dari tiga tahun, yang kemudian diambil-alih oleh negara. Contohnya tanah yang pernah diberikan oleh Rasulullah saw. kepada Bilal al-Muzni. Kemudian pada masa Khalifah Umar ra. tanah tersebut ditarik kembali oleh beliau karena ditelantarkan oleh Bilal. Beliau lalu memberikannya kepada orang lain. Dalam Kitab Al-Amwal, Abu Ubaid menuturkan riwayat dari Bilal bin al-Harits al-Muzni, yang pernah mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. pernah memberi sebuah lembah seluruhya. Dia lalu berkata: Pada masa Khalifah Umar ra., beliau pernah berkata kepada Bilal, “Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak memberimu tanah sekadar untuk kamu pagari sehingga mencegah manusia lain (untuk memiliki/mengolahnya, peny.). Sesungguhnya Beliau memberimu tanah agar kamu dapat bekerja. Karena itu, ambil saja bagian tanah yang sanggup kamu garap, dan kembalikanlah sisanya.” Dalam hal ini para Sahabat telah berijmak bahwa siapa saja yang menelantarkan tanahnya lebih dari tiga tahun maka tanah itu harus ditarik dari pemiliknya, kemudian diberikan kepada orang lain (yang sanggup menggarapnya).

Selain itu Islam dengan segala kesempurnaannya pun mempunyai mahkamah madzalim jika rakyat mengadu tidak terima akan sikap penguasa. Hal ini dijelaskan oleh syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Struktur Khilafah, bab Peradilan hal 198-202.

Qadhi Mazhalim adalah qadhi yang diangkat untuk menghilangkan setiap bentuk kezaliman yang terjadi dari negara terhadap seseorang yang hidup dibawah kekuasaan negara, baik ia rakyat (warga negara) maupun bukan; baik kezaliman itu berasal dari tindakan Khalifah atau penguasa selain Khalifah dan pegawai negeri. Karena itu, setiap bentuk kezaliman yang menimpa seseorang yang berasal dari seorang penguasa atau dari pengaturan dan perintah-perintah negara dinilai sebagai mazhlimah (kezaliman), sebagaimana yang dapat dipahami dari kedua hadis di atas. Perkaranya disampaikan kepada Khalifah agar ia menghilangkan kezaliman tersebut, atau disampaikan kepada orang yang mewakili Khalifah untuk menghilangkan kezaliman itu, yaitu Qâdhî Mazhâlim.

Oleh: Nurjaya, S.PdI

Terkini