Share ke media
Politik

Hak Suara Orang Gila, Sahkah?

02 Dec 2018 08:00:211120 Dibaca
No Photo
Ilustrasi : Denny Siregar ~ https://www.dennysiregar.com/2018/11/ketika-orang-gila-memilih-presiden.html

Orang dengan gangguan kejiwaan disarankan tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga tidak setuju bila orang dengan gangguan jiwa diberikan hak pilih dalam Pemilu. Alasannya, orang yang mengalami gangguan jiwa bisa asal-asalan mencoblos dan tidak mengetahui siapa yang mereka pilih. 

Ketua KPU Arief Budiman hanya berpedoman pada Undang-Undang Pemilu. Disebutkan bahwa warga yang sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah, bukan TNI dan Polri serta tak dicabut hak politiknya, wajib masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). 

Dengan kata lain, memiliki hak suara. Penyandang disabilitas juga memiliki hak suara. Gangguan jiwa termasuk dalam penyandang disabilitas. “Tidak pernah ada istilah menggunakan orang gila. Itu tidak ada. Disabilitas itu macam-macam, salah satunya gangguan jiwa,” ujar Arief Budiman di Gedung KPU RI, Senin (26/11). 

Masuknya penyandang gangguan kejiwaan dalam DPT hanya sebagai bagian dari pendataan, sesuai amanat UU. Meski masuk dalam DPT, terbuka kemungkinan orang dengan gangguan jiwa tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pencoblosan. Namun, harus disertakan surat keterangan. 

Nah kalau pada hari pemungutan suara dia diberi keterangan karena saat itu tak mampu memilih, bisa karena sakit, atau macam-macam ya. Maka dia nanti tidak akan menggunakan hak pilihnya. Dianggap tidak mampu.” Pihaknya akan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk melakukan pendataan pasien disabilitas. Kerja sama tidak hanya dengan lembaga pemerintah, tapi juga organisasi masyarakat atau LSM.(merdeka.com) 

Definisi Ganggungan Jiwa Menurut Pakar Gangguan jiwa atau dalam istilah medis disebut skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang penyandangnya paling sering mengalami pemasungan. Gangguan skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang mudah dikenali dan berisiko untuk melakukan tindakan kekerasan akibat dari gejalanya. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang memiliki sifat dapat kambuh, menahun, dan bila kekambuhan semakin sering terjadi maka orang dengan skizofrenia (disingkat ODS) akan mengalami penurunan fungsi yang semakin berat. 

Saat sakit, gangguan yang dialami meliputi : Gangguan perasaan, Gangguan perilaku, Gangguan persepsi, Gangguan pikiran, Gangguan motivasi dan neurokognitif Gejala-gejala pada gangguan skizofrenia sering mengakibatkan pasien tampil dalam kondisi gaduh gelisah hingga berisiko untuk melakukan kekerasan dan sulit dipahami sehingga sulit untuk dibantu. 

Kondisinya yang sering terlambat dikenali sehingga terkesan terjadi tiba-tiba, berpotensi untuk disalahartikan sebagai bagian dari proses budaya dan spiritual, dianggap kesurupan, kemasukan roh/jin, keberatan nama/ilmu, bahkan tidak jarang pula dianggap sakti oleh keluarga dan masyarakat. 

Sedangkan Gangguan Jiwa Lainnya dengan Perilaku Gaduh Gelisah dan Kekerasan berisiko bukanlah monopoli gangguan skizofrenia. Gaduh gelisah dapat diartikan sebagai kumpulan gejala agitasi yang ditandai dengan perilaku yang tidak biasa, meningkat, dan tanpa tujuan. 

Tidak harus berkaitan namun dapat menjadi gejala awal dari perilaku agresif yaitu agresivitas verbal maupun gerak/motorik namun tidak ditujukan untuk mencederai seseorang (contoh: mengumpat, melempar atau merusak barang) dan perilaku kekerasan yaitu perilaku yang ditujukan untuk mencederai baik dirinya maupun orang lain (memukul, melukai diri, atau membunuh). 

Klasifikasi Gangguan Jiwa Berdasarkan buku konsesus penatalaksanaan gangguan skizoprenia (PDSKJI, 2011), gangguan jiwa dapat diklasifikasikan pada tiga fase yaitu: Pertama, Fase Akut. Kedua, Fase Stabilisasi. Ketiga, Fase Pemeliharaan. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Aceh, dr Wahyu Zulfansyah memberi penjelasan terkait hal itu. 

Didampingi dr Siti Dara Safitri MKes selaku Kasi Bidang Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa. Orang dengan skizofrenia tidak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. “Yang jalan-jalan sendiri tidak mengenakan baju itu masuk dalam tingkatan skizofrenia”. Kalau yang skizofrenia ini dia bahkan sampai tidak mengenal dirinya sendiri. dr.Wahyu Zulfansyah mengatakan, yang berhak mendiagnosis tingakatan level penyakit kejiwaan seorang pasien adalah dokter spesialis penyakit jiwa di rumah sakit jiwa (RJS) atau perawat Community Mental Health Nursing (CMHN)

Gangguan Jiwa Dalam Pandangan Islam Rasulullah SAW bersabda : “Telah diangkat pena dari tiga golongan; dari orang yang TIDUR hingga dia bangun, dari anak KECIL hingga dia baligh, dan dari orang GILA hingga dia berakal waras.”(HR.Abu Dawud, an Nasai dan Ibnu Majah

Dalam Al-Qur’an disebut dengan As-safih (orang yang bodoh). Merujuk kepada bahasa asalnya, kata ‘safih‘ (orang yang bodoh) memiliki kata kerja ‘safiha-yasfahu’ yang berarti bodoh. Sedang kata dasarnya (mashdar) ‘safhan’ atau ‘safaahatan’ bermakna kebodohan. 

Adapun bentuk jamaknya (plural) adalah ‘sufaha`u’ atau orang-orang yang bodoh. Dalam kamus Mu’jam al-Wasith, safih adalah orang yang menyia-nyiakan hartanya, berlaku boros dan buruk kelakuannya. Sedang dalam kamus Mukhtar ash-Shihah, safih disebut lawan kata dari bijak. Ahli tafsir Ibnu Katsir menyebut, safih adalah orang yang lemah pendapatnya, sedikit pengetahuannya tentang maslahat dan mudharat dalam kehidupannya dunia dan Akhirat. 

Senada, Abdurrahman Nashir as-Sa’di, mufassir lainnya menjelaskan, kebodohan manusia tentang kebaikan bagi dirinya dan usahanya menjauhi keburukan dalam kehidupan. Menguatkan di atas, al-Kafawi (wafat 1094 H), pengarang ensiklopedia al-Kulliyat,  mengurai panjang lebar dengan menerangkan 13 karakter sekaligus yang menyertai orang safih tersebut. Firman Allah SWT :“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta…”  (QS. An-Nisa [4]: 5). 

Ayat ini menunjukan tentang ketidakbolehan seseorang yang lemah akal dalam mengelola harta. Artinya para penyandang gangguan jiwa termasuk dalam kategori as-safih yang tidak akan diminta pertanggungjawaban segala perbuatan saat terserang gangguan jiwa. Lalu mungkinkah bagi mereka untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum? Patut untuk dikaji ulang. 

Seharusnya upaya yang harus dilakukan adalah melakukan data ulang, melakukan klasifikasi ganggungan jiwa dan melakukan penangangan intensif terhadap penderita hingga mereka sembuh dari ganggungan jiwa. Bukan justru dimanfaatkan untuk mendulang perolehan suara dalam pemilu. Jikapun dipaksakan untuk turut serta sahkah hasil suara mereka, sedang mereka tidak mengenali diri sendiri, bagaimana mereka akan memilih calon pemimpin. 

Islam membolehkan Pemilu namun tetap dengan mekanisme aturan yang benar, termasuk didalamnya calon pemilih, dan tidak menghalalkan segala cara untuk niat tertentu, sekalipun katanya niat itu “dianggap memiliki tujuan mulia” Wallahu’alam bi showab (*Red/dr)

Penulis / Kontributor : Dwi Agustina Djati, S.S (Pemerhati Berita)