Samarinda - Dua hari pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025, publik dihebohkan adanya 14 temuan kecurangan yang dilakukan peserta. Ada banyak cara yang dilakukan oleh peserta untuk melakukan kecurangan ini. Beberapa peserta menyelundupkan alat perekam dalam bentuk kamera kecil yang tersembunyi di behel gigi, kuku, ikat pinggang, dan kancing baju. Semua itu tidak terdeteksi alat metal detektor Ada pula peserta yang menyembunyikan ponsel di dalam sepatu atau menempelkannya di badan.
Aktivitas mencontek atau curang bisa dibilang bukan sesuatu yang baru terjadi. Bahkan beberapa orang menganggapnya menjadi hal yang biasa. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis laporan Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yakni menunjukkan 78% sekolah dan 98% kampus masih ditemukan kasus menyontek.
Pemanfaatan teknologi untuk mengakali test UTBK menggambarkan buruknya akhlak calon mahasiswa. Hal ini juga mengukuhkan gagalnya sistem pendidikan dalam mewujudkan generasi berkepribadian Islam dan memiliki ketrampilan.
Sistem saat ini menjadikan standar keberhasilan dari apa yang nampak. Dinilai dari pencapaian materi dan status sosial. Mendapatkan nilai yang tinggi, lulus sekolah favorit atau universitas favorit, lalu mendapatkan karir yang bagus. Hasil adalah segalanya, hingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
Lupa, bahwa sekolah adalah proses belajar dari yang tidak tahu menjadi tahu. Lupa, bahwa Allah Maha Melihat, lupa bahwa yang Allah tidak akan bertanya berapa nilai yang didapatkan, namun yang Allah tanya adalah bagaimana proses mendapatkan nilai tersebut.
Sistem pendidikan yang berlandaskan sekuler hari ini melahirkan individu yang tidak bertakwa, tidak bisa membedakan halal dan haram, bersikap liberal, serta mengejar manfaat duniawi. Bagaimana bisa mengharapkan generasi muda sebagai agent of change di masa depan jika sudah berbuat curang ?
Berbagai perilaku curang memang sering dipertontonkan di negeri ini oleh penguasa dan pemangku kebijakan saat ini. Kasus korupsi yang semakin meningkat seolah menjadi hal yang lumrah. Ketika tertangkap pun, para koruptor masih bisa menunjukkan senyumnya. Tidak tahu malu. Hukuman yang diterima juga tidak setimpal dengan penderitaan yang dialami oleh rakyatnya. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan menjadi budaya yang dilestarikan oleh para pelajar dan mahasiswa mengikuti cara pemimpin bekerja.
Inilah sistem kapitalisme. Sistem menjadikan materi sebagai standar utama dalam menilai keberhasilan hidup. Segala sesuatu diukur berdasarkan seberapa besar manfaat duniawi yang diperoleh.
Untuk itu solusi masalah ini tidak bisa dengan sistem kapitalisme. Namun dengan sistem Islam. Dalam Islam pemimpin adalah raa’in (pemelihara rakyat), bertanggungjawab penuh untuk membina dan membentuk kepribadian mulia warga negaranya.
Dalam sistem pendidikan Islam, pendidikan diselenggarakan bukan bertujuan untuk mengejar materi atau status. Melainkan untuk menumbuhkan ketakwaan, berkepribadian Islam, kecintaan kepada kebenaran, kepatuhan kepada hukum syariat, memiliki keterampilan yang handal dan menjadi agen perubahan. Islam menjadikan ukuran kebahagiaan adalah meraih keridhoan Allah. Sehingga teknologi pun akan dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Allah.
Wallahua’lam bishawab..
Oleh : Ayu Putri Wandani (Praktisi Homeschooling)