Samarinda - KPK membongkar kronologi kasus dugaan suap Izin Usaha Pertambangan (IUP) Kaltim yang menyeret beberapa pejabat pemerintah. Dalam Kasus dugaan suap IUP Kaltim ini, KPK menetapkan 3 tersangka yakni Dayang Donna Faroek, Rudy Ong Chandra dan Awang Faroek Ishak. Awang Faroek Ishak adalah Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) periode 2008-2018. Tetapi penyidikan akhirnya dihentikan karena beliau meninggal dunia. Selanjutnya bos tambang dari 6 perusahaan, Rudy Ong Chandra yang juga dijemput paksa terkait perkara TPK pengurusan izin pertambangan di wilayah Kaltim periode 2013-2018. Setelah pengkapan itu, KPK juga menetapkan Dayang Donna Faroek sebagai tersangka lainnya. Tak berhenti disitu, Eks Kadistamben (berinisial Amr) juga dikabarkan terseret dalam kasus ini. https://kaltim.tribunnews.com/tribun-etam/1116078/tak-hanya-donna-faroek-dan-rudy-ong-dalam-korupsi-izin-iup-tambang-eks-kadistamben-kaltim-terseret.
Korupsi di kalangan pejabat, dari pusat hingga daerah, telah menjadi fenomena yang begitu lazim. Publik jengah, namun solusi yang ditawarkan seringkali hanya sebatas mengganti figur, bukan mengubah sistem. Problematika ini diperparah oleh kapitalisme yang menempatkan materi sebagai satu-satunya tujuan hidup, tidak menjadikan pertimbangan halal-haram sebagai standar perbuatan. Akibatnya, jabatan publik yang seharusnya diemban sebagai sebuah amanah dan tanggung jawab, justru disalahgunakan sebagai peluang emas untuk memperkaya diri. Korupsi takkan sirna hanya dengan pergantian orang, sebab akarnya tersembunyi dalam orientasi sistem yang menjunjung tinggi materi di atas integritas.
Ragam regulasi yang memberi celah, tumpulnya komitmen pemerintah untuk menindak, serta belum disahkannya RUU Perampasan Aset, menjadi faktor utama mengapa korupsi semakin merajalela. Di dalam sistem demokrasi saat ini, hukuman yang ada tidak cukup untuk memberikan efek jera. Akibatnya, para koruptor tidak takut karena melihat lemahnya penegakan hukum dan longgarnya aturan yang justru memberi mereka peluang terus melakukan korupsi. Dalam perspektif Islam, dorongan seseorang untuk menjadi pemimpin bukanlah demi kekuasaan atau keuntungan pribadi, melainkan untuk mengabdi kepada Allah Swt. dengan menjalankan tugas mengelola rakyat. Seorang pemimpin sejati haruslah amanah dan kapabel, artinya ia dapat dipercaya dan memiliki kemampuan untuk mengemban tanggung jawab tersebut. Kualitas ini menjadi esensial karena kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk menjalankan perintah ilahi, yaitu melayani umat dan menciptakan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat.
Upaya memberantas korupsi secara tuntas hanya dapat tercapai melalui penerapan Islam kaffah dengan segala pilar dan sistem pendukungnya. Salah satu elemen krusial dalam sistem ini adalah sanksi yang bersifat jawabir (sebagai penebus dosa) dan jawazir (sebagai efek jera). Dengan adanya sanksi yang tegas dan terstruktur, para pelaku korupsi akan dihukum secara adil sekaligus mencegah orang lain melakukan tindak kejahatan serupa. Hal ini memastikan bahwa akar permasalahan korupsi dapat diberantas secara menyeluruh, tidak hanya pada tataran sanksi pidana, tetapi juga pada dimensi moral dan spiritual.
Prinsip Islam memandang jabatan pemerintahan bukan hanya sebagai profesi untuk mencari nafkah, melainkan sebagai sebuah amanah mulia. sistem penggajian dan kompensasi yang layak, selain itu pemberian tunjangan (rizq) disesuaikan dengan kebutuhan hidup mereka. Konsep ini bertujuan agar fokus pejabat tetap pada pelayanan umat, bukan pada pengumpulan harta. Kesederhanaan para khalifah dalam sejarah Islam dapat menjadi teladan berharga dalam mencegah korupsi.sebagaimana di contohkan oleh Khalifah seperti Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz hidup jauh dari kemewahan. Umar bin Khattab mengenakan jubah kasar bertambal dan makan makanan sederhana seperti roti dan garam, tidak malu untuk menjamu tamu dengan makanan tersebut. contoh lain beliau juga bahkan menunda pembicaraan pribadi dengan putranya di malam hari demi tidak menggunakan lampu milik negara yang merupakan fasilitas umum untuk urusan pribadi.
Selain itu dalam Islam ketentuan dan batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul (haram) serta penerapan pembuktian terbalik disertai pencatatan harta pejabat dan aparatur serta udit secara berkala. Jika ada yang mencurigakan yang bersangkutan harus membuktikan bahwa harta tersebut di peroleh secara benar dan legal. Jika tidak mampu membuktikan, maka jumlah harta yang tidak wajar tersebut akan disita oleh negara baik sebagian ataupun seluruhnya.
Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam menjelaskan bahwa hukuman takzir bagi pelaku khianat harta seperti korupsi dapat berupa teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda, pewartaan atau pengumuman pelaku di hadapan publik melalui media massa, hukuman cambuk, hingga hukuman mati. Tegasnya hukum Islam menutup celah dan peluang pejabat berbuat korupsi atau tindak pidana sejenis. Dengan demikian, pemberantasan korupsi secara total dan tuntas hanya akan terwujud dengan kembali pada aturan Islam. Wallahu alam bishshawab.
Oleh : Meidah Sri Utami (Aktifis Muslimah)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru