Samarinda - Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Tak ada makhluk hidup yang sanggup bertahan lama tanpa air. Oleh karena itu keberadaan air menjadi daya tarik manusia dan hewan untuk tinggal. Tanaman pun akan tumbuh subur dengan adanya kelimpahan air di suatu tempat.
Sejarah membuktikan sebagian besar negara di dunia pada masa lalu hingga saat ini memilih lokasi ibukota negaranya di dekat sungai besar atau danau. Negara Mesir ibukotanya di tepi Sungai Nil, Baghdad ibukota Kekhalifahan Abbasyiyah di tepi Sungai Tigris, Ibukota Majapahit di dekat Sungai Brantas. Bahkan Ibukota propinsi kita juga banyak yang berada di tepi sungai besar, misalnya Samarinda di tepi Sungai Mahakam, Banjarmasin di tepi Sungai Barito, Palangkaraya di tepi Sungai Kahayan. Semua itu membuktikan betapa besarnya manusia bergantung kepada ketersediaan air bagi kelangsungan hidupnya. Bila air bersih melimpah, itu artinya sebagian besar masalah hidup telah terjamin. Dengan adanya air yang melimpah, kita bisa bercocok tanam, memelihara hewan ternak sebagai sumber protein hewani. Bahkan bila dikelola dengan bijaksana dan cerdas, hasil yang lebih dari kebutuhan bisa kita ekspor ke negara lain.
Di masa lalu sungai berfungsi sebagai sarana transportasi air yang menghubungkan antar pedagang dari berbagai daerah bahkan beda negara. Terbukti di jaman Majapahit, pedagang-pedagang dari Tiongkok bahkan India dan Arab telah memasuki kawasan Majapahit untuk berjual beli. Seiring perkembangan jaman, fungsi sungai lebih sebagai sumber air bersih dengan diolah secara higienis dan dimanfaatkan untuk irigasi dan sumber tenaga listrik.
Bagaimana dengan pemilihan Semoi dan Sepaku sebagai lokasi IKN? Sebenarnya layakkah lokasi tersebut menjadi pusat pemerintahan negara sebesar Indonesia yang kemungkinan penduduknya akan semakin padat?
Salah Kaprah Pengelolaan Air Akibat Sistem Demokrasi
Sebagaimana yang kita ketahui saat ini, IKN yang berlokasi di Sepaku, Petung, dan Penajam Paser Utara merupakan daerah yang minim sumber air bersih. Jangankan untuk IKN, masyarakat saja masih banyak yang belum bisa mengakses air bersih. Masyarakat banyak mengharapkan hujan untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Meskipun faktanya, hujan tidak selalu turun seperti yang diharapkan. Adakalanya curah hujan sangat tinggi hingga mengakibatkan banjir. Sebaliknya kemarau panjang bisa menimbulkan krisis air bersih berkepanjangan.
Beberapa fakta kondisi di sana, warga Petung secara mandiri mengebor air tanah. Di Penajam Paser Utara, air hasil pengeboran itu berwarna merah. Warna air seperti ini tentunya tidak layak untuk dikonsumsi. Sebab air bersih itu identik dengan kondisi bening, jernih, tidak berwarna, dan tidak berasa. Di saat musim kemarau seperti saat ini, air PDAM terpaksa dinyalakan bergiliran.
Susahnya masyarakat mendapatkan air bersih membuktikan abainya penguasa dalam memprioritaskan pemenuhan hajat rakyat. Kebutuhan primer berupa air bersih untuk warga lokal saja susah, apalagi kelak IKN dengan jumlah penduduknya yang semakin banyak. Akankah pemerintah mampu memenuhi kewajibannya? Terlebih bila jumlah penduduk kian bertambah.
Pemerintah membangun bendungan dengan membendung sungai dari investasi asing. Hutang negara yang sudah tinggi semakin membengkak akibat rencana yang tak logis ini.Utang Luar Negeri per 31 Juli 2023 menurut Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jendral Pengelolaan dan Resiko (DJPPR) tercatat 7.855,53 triliun rupiah. Jumlah utang yang fantastis ini siap dibebankan pada rakyat dengan menambah nilai dan sektor pajak.
Menggantungkan pendapatan negara dari dana hutang luar negeri dan pajak merupakan ciri khas sistem demokrasi kapitalisme dalam membangun negara. Padahal bunga hutangnya saja belum tentu bisa dilunasi dalam satu periode kepemimpinan. Itulah mengapa kebijakan yang dilahirkan dari sistem ini hanya menyengsarakan rakyat dan di saat yang sama memperkaya segelintir elit kapitalis. Padahal jika penguasa mau serius mengelola sumber daya alamnya, tentu kesejahteraan dapat terwujud.
Solusi Tuntas Islam Menjamin Kebutuhan Air
Islam memerintahkan penguasa agar menjadi raa’in (pelayan) bagi rakyatnya. Maka terjaminnya pemenuhan akses air bersih agar bisa dinikmati oleh seluruh rakyat di seantero negeri tanpa memihak sebagian kelas tertentu merupakan kewajiban pemerintah. Terlebih sebagai agama yang suci dan cinta kesucian, ketersediaan air bersih yang melimpah bagi masyarakat adalah sebuah keharusan. Sebagaimana kita ketahui mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam yang pasti memerlukan air wudlu yang memenuhi syarat. Kebutuhan air ini yakin bisa terpenuhi bila dikelola secara bijak dan adil.
Rasulullah pernah menegaskan, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air, dan api,” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Api dalam hal ini ialah sumber hasil tambang. Air yang dimaksud di sini adalah sumber air bersih, bahwa itu kedudukannya merupakan barang milik umum (seluruh rakyat) dengan negara yang berkewajiban mengelolanya sebaik mungkin. Tidak boleh sedikit pun dikuasai oleh swasta sehingga menguntungkan segelintir konglomerat hanya karena mereka mampu memonopoli akses sumber air bersih untuk dijual ke tengah masyarakat. Sementara padang rumput di sini termasuk hutan dengan segala keanekaragaman hayati di dalamnya.
Di masa kejayaan Islam dahulu, telah terbukti bagaimana penguasa mampu menempatkan diri sebagai pelayan umat terbaik. Mereka mengelola negara sesuai syariat Islam. Sumber kekayaan negara dikelola sebaik mungkin sehingga hasilnya bisa menggratiskan layanan pendidikan, kesehatan, hingga keperluan air bersih.
Terbukti di masa kepemimpinan Khalifah Fanakhusru bin Hasan (324-372 H/936-983 M) yang lebih populer dengan nama Adud ad-Daulah. Beliau digelari Khalifah Pembangun Bendungan karena begitu banyak membangun bendungan untuk menjamin ketersediaan air. Bukan sekedar membangun, kualitasnya sangat diperhatikan dan terjamin.
Hutan sebagai sarana penyimpan air tidak akan diijinkan untuk ditebangi sesuai keinginan seperti yang kita lihat saat ini. Penggundulan hutan dengan semena-mena merusak ekosistem yang ada sehingga menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor di mana-mana. Penguasa yang menerapkan sistem Islam Kaffah tak akan mengijinkan hal itu terjadi. Bahkan akan digalakkan reboisasi besar-besaran sehingga memperbaiki ekosistem yang sempat rusak.Sumber air yang berkualitas tidak akan diijinkan menjadi milik swasta seperti yang terjadi saat ini. Satu-satunya pemilik dan pengelola sumber air bersih hingga distributornya ke masyarakat adalah pemerintah. Bahkan masyarakat akan menikmatinya secara gratis.
Kenyataan di masyarakat ada daerah yang memiliki sumber air melimpah dengan banyaknya sungai, danau bahkan air terjun. Sebaliknya ada daerah yang begitu langka sumber air, terlebih di masa kemarau. Penguasa yang amanah ini akan menjamin rakyat yang jauh dari sumber air ini mendapatkan air bersih yang mereka perlukan dengan segala sumber daya yang ada. Darimana pemerintah yang adil ini mendapatkan semua biaya untuk menggratiskan kebutuhan rakyatnya khususnya air bersih ini? Bukan dari pajak yang mencekik rakyat apalagi hutang yang menjatuhkan martabat, tetapi dari Baitul Maal yang sumbernya dari kekayaan alam negara yang dikelola dengan jujur dan amanah. Ini telah terbukti di masa keemasan Kekhilafahan Islam saat dipimpin Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah mengetahui semua ini, masihkah kita berharap pada sistem demokrasi liberal yang jelas-jelas hanya merusak dan merugikan? Sistem ini terbukti telah menciptakan kesenjangan sosial yang tajam. Sementara dengan penerapan sistem Islam kaffah, mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali.Â
Wallahu a’lam bisshawab
Oleh Nurul Hukmiyah (Aktivis Muslimah dan Pemerhati Generasi)
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu dari masyarakat yang ingin menuangkan pemikiran, ide dan gagasannya yang hak ciptanya sepenuhnya dimiliki oleh yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru