Samarinda - Aksi demo ‘Indonesia gelap’ telah dilakukan serentak di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Jakarta, Bandung, Lampung, Surabaya, Malang, Samarinda, Banjarmasin, Aceh, dan Bali. Aksi ini menuntut pemerintah untuk melakukan perbaikan dan perubahan kebijakan terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG), pembatalan efisiensi yang tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025, serta pengambilan kebijakan harus dilakukan berbasis riset (kaltimpost.jawapos.com, 17/02/2025).
Di Samarinda aksi dilakukan pada 17 Februari lalu, dan dihadiri oleh pengamat politik sekaligus ahli filsafat Rocky Gerung. Ia memberikan orasi singkat untuk membakar semangat mahasiswa yang ingin melakukan aksi di Sekertariat DPRD Kaltim. Dalam orasinya, ia menyampaikan pesan-pesan motivasi kepada para mahasiswa agar tetap semangat berjuang demi perubahan yang lebih baik (kaltimpost.jawapos.com, 17/02/2025). Adanya aksi ini, mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah saat ini.
Sulitnya Meraih Keadilan dalam Demokrasi
Program MBG di sekolah merupakan inisiatif global, dan telah dilaksanakan di 118 negara. Program ini membuahkan hasil positif di beberapa negara, terbukti dengan meningkatnya kesehatan, status gizi anak, prestasi akademik, partisipasi selama pembelajaran di sekolah, hingga menciptakan lapangan kerja. Namun, tidak semua negara sukses menjalankan program sejenis MBG ini.
Indonesia sebagai negara pengekor, selalu ingin meniru kesuksesan negara lain. Tidak terkecuali untuk mengadopsi program MBG versi Indonesia. Terlepas apakah program ini akan menuai keberhasilan atau tidak dalam meningkatkan status gizi anak Indonesia, yang terpenting dijalankan dulu kebijakan populisme. Bahkan program MBG ini telah mendapatkan perhatian dalam kebijakan jangka panjang negara, termasuk RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029 dalam rangka meraih visi Indonesia Emas 2045. Program ini juga menjadi program prioritas pemerintah Prabowo-Gibran periode ini.
Meski demikian aggaran program ini masih abu-abu, terbukti dengan turunnya besaran anggaran MBG yang pada awalnya Rp. 15.000 menjadi Rp. 10.000. Hal ini menunjukkan bahwa belum matangnya persiapan baik dari tahapan maupun finansial.
Jelas dapat diketahui, program MBG ini membutuhkan dana yang cukup besar. Sejak awal dicanangkan, banyak pihak yang menyambut gembira dan siap menawarkan kerja sama maupun investasi. Terutama dari kalangan pengusaha baik dalam maupun luar negeri. Cina berinvestasi sebesar Rp 157 triliun serta memberikan bantuan dana untuk program MBG. Menteri BUMN Erick Thohir juga menunjuk delapan perusahaan BUMN untuk mensukseskan program ini. Hal serupa juga dilakukan Kementerian Pertanian, tidak ketinggalan vendor-vendor katering turut berebut. Seakan menjadi bancakan proyek basah.
Selain program MBG yang meresahkan masyarakat, Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dan Pelaksanaan APBN dan APBD juga menciptakan gejolak di kalangan masyarakat, terutama mahasiswa. Dalam Inpres tersebut dijelaskan bahwa presiden menargetkan efisiensi anggaran sebesar Rp. 306,6 triliun. Pengamat kebijakan publik Dr. Rini Syafri menyampaikan, efisiensi anggaran sejatinya wujud kelalaian negara terhadap urusan rakyat. Ia menjelaskan hal ini selaras dengan prinsip earning rather than spending dari konsep reinventing goverment (mencipatakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan). Pada akhirnya negara akan memperdagangkan kemaslahatan hidup masyarakat.
Dr. Rini menambahkan bahwa efisiensi anggaran bukan sekedar penghematan, peniadaan belanja yang tidak perlu, kemudian digunakan untuk program yang lebih bermanfaat. Namun, esensi efisiensi anggaran adalah bagaimana setiap rupiah yang dikeluarkan negara harus memberikan keuntungan atau pemasukan pada kas negara. Menurutnya, hal seperti ini adalah wajar terjadi pada negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Sebab, pandangan kapitalisme tentang hajat hidup masyarakat adalah komoditas untuk dijadikan objek pertumbuhan ekonomi dan bisnis. Negara yang seharusnya berperan sebagai pelayan rakyat pun beralih fungsi menjadi regulator atau fasilitator. Sebaliknya, justru korporasi yang bertindak sebagai operator yang menguasai hajat hidup rakyat.
Dari dua kebijakan kontroversial di atas saja cukup untuk menggambarkan kondisi Indonesia yang gelap, ditambah lagi berbagai kasus korupsi yang terkuak di awal tahun 2025 ini. Mulai dari kasus korupsi PT. Timah, PT. Pertamina, PT. Antam, dll semakin menambah kelamnya kondisi negeri ini. Menurut cendekiawan muslim Ustadz Ismail Yusanto, diksi ‘Indonesia gelap’ tepat untuk menggambarkan kondisi negeri yang ruwet dan seolah tidak ada jalan keluar. Apalagi penguasa dan pejabat negara menunjukkan sikap yang tidak bijak saat mendapat kritik dari masyarakat, sehingga membuat masyarakat semakin geram. Menurutnya, berbagai masalah yang ada sekarang adalah percikan-percikan dari akar persoalan yang besar. Ia menyatakan, demokrasi itu sendiri adalah masalah, apalagi demokrasi transaksional. Di mana yang berkuasa bukan lagi rakyat, tetapi pemilik modal.
Maka telah jelas bagi kita, bahwa pergantian pemimpin tidak akan membawa perubahan jika sistem yang mencengkeram juga tidak diganti. Sisitem kapitalisme sekuler dengan wasilahnya demokrasi transaksional telah jelas membawa keburukan, ketidakadilan, serta kedzaliman di tengah-tengah masyarakat.
Saatnya Islam Menerangi
Jika kita menelaah lebih dalam, sesungguhnya berbagai masalah yang mendera negeri ini bukan sekedar bentuk kedzaliman penguasa kepada rakyat, melainkan kemungkaran terhadap perintah dan larangan Allah SWT. Dan menjadi kewajiban setiap orang muslim untuk mengubah kemungkaran yang ada di depan mata. Rasulullah saw bersabda “ Siapa saja yang melihat kemungkaran, ia wajib mengubah dengan tangannya (kekuasaan). Jika ia tidak mampu, maka wajib dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka wajib dengan hatinya. Itu merupakan selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Adapun arah perubahan yang dimaksudkan telah dijelaskan Allah SWT dalam firmannya “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali-Imran: 104)
Menyuruh berbuat yang makruf artinya menyuruh kepada semua ucapan atau perbuatan yang harus dikatakan atau diperbuat sesuai syariat Islam. Sedangkan mencegah dari yang munkar artinya mencegah semua yang dilarang dalam syariat (Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din).
Firman Allah SWT di natas menjelaskan kewajiban adanya sekelompok orang (jamaah) yang menyeru pada Islam dan syariat Islam kaffah. Kewajiban tersebut tentu berlaku untuk seluruh umat Islam tanpa terkecuali, tidak hanya bagi da’i, kyai, ustadz atau ustadzah saja. Dan jika amar ma’ruf nahi munkar senantiasa dilakukan oleh seluruh umat muslim, maka syariat Islam akan terjaga, kehidupan pun akan sejahtera. Karena sejatinya hanya aturan Allah SWT –sebagai pencipta manusia- lah yang terbaik dan akan membawa keberkahan dan rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam
Oleh: Ns. Rizqa Fadlilah, S.Kep
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru