Share ke media
Opini Publik

IRONI DESA KAYANGAN, GELAP GULITA DI TENGAH MEGAHNYA BISNIS BATUBARA

07 Jun 2025 04:50:238 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : apakabar.co.id - Batu Bara Adaro Indonesia Balangan Dijarah Penambang Ilegal - 14 Maret 2024

Samarinda - Namanya memang Bukit Kayangan, tapi kenyataannya jauh dari kesan surgawi. Di balik gemuruh alat berat tambang batubara yang tiada henti, 96 kepala keluarga di RT 28 Dusun Bukit Kayangan, Desa Singa Gembara, Sangatta Utara hidup dalam keadaan gelap tanpa listrik dan tanpa air bersih sudah puluhan tahun. Padahal tiang listrik sudah berdiri dan pipa PDAM sudah terpasang tetapi belum dialirkan listrik dan air karena mereka berada di kawasan tambang.

Secara geografis, Bukit Kayangan berada di wilayah konsesi tambang batubara PT KPC (Kaltim Prima Coal). Rumah warga berjarak sekitar 60 sampai 70 m dari lokasi tambang, nyaris terisolasi. Pemerintah tidak mempedulikan mereka, dan perusahaan tambang hanya sempat datang, tetapi mengatakan prosedur belum selesai. Tidak ada tindak lanjut untuk mengalirkan listrik dan air ke rumah warga sampai hari ini (pranala.co, 19/05/2025)

Mengutip laporan BUMI Resources, Kamis (11/05/2023), KPC mempunyai perpanjangan 10 tahun masa konsesi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) seluas 61.543 hektare (ha) dan akan berakhir tahun 2031. Per 2023, KPC memiliki total potensi batu bara sebanyak 3,67 miliar ton, dengan total cadangan batu bara yang sudah terbukti sebesar 784 juta ton. KPC diizinkan untuk menambang mencapai 70 juta ton per tahun, dengan target pasar 25% di Indonesia dan 75% lainnya di luar negeri. Terutama 10 negara di kawasan Asia Pasifik termasuk diantaranya sekitar 29% ke China, 15% ke India, 8,5% ke Jepang, 5,8% ke Taiwan dan sisanya, ada beberapa negara lainnya, seperti Hong Kong dan Thailand, dengan porsi keseluruhan 10,4%. (CNBCIndonesia.com, 11/05/2023)

Dengan keberlimpahan ini, sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik setiap warga Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. Namun ironisnya, warga yang berdiam di sekitar tambang justru tidak mendapatkan listrik dan air bersih.

Memang, sistem di negeri ini tidaklah berpihak pada rakyat, sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 33. Melainkan, memberi ruang yang luas dan lebar bagi siapapun untuk mengelola (baik individu atau komunitas). Sistem di negeri ini menggunakan sistem kapitalisme sekuler yang melegalkan para pengusaha/kapitalis atas nama investasi untuk sepenuhnya berkuasa atas SDAE (Sumber Daya Alam dan Energi).

Liberalisasi SDAE melalui swastanisasi menjadikan batubara bukan lagi dikelola oleh negara tetapi dikelola oleh asing baik oleh kapitalis lokal maupun kapitalis asing.

Sekulerisme yang menjadi asas sistem kapitalisme yakni memisahkan aturan agama dari kehidupan telah menjadikan hidup hanya untuk mencari nilai materi atau keuntungan semata. Maka, sangat wajar jika hasil produksi batubara lebih banyak diekspor ke luar negri dibanding memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sungguh sangat disayangkan, padahal kecukupan pemasokan listrik daerah akan terwujud manakala kekayaan alam yang menguasai hajat publik ini dikelola oleh negara sesuai dengan pandangan syariat Islam.

Dalam Islam, listrik merupakan harta kepemilikan umum. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yakni padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Listrik menghasilkan aliran energi panas (api) yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini, listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis tersebut.

Batu bara yang merupakan bahan pembangkit listrik, termasuk dalam barang tambang yang jumlahnya sangat besar. Atas barang tambang yang depositnya banyak, haram hukumnya dikelola oleh individu atau swasta.

Rasulullah ﷺ bersabda, diriwayatkan Abyadh bin Hammal al-Mazaniy, “Sesungguhnya ia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka, beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir.’ Akhirnya beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.’” (HR Tirmidzi).

Tindakan Rasulullah ﷺ yang meminta kembali (tambang) garam setelah mengetahui jumlahnya sangat banyak dan tidak terbatas adalah dalil larangan individu memiliki barang tambang tersebut. Larangan ini tidak terbatas pada (tambang) garam, tetapi meliputi setiap barang tambang apa pun jenisnya dengan syarat jumlahnya banyak laksana air mengalir.

Oleh karena itu, pengelolaan sumber pembangkit listrik, yaitu batu bara, haruslah berada di tangan negara agar hasilnya bisa dirasakan oleh rakyat. Individu atau swasta tidak boleh mengelolanya dengan alasan apa pun.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik, negara dengan sistem Islam kafah (Khilafah) bisa menempuh beberapa kebijakan, yakni (1) membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai, (2) melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri, (3) mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga murah, (4) mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, dan papan.

Dalam Islam, Khalifah sebagai kepala negara/penguasa memahami benar sabda Rasululah SAW, “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), ia akan diminta pertanggungjawabannya atas urusan rakyatnya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Maka, khalifah akan berupaya agar rakyat dapat merasakan kekayaan alam yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan listrik dan air bersih dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu ‘alam bi ash-shawwab

Oleh : Jamaiyah, S.Pi (Praktisi Pendidikan)

Terkini