Samarinda - Diriwayatkan dari Aisyah, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Ya Allah, barang siapa memimpin umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkan dia. Barang siapa memimpin umatku lalu ia bersikap lemah lembut terhadap mereka, maka bersikaplah lemah lembut terhadapnya.” (HR Muslim)
Kelangkaan gas elpiji 3 kg kembali menghantui warga Samarinda pasca Idhul Adha 2025. Warga mengeluhkan sulitnya mendapatkan gas melon di tingkat pengecer. Bahkan harganya mencapai 43 ribu rupiah, melampaui HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ditetapkan pemerintah. Merespon hal ini, pemerintah Kota Samarinda melalui Dinas Perdagangan melakukan operasi pasar selama dua hari di dua lokasi, yakni Kecamatan Samarinda Ulu pada Rabu, (11/6) dan Kecamatan Samarinda Seberang pada Kamis, (12/6) (headline kaltim.co, 13/06/2025).
Dalam operasi pasar tersebut, puluhan warga mengantri sejak pagi berharap mendapatkan gas melon. Pengawas perdagangan muda Dinas Perdagangan Kota Samarinda, Heni Kartika menjelaskan bahwa operasi pasar ini adalah tindak lanjut dari instruksi Walikota Samarinda Andi Harun. Masing-masing kecamatan mendapatkan kuota 560 tabung, dengan mekanisme pengawasan ketat agar tepat sasaran. Di antara kriteria warga yang boleh membeli adalah warga yang memiliki kartu kendali, namun belum mendapatkan jatah karena keterlambatan pengambilan, dan warga tak mampu yang memiliki surat keterangan dari RT (headline kaltim.co, 13/06/2025).
Sebagai upaya mencegah krisis gas melon terulang, Dinas Perdagangan Kota Samarinda mendorong diadakannya rapat koordinasi bersama OPD teknis, Pertamina, agen, dan pangkalan. Tujuannya untuk membangun komitmen bersama terkait penyaluran gas elpiji 3 kg (headline kaltim.co, 13/06/2025).
Ironi Kelangkaan Gas di Daerah Penghasil Migas
Pertanyaan mendasar terkait gas elpiji adalah kenapa ada elpiji jenis subsidi dan non subsidi? padahal gas merupakan salah satu kebutuhan asasi atau dasar bagi masyarakat. Semua warga baik miskin atau kaya membutuhkan gas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan gas didapatkan dari sumber daya alam, yang seyogyanya dinikmati oleh rakyat.
Tapi pada faktanya, Kalimantan sebagai pulau penghasil migas justru sering mengalami kelangkaan gas. Hal ini menunjukkan gagalnya pemerintah memenuhi kebutuhan dasar warganya. Serta, tidak tepatnya pengelolaan dan penyaluran hasil sumber daya alam.
Adapun kebijakan penetapan HET dan subsidi hanya ada dalam sistem ekonomi kapitalisme. Kebijakan HET diambil sebagai langkah pemerintah untuk mengendalikan harga pasar agar tetap bisa dijangkau oleh semua masyarakat. Sedangkan subsidi ditujukan untuk masyarakat yang kurang mampu. Namun, pada pelaksanaannya ketetapan HET sering tidak dipatuhi dan tidak dapat dijadikan patokan oleh pengecer. Karena modal yang mereka keluarkan juga lebih besar. Begitu pun barang bersubsidi nyatanya tidak dapat menyentuh semua masyarakat yang membutuhkan. Justru banyak kalangan mampu yang juga menggunakan gas subsidi.
Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan gas. Salah satunya dengan melakukan operasi pasar. Namun upaya tersebut belum membuahkan hasil, kelangkaan gas masih terus berulang. Jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya kelangkaan gas justru disebabkan adanya kasta gas subsidi dan non subsidi. Masyarakat berbondong-bondong membeli gas subsidi, baik yang kurang mampu maupun yang mampu. Karena semua orang pasti ingin mendapatkan gas dengan harga terjangkau. Sebab, semua kebutuhan sehari-hari harganya melambung tinggi. Maka wajar jika semua warga lebih memilih barang bersubsidi. Sehingga gas subsidi menjadi langka.
Nampak sekali pemerintah menjadi populis otorutarianism. Satu sisi pemerintah membuat kebijakan yang menjadikan gas melon langka, di sisi lain pemerintah bertindak sebagai pahlawan di tengah kelangkaan dengan menggelar operasi pasar. Lantas timbul pertanyaan, dari mana pemerintah mendapatkan gas dalam jumlah besar di tengah kelangkaan?
Segala bentuk kecurangan dan kelalaian yang terjadi tersebut tidak terlepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini telah melahirkan praktik jual beli tanpa memandang halal haram. Mereka hanya berpatokan bagaimana mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Maka, wajar banyak terjadi kecurangan, penimbunan yang menyebabkan kelangkaan, penetapan harga jual yang tinggi, dan lain sebagainya.
Migas dalam Islam, Hak Seluruh Warga
Islam menetapkan gas sebagai kepemilikan umum. Sehingga menjadi kewajiban negara untuk mengelola tambang migas dan mengalokasikan hasil sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Hal ini sesuai sabda Rasulullah saw:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Harga (menjual-belikan nya) adalah haram.” (HR Abu Dawud)
“Imam (khalifah) adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Dengan diterapkannya sistem pengelolaan tambang migas sebagaimana hadis Rasulullah saw tersebut, semua rakyat bisa merasakan manfaat dari hasil pertambangan. Baik yang kaya maupun miskin bisa mendapatkan migas dengan mudah dan harga yang murah. Sehingga rakyat dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan mudah.
Dengan demikian berbagai macam kecurangan dapat dicegah. Dalam sistem ekonomi Islam juga tidak dikenal istilah HET, yang ada hanya harga pasar. Dalam ekonomi Islam, harga terbentuk secara alami melalui interaksi antara penawaran dan permintaan. Pemerintah tidak diperbolehkan menetapkan harga secara sewenang-wenang, karena harga yang adil adalah harga yang terbentuk dari interaksi alami pasar.
Negara dalam sistem Islam memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhan atau hajat publik, termasuk migas. Bukan malah menyulitkan dengan berbagai kebijakan populis otorutarianism. Wallahu a’lam bi ash-showab.
Oleh : Ns. Rizqa Fadlilah, S. Kep
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru