Share ke media
Opini Publik

Jalan Nyaris Putus, Tanggung Jawab Negara Jangan Ikut Terputus

13 Jun 2025 11:51:5520 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : riau1.com - Benarkah Kerusakan Jalan di Riau Terpanjang di Indonesia? Ini Keterangan BPS - 28 April 2023

Samarinda - Ruas jalan poros Samarinda-Balikpapan tepatnya di Kilometer 28, Desa Batuah, Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara, nyaris putus. Jalan yang mengalami penurunan tanah ini bukan jalur sembarangan. Ia adalah nadi penghubung utama antar dua kota besar di Kalimantan Timur—yang menjadi pusat aktivitas logistik, ekonomi, bahkan distribusi kebutuhan pokok. (Kaltimpost.com, 18/05/2025) 

Kondisinya kian memburuk memasuki bulan Mei. Kemacetan parah tak terhindarkan, terutama karena banyaknya truk bermuatan berat yang masih melewati jalur ini. Dalam video yang beredar luas di media sosial, terdengar imbauan agar pengguna jalan sementara dialihkan ke jalur tol. Namun, itu tidak menyelesaikan masalah. Hanya memindahkan beban, sementara kerusakan tetap membesar.

Lebih dari sekadar kerusakan jalan, longsor di wilayah tersebut juga telah mengakibatkan puluhan rumah warga amblas. Sejumlah keluarga masih bertahan di bawah tenda seadanya. Mirisnya, wacana bantuan hunian sempat muncul, namun bersifat pinjam atau bahkan berbayar. Hal ini menambah luka bagi warga yang telah kehilangan tempat tinggal.

Negara Jangan Diam di Persimpangan Krisis

Dalam situasi seperti ini, kehadiran negara adalah mutlak. Jalan yang nyaris putus bukan hanya persoalan teknis, tapi menyangkut keselamatan warga dan keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi. Akses publik yang terganggu bukan hal yang bisa ditunda. Butuh tanggapan cepat dan tanggung jawab penuh dari negara.

Sampai saat ini, dugaan penyebab longsor masih simpang siur. Ada analisis awal dari akademisi yang mengindikasikan kemungkinan dampak aktivitas pertambangan. Namun, hasil tersebut belum dikonfirmasi secara tuntas, konon karena keterbatasan dana penelitian. Jika benar ada keterkaitan dengan tambang, maka ini bukan semata bencana alam, melainkan bencana tata kelola—akibat ulah manusia dan lemahnya pengawasan negara terhadap eksploitasi alam.

Di sinilah kegagalan sistem mulai terlihat. Negara tampak gamang, bahkan cenderung abai, ketika dihadapkan pada bencana yang mungkin terkait dengan kepentingan ekonomi besar. Alih-alih mengambil langkah proaktif, yang terjadi justru saling lempar tanggung jawab dan birokrasi berbelit. Warga menunggu, jalan memburuk, dan masalah semakin dalam.

Sistem Kapitalisme dan Buruknya Tata Kelola

Kondisi ini sebetulnya bukan kali pertama. Bencana ekologis yang diduga dipicu pertambangan, deforestasi, atau pengabaian terhadap daya dukung lingkungan sudah terlalu sering terjadi di negeri ini. Namun, respon negara selalu seragam: lamban, minim tanggung jawab, dan lebih condong pada kepentingan pemodal ketimbang keselamatan rakyat.

Akar persoalannya terletak pada sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas, bukan amanah. Dalam logika kapitalis, tanah, hutan, batu bara, dan segala yang terkandung di bumi adalah aset ekonomi yang harus dieksploitasi untuk meraup untung sebesar-besarnya. Negara tak lebih dari fasilitator kebijakan, bukan pengelola amanah rakyat.

Ketika tambang lebih dilindungi daripada keselamatan warga, maka yang rusak bukan hanya jalan dan rumah warga—tapi juga hati nurani bangsa ini. Pemerintah seharusnya tidak hitung-hitungan dalam menanggulangi bencana. Ini bukan urusan anggaran semata, tapi soal keberpihakan dan komitmen pada amanah kepemimpinan.

Islam: Menjadikan Alam Berkah, Bukan Musibah

Dalam Islam, tata kelola lahan dan sumber daya alam tidak boleh merusak, tapi harus sesuai dengan syariat. Alam adalah ciptaan Allah yang ditundukkan untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk dieksploitasi secara semena-mena. Allah SWT berfirman:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Dalam sistem pemerintahan Islam, negara memiliki kewajiban besar dalam menjaga lingkungan dan memastikan rakyat tidak menjadi korban dari kebijakan yang rakus. Khalifah adalah pelindung rakyat, bukan wakil korporasi. Ketika bencana terjadi, negara harus sigap—mengevakuasi, menyediakan hunian, memberi santunan, dan yang terpenting: mengatasi akar masalah agar tak berulang.

Rasulullah ﷺ dan para khalifah setelahnya memberikan teladan bagaimana negara harus hadir dalam urusan rakyat, termasuk saat terjadi bencana. Umar bin Khattab r.a. bahkan turun langsung mengurusi rakyat saat masa paceklik, dan memastikan bahan pangan serta kebutuhan pokok sampai ke tangan rakyat—tanpa menunggu laporan viral atau tekanan publik.

Demikianlah pengurusan urusan rakyat dalam sistem Islam. Pengurusan yang memberi keadilan dan kesejahteraan. Tidak kah kita menginginkannya?. Wallahu a’lam bishowab

Oleh : Ummu Hanin

Terkini