Samarinda - Di media sosial kepanjangan MBG yang seharusnya Makanan Bergizi Gratis, dipelesetkan menjadi Makanan ‘Basi’ hingga ‘Beracun’ Gratis oleh para netizen. Hal ini merupakan kritik terhadap program MBG yang menimbulkan keracunan pada anak sekolah hingga guru. Di kaltim, kasus keracunan MBG sudah terjadi di salah satu SMK di Balikpapan, Kasus dugaan keracunan ini mencuat setelah viral video di media sosial yang memperlihatkan seorang siswi dari salah satu SMK di Kota Balikpapan. Dalam video berdurasi 25 detik yang direkam oleh pengemudi mobil itu tampak seorang siswi terlihat lemas di bangku tengah. Ia menduga siswi tersebut keracunan pasca menyantap menu program MBG. (Tribunkaltim. 26/09/2025)
Sementara itu, di Samarinda MBG juga menjadi sorotan. Sering ditemui para murid menolak mengkonsumsi karena makanan berbau dan diduga basi. Ketua Tim Satgas MBG Samarinda Suwarso menegaskan, pihaknya telah melakukan langkah evaluasi terhadap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) agar kejadian serupa tidak terulang. “Dua hari sebelum informasi itu muncul, seluruh vendor SPPG dan ahli gizi sebenarnya sudah kami kumpulkan. Kami beri materi pencegahan, mulai kualitas bahan, cara pengemasan, hingga batas waktu pengantaran. Tapi faktanya, memang ada makanan yang cenderung basi sehingga sebagian anak enggan mengonsumsi,” jelas Suwarso. (Kaltimpost. 18/09/2025)
Penanganan terhadap berbagai kisruh MBG dianggap lemah, terbukti kasus serupa menjadi rutin bulanan dan malah merata di berbagai wilayah Indonesia. Kasus keracunan ini pun baru terasa dapat perhatian setelah viral dan jika di total seluruh korban di berbagai wilayah Indonesia ada sekitar enam ribu. Program berbudget fantastis triliunan hingga harus memotong dari anggaran lain seperti Pendidikan dan kesehatan ini malah menjadi ancaman bagi kesehatan dan nyawa anak anak, alih alih memperbaiki gizi mereka. Banyak masyarakat yang menuntut program ini untuk dihentikan dan menuntut pemerintah seharusnya fokus mensejahterakan rakyat dengan memudahkan lapangan kerja, memudahkan keterjangkauan pangan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya, Sehingga penyediaan makanan bergizi dapat dilakukan sendiri oleh keluarga atau orang terdekat siswa siswi.
Sekilas program ini tampak berpihak pada rakyat. Namun, nyatanya malah merugikan, para pendidik semakin tidak fokus mendidik, selain ikut menyiapkan juga harus mengganti jika ada alat makan yang kurang atau hilang. Pertumbuhan ekonomi yang digadang gadang pun semu, UMKM mikro malah tersingkir. Syarat menjadi mitra hanya dapat dipenuhi oleh mereka yang bermodal besar, pengusaha baki lokal pun tak kebagian, karena yang digunakan dalam program ini malah baki import dari China dan bahan lapisannya terbuat dari unsur babi pula. Lalu, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilik Yayasan program MBG adalah seorang pejabat militer.
Pengajuan menjadi mitra melalui Yayasan ditakutkan akan membuka peluang monopoli, maka tidak heran pihak yang menjadi vendor SPPG selain yang sanggup menyediakan modal besar (sekitar 50-60 juta), juga ada yang terkait bahkan dimiliki oleh pejabat atau keluarganya atau berafiliasi dengan partai politik tertentu. Program yang lahir dalam habitat kapitalisme sekuler tentu di desain untuk menguntungkan pihak tertentu terutama pemodal. Program populis seperti ini tidak lain hanya model bisnis bancakan baru. Mirisnya, ketika kasus keracunan merebak hingga ribuan korban pun masih tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Tanggapan para pejabat terkait pun bermacam macam, ada yang meminta maaf sembari menangis, ada yang memberikan kesan seolah ini bukan masalah besar, ada yang mengatakan sudah menegur pihak SPPG, berjanji akan mengevaluasi, dan sebagainya. Intinya, tidak ada tindakan tegas seperti pemecatan pejabat apalagi hukum pidana sebagai bentuk pertanggung jawaban. Lagi lagi rakyat hanya menjadi objek politik populis untuk kepentingan oligarki.
Dalam Islam, pemimpin bukan pemilik kekuasaan mutlak, perannya sebagai pengurus urusan ummat sekaligus pelindung dengan menerapkan hukum buatan Sang Pencipta, Allah SWT. Pemimpin yang berpegang pada hukum syara pasti akan membawa kemaslahatan pada semua baik rakyat muslim maupun yang non muslim, karena tidak ada kepentingan suatu kelompok atau oligarki yang ikut mengintervensi kebijakan. Jabatan dan kewenangan yang sedang dijalani merupakan amanah yang kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah, seharusnya para pemimpin takut untuk melalaikan apalagi menjadikan rakyat sebagai objek politik atau sumber untuk mencari keuntungan maka, hal krusial seperti pemenuhan pangan ini tidak akan dilempar ke pihak swasta apalagi memberikan celah sebagai lahan bisnis yang menguntungkan pihak tertentu.
Katakanlah Program MBG merupakan respon dari tingginya kasus stunting dan kasus anak kurang gizi, yang artinya kesejahteraan rakyat masih begitu rendah. Dalam Islam akan dilakukan tindakan yang komprehensif untuk mencegah dan menyelesaikan masalah itu, dimulai dari sistem ekonomi dimana Islam mewajibkan distribusi kekayaan secara merata dan melarang kekayaan hanya terpusat pada sekelompok orang atau pemodal, salah satu caranya dengan mengambil alih semua sektor proyek yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu sektor SDAE (Sumber Daya Alam dan Energi) seperti tambang batu bara, migas dan lainnya. Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah), hadist ini menyatakan bahwa tiga hal tersebut adalah milik umum dan tidak boleh dimonopoli oleh individu mana pun, melainkan harus bisa dimanfaatkan secara setara oleh semua orang, menekankan pentingnya memanfaatkan sumber daya yang sangat dibutuhkan masyarakat secara merata dan mencegah perselisihan. Jadi, Pemerintah tidak boleh bertindak layaknya tuan rumah yang memberikan karpet merah pada pemodal untuk memiliki SDA, melainkan pemerintah harus sebagai pengelola langsung agar hasilnya masuk ke Baitul maal dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan
Pendidikan juga membuka lapangan kerja bagi rakyat terutama para kepala keluarga, dengan demikian kesejahteraan pun terwujud. Pemenuhan gizi anak dapat dilakukan dengan sendirinya dari rumah, tanpa mengharapkan makanan bergizi gratis yang hanya diberikan sekali sehari saja. Kalaupun ingin membuat program makan gratis maka pemimpin dalam sistem Islam atau khalifah akan membangun dapur umum atau dapur di masing masing sekolah dengan pendanaan dari Baitul maal bukan melempar ke pihak swasta dan menjadikan ajang bisnis. Secara nyata program ini pernah dilakukan pada masa Khilafah Utsmaniyah, dapur umum dibangun sejak abad ke-14 hingga ke-19 dikenal dengan istilah Imaret, untuk mendistribusikan makanan gratis kepada siapa saja yang membutuhkan baik muslim atau non muslim entah dari kalangan murid, guru, pengurus masjid, pekerja, sufi, atau para pelancong yang sedang lewat. Sistem Islam mampu menutup pintu kepentingan pemodal, pejabat hingga partai politik tertentu sehingga mencegah sikap tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan sikap pengkhianatan lainnya yang memanfaatkan kebutuhan rakyat untuk keuntungan.
Kesejahteraan yang terwujud dalam sistem Islam bukan hanya dongeng semata, hal ini sudah pernah terjadi dalam 14 abad penerapan sistem Islam, salah satu contoh nyata di masa khalifah Umar bin Abdul Azis dimana tidak ada rakyat yang mau dan merasa pantas untuk menerima zakat, tidak ada rakyat miskin karena penerapan sistem Islam secara kaffah terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan secara merata. Wallahua’lam bisawab.
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru