Share ke media
Opini Publik

Kekerasan Perempuan dan Anak Marak Terjadi, Islam Punya Solusi

11 Jun 2023 05:53:21550 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : radarmadiun.jawapos.com - Tiga Tahun, 99 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Terjadi di Ngawi - 1 Januari 2022

Samarinda - Kasus kekerasan perempuan dan anak tertinggi terjadi di Samarinda pada bulan Mei 2023. Mayoritas penyebabnya karena Masalah sosial. Berdasarkan data penginputan dalam aplikasi SIMFONI PPA Dinas Kependudukan, Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur, hingga 1 Mei 2023 ada 282 kasus tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak. Rinciannya adalah, Berau 3 kasus Balikpapan 39 kasus, Bontang 25 kasus, Samarinda 157 Kasus, Kutai Barat 5 kasus, Kutai Kartanegara 16 kasus, Paser 8 kasus dan Penajam Paser Utara 7 kasus. Kasus terbanyak terjadi kota di Samarinda 157 Kasus. Hanya Mahakam Ulu yang tidak ada catatan kasus. (headlinekaltim.co, 30/05/2023)

Data ini sejatinya menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat kita. Terlebih kasus seperti ini biasanya merupakan fenomena gunung es. Tidak mudah bagi kita untuk mendapat data sebenarnya. Namun yang pasti, angka kasus yang tidak terungkap biasanya jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang terungkap.

Dengan begitu banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan data KemenPPPA, pada 2022, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus, meningkat drastis dari tahun sebelumnya (4.162 kasus).

Jika kita telisik, ada banyak aspek yang menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap anak makin parah. Pertama adalah aspek sanksi yang tidak menjerakan. Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. (Kompas, 06/01/2022)

Ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak tidak sampai hukuman mati, melainkan hanya dipenjara, bahkan realisasinya bisa sangat ringan. Banyak kasus menguap begitu saja jika publik tidak mengawal ketat. Hal ini menjadikan tidak adanya efek jera bagi pelaku dan selanjutnya ia maupun orang lain mudah saja melakukan kejahatan serupa karena tidak takut terhadap ancaman hukumannya.

Aspek kedua, masih terdapat perbedaan persepsi di antara aparat terkait definisi kasus. Perbedaan definisi kasus di antara aparat ini bisa menjadi kesalahan fatal karena terkait penentuan hukuman bagi pelaku. Lantas, kalau definisinya saja berbeda, bagaimana keadilan hukum bisa terwujud?

Ketiga, buruknya pengaturan media massa. Pornografi-pornoaksi banyak bergentayangan di internet. Siapa pun mudah saja mengakses konten porno melalui ponselnya.

Keempat adalah lemahnya sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan kita begitu jauh dari agama (sekuler) sehingga output-nya adalah orang-orang yang mengabaikan agama. Mereka tidak peduli halal-haram, juga tidak takut neraka, apalagi mau merindukan surga. Mereka merasa bebas berbuat apa saja tanpa peduli terhadap syariat. Akibatnya, terwujudlah masyarakat liberal sehingga memunculkan beraneka macam tindak kejahatan.

Anak-anak pun tidak luput dari keburukan sistem ini. Mereka menjadi korban dari kerusakan sistem sekuler liberal yang diterapkan. Selama negeri ini menerapkan sistem sekuler, selama itu pula akan terus ada yang menjadi korban kejahatan seksual, termasuk remaja dan anak-anak.

Negeri ini sedang dalam darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak, bisa dikatakan seperti itu. Sangat wajar jika banyak pihak yang berusaha untuk menyelesaikan persoalan ini. Namun jika di cermati, semakin maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak karena tidak ada perlindungan terhadap perempuan oleh negara, masyarakat, maupun keluarga.

Maraknya kasus kekerasan seksual justru menjadi bukti penguat atas rusaknya sistem kehidupan yang sedang diterapkan. Terlebih dalam waktu yang bersamaan, kekerasan seksual—khususnya terhadap anak—juga makin marak terjadi di lingkungan keluarga yang semestinya menjadi benteng perlindungan dan tempat mereka mendapat pendidikan pertama dengan limpahan kasih sayang. Tampak bahwa tidak ada lagi tempat yang aman bagi generasi. Dimana pun mereka berada, berpotensi ada ancaman yang akan merusak masa depan.

Fakta ini semestinya cukup untuk membuktikan bahwa problem kekerasan seksual merupakan problem sistem yang harus dipecahkan secara sistemis pula. Bukan hanya soal tindakannya, tetapi harus menjawab “apa” dan “kenapa”-nya. Juga bukan soal pelaku atau korban saja, melainkan juga soal semua faktor pemicu dan solusi komprehensif yang dibutuhkan untuk menjawab akar persoalan.

Tidak dimungkiri, sistem kehidupan hari ini sudah sangat jauh dari nilai halal-haram, mulai dari level individu, keluarga, masyarakat, hingga negara. Bahkan, negara berperan paling besar dalam menciptakan kehidupan rusak, mengingat posisinya sebagai sumber sekaligus penerap berbagai aturan kehidupan.

Negara yang tegak di atas asas sekuler kapitalistik neoliberal tentu akan menerapkan aturan-aturan yang senapas dengan asasnya, padahal aturan sekuler ini dipastikan akan menghasilkan corak hidup yang rusak dan merusak seperti yang kita lihat sekarang.

Pandangan individunya tentang kehidupan, lepas dari pertanggungjawaban transendental. Makna kebahagiaan melulu diukur dengan materi dan uang. Adapun standar perbuatan, tergantung bacaan soal kemanfaatan yang subjektif menurut orang per orang.

Wajar jika definisi “kejahatan” akhirnya menjadi sangat ambigu dan kontroversial. Bagi seseorang, apa yang disebut perzinaan, bisa bermakna kekerasan seksual yang tidak termaafkan, bisa juga bermakna hubungan personal yang dimaafkan. Jika dilakukan suka sama suka, bukanlah kejahatan. Jika suka sama suka, tetapi dilakukan oleh anak di bawah umur yang didefinisikan sesuai kepentingan kapitalisme, mungkin saja kemudian disebut tindak kriminal.

Berbeda dengan Islam. Pandangannya yang sahih tentang hakikat hidup, makna kebahagiaan hakiki, dan standar perbuatan, membuat kehidupan berjalan selaras dengan tujuan penciptaan. Manusia diarahkan untuk hidup sesuai fitrahnya dengan berbagai aturan hidup yang menjamin kebahagiaan. Di dunia iya, di akhirat juga.

Sepanjang sejarah peradaban Islam tegak selama belasan abad, kasus kekerasan seksual tidak pernah menjadi fenomena seperti sekarang. Kalaupun terjadi, ini lantaran ada sisi kemanusiaan dari sistem Islam, itu pun mungkin satu dua kasus saja yang mampu diselesaikan dengan penuh keadilan dan kemuliaan.

Semua fitrah keimanan individu dalam sistem Islam benar-benar akan terjaga. Kondisi masyarakatnya akan kental dengan tradisi dakwah amar makruf nahi mungkar. Termasuk satuan pendidikan, benar-benar berfungsi sebagai pilar peradaban karena semua komponen yang ada—pendidik, kurikulum, dan metode pembelajaran—terintegrasi demi mencapai tujuan pendidikan Islam.

Adapun negara, konsisten menerapkan aturan Islam kafah, termasuk sistem perihal media massa dan sanksi yang mencegah terjadinya berbagai penyimpangan sejak awal.

Wallahualam bissawab.

Oleh: Noorhikmah (Pemerhati Sosial)

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu dari masyarakat yang ingin menuangkan pemikiran, ide dan gagasannya yang hak ciptanya sepenuhnya dimiliki oleh yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.