Share ke media
Opini Publik

Kelangkaan Gas Melon Berulang, Rakyat Dipermainkan?

16 Feb 2025 02:33:3013 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : poskotanews.co.id - Diduga, Ini Penyebab Kelangkaan Gas Melon Di Tangerang Raya - 1 Februari 2025

Samarinda - Kelangkaan gas elpiji 3 kg di Kota Tepian membuat DPRD Samarinda bergerak. Komisi II menggelar RDP bersama instansi terkait, mendesak agar distribusi gas bersubsidi dilakukan langsung ke tingkat RT untuk memastikan pasokan tepat sasaran. Kelangkaan ini bermula dari kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melarang pengecer menjual gas elpiji 3 kg mulai 1 Februari 2025. Meski Presiden Prabowo Subianto telah mencabut kebijakan tersebut, banyak warga sudah terlanjur melakukan panic buying.

Belum lagi adanya dugaan oknum yang sengaja menimbun dan menjual dengan harga tak wajar untuk mendapatkan keuntungan besar yang instan. Akibatnya, harga gas melon di Samarinda melonjak hingga Rp50 ribu per tabung. (kaltimfaktual.co/06/02/2025).

Penyebab Kelangkaan

Kelangkaan gas melon ini sangat menyusahkan rakyat, dan jikapun tersedia harganya sangat tinggi. Gas merupakan kebutuhan yang sangat penting dan sangat mempengaruhi perekonomian masyarakat. Mahal dan langkanya gas melon menyebabkan pengeluaran masyarakat semakin besar. Para pedagang kecil sangat merasakan imbas dari kelangkaan dan kenaikan gas ini, mereka sulit melakukan usahanya dan jikapun dapat harus melalui antrian panjang dan menghabiskan banyak waktu sehingga waktu untuk memulia usaha digunakan untuk mencari dan mengantri gas.

Setelah ditelusuri, ternyata penyebab kelangkaan gas melon ini adalah kebijakan pemerintah yang merubah sistem distribusi LPG yaitu hanya membolehkan pangkalan saja yang menjual secara ecer Adapun pengecer, diwajibkan beralih menjadi pangkalan resmi bila ingin mendapatkan stok gas melon untuk dijual. 

Kebijakan ini, walaupun telah dibatalkan, telah menimbulkan kekisruhan dan kesengsaraan di tengah masyarakat. 

Kebijakan ini, menyebabkan antrian panjang masyarakat di pangkalan demi mendapatkan gas melon, bahkan menyebabkan korban jiwa akibat kelelahan mengantri selama berjam-jam

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan gas. Misalnya dengan mengubah regulasi distribusi gas melon, dengan membolehkan kembali pedangang bisa mengecer gas LPG 3 Kg,dengan berbagai syarat.

Jika kita melihat kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu selalu berubah dan menyusahkan rakyat, jika kita tengok ke belakang kebijakan LPG 3 Kg (Gas Melon) berawal di tahun 2006 di jaman SBY, diluncurkannya PP No 5 Tahun 2006, karena beratnya pemerintah menanngung subsi untuk minyak tanah, saat itu pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke gas Melon / LPG 3 kg. Di saat itu rakyat dipaksa untuk beralih dan bahkan di awal pemerintah memberikan gas melon (beserta tabung) dan juga kompor gas secara gratis agar rakyat berpindah dari minyak tanah ke gas. Saat itu pemberian lewat ketua RT itu pemberian cuma-cuma kepada semua agar rakyat benar-benar bisa beralih dari minyak tanah ke Gas. 

Saat ini dengan dalih yang sama karena beratnya menangung subsidi dan untuk merataka mendistibusi, dibuatlah kebijakan tidak boleh membeli di pengecer,.

Jika yang boleh menjual LPG hanya pangkalan/agen resmi, bisa dipastikan distribusi LPG 3 kg akan dikuasai oleh para pengusaha bermodal besar alias kapitalis. Ini karena syarat menjadi agen resmi adalah punya modal minimal Rp100 juta dan lahan minimal 165 m². meski kemudian kebijakan tersebut dikoreksi kembali.

Pengokoreksian kebijakan itu tidak membuat mudahnya elpiji diperoleh ditangan pengecer, karena seabrek aturan yang harus dipenuhi. Sejatinya kelangkaan terjadi akibat kebijakan pemerintah sendiri yang membagi kelas subsidi dan non subsidi, padahal gas adalah kebutuhan seluruh masyarakat apalagi jumlah masyarakat kelas menengah ke bawah mendominasi. Penguasa seakan menjadi populis otoritarianism, jadi pahlawan setelah membatalkan kebijakannya sendiri yang dzalim (fake heroism). 

Kelangkaan terjadi di berbagai wilayah Indonesia termasuk Kalimantan Timur, tentu sebuah ironi sebagai wilayah penghasil migas. Muara Badak, Bontang, dan Balikpapan adalah kota/kabupaten penghasil gas yang jumlahnya besar. Namun, pengelolaannya dikuasai oleh swasta sehingga hasilnya dijual dengan harga internasional kemudian Perusahaan gas negara (saat ini berada di bawah PT.PERTAMINA) membelinya dengan harga tersebut, jadilah harga jual yang sampai pada masyarakat untuk gas non subsidi sangat mahal. Namun, demi memenuhi kebutuhan gas bagi rakyat dengan harga terjangkau, maka pemerintah mengucurkan subsidi untuk gas melon yang diperuntukkan bagi rakyat miskin. Padahal, kelas menengah pun sulit menjangkau harga gas non subsidi.

Inilah yang disebut sebagai liberalisasi migas yaitu memberi jalan bagi korporasi mengelola SDA termasuk migas yang sejatinya milik rakyat sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33. Padahal negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan/Perusahaan swasta apalagi asing.

Dalam sistem negara demokrasi kapitalisme. Sebab, salah satu dari pilar kebebasannya adalah kebebasan kepemilikan. Jadilah SDA bebas dimiliki siapa saja yang dianggap mampu atau memiliki modal untuk mengelolanya. Padahal, menurut amanat UUD 1945, negaralah yang seharusnya menguasai SDA untuk sebesar – besar kemakmuran rayat.

Namun, dikarenakan dalam pelaksanaan sistem Demokrasi membutuhkan biaya besar, maka ini yang menghasilkan oknum – oknum pejabat bermental pebisnis, atau pebisnis yang berkuasa. Sehingga menjadi hal biasa apabila SDA yang ada diserahkan penguasaannya kepada pebisnis/pengusaha. 

Inilah yang terjadi dalam sistem kapitalisme menghilangkan peran negara sebagai ro’in (pengurus rakyat). Sebaliknya negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Menyerahkan pengelolaan migas kepada pengusaha sehingga negara hanya kebagian pajaknya, hasilnya mereka jual kembali kepada rakyat.

Tata Kelola Migas dalam Islam

Islam menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah) halaman 83 menjelaskan bahwa segala sarana umum untuk seluruh kaum muslim yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari yang jika tidak ada akan menyebabkan perpecahan, terkategori milik umum.

Ini berdasarkan dalil berupa sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah). Air, padang rumput, dan api merupakan hal-hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari dan jika hilang, manusia akan berada dalam kesulitan.

Berdasarkan kriteria ini, migas (termasuk LPG) termasuk milik umum karena migas dibutuhkan masyarakat untuk keperluan sehari-hari seperti memasak dan bahan bakar untuk mesin dan transportasi. Jika migas tidak ada, manusia akan merasakan kesulitan untuk mencarinya seperti kondisi ketika gas melon langka saat ini.

Dalam Islam, tambang migas terkategori milik umum berdasarkan hadis, “Sesungguhnya Abyadh bin Hamal al-Mazaniy bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah Anda mengetahui apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah Anda berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.’” (HR Tirmidzi).

Berdasarkan hadis ini, tambang yang depositnya besar (seperti air yang mengalir) termasuk milik umum. Walhasil tambang migas terkategori milik umum. Negara tidak boleh memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan untuk memilikinya dan mengeksploitasinya. Negara wajib melakukan eksploitasi barang tambang tersebut mewakili kaum muslim. Kemudian hasilnya digunakan untuk kepentingan kaum muslim. Hal ini sesuai dengan fungsi negara sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Setiap dari kalian adalah raa’in (pemimpin/pengurus) dan tiap tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”(HR Imam Bukhari).

Negara dalam Islam akan memudahkan rakyat untuk mengakses berbagai kebutuhannya terhadap layanan publik, fasilitas umum, dan SDA yang merupakan hajat publik, termasuk migas dan LPG. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah) halaman 95 menjelaskan bahwa hasil pengelolaan harta milik umum (termasuk tambang migas) dibagikan kepada rakyat yang memang merupakan pemilik harta milik umum beserta pendapatannya.

Kepala Negara dalam sistem Islam boleh menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah-murahnya atau dengan harga pasar. Juga boleh membagikan uang hasil keuntungan harta milik umum kepada rakyat. Semua tindakan tersebut dipilih dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.

Dalam konteks LPG, sistem Islam akan memastikan produksi dan jalur distribusinya sehingga kebutuhan rakyat terpenuhi secara cukup dan tidak ada kesulitan. Negara akan mengelola tambang migas untuk memenuhi kebutuhan rakyat, sebagaimana yang disyariatkan oleh Rasulullah SAW.

Wallahua’lam biasshowab

Oleh : Agustina Eka Wardani, S.Pd (Aktivis Dakwah dan Pemerhati Sosial)