Share ke media
Opini Publik

Kemiskinan Ekstrim Melanda Bumi Kaya SDAE

27 Jan 2023 03:00:39207 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : liputan6.com - 27,5 Juta Penduduk Indonesia Masih Hidup di Bawah Garis Kemiskinan - 15 Juli 2021

Samarinda - Setiap manusia tentu mendambakan kehidupan yang sejahtera. Kebutuhan hidup terpenuhi. Mendapat pendidikan yang berkualitas. Pelayanan kesehatan yang baik. Bahkan keamanan pun terjamin. Tak satupun manusia yang ingin hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Namun sayangnya, kesejahteraan saat ini seolah menjadi barang langka. Hanya bisa dirasakan oleh masyarakat tertentu saja. 

Dilansir dari headlinekaltim.co, 9.032 warga di Samarinda masuk dalam kategori miskin ekstrim mendapat perhatian serius anggota DPRD Kota Samarinda. Sebelumnya, Kepala Dinas Sosial Samarinda Asfihani membeberkan bahwa dari 44.524 warga miskin di Samarinda, 9.032 warga diantaranya masuk dalam kategori miskin ekstrem.

Sungguh ironi, dibumi yang kaya akan SDAE tetapi rakyatnya masuk dalam kategori miskin eskrim. Tak kalah ironi lagi seperti yang terjadi di kota Bontang yang merupakan termasuk kota industri, untuk mengentaskan kemiskinan pemkot bergantung pada Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS). Mengutip dari radarbontang.com, Potensi Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) di Kota Bontang mencapai Rp 605 Miliar. Jumlah tersebut dianggap sangat mampu menyelesaikan masalah kemiskinan di Kota Taman, sebutan Kota Bontang. Hal ini disampaikan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Bontang, Kuba Siga. 

Sedih. Miris memang. Sudah 1 abad Negeri ini merdeka. Namun, kondisi masyarakat tak kunjung membaik. Masih jauh dari sejahtera. Kebutuhan pokok baik itu sandang, pangan, papan yang merupakan kebutuhan mendasar individu justru terabaikan. Peran penguasa sangat minim. Sehingga kemiskinan menjadi persoalan pelik untuk diselesaikan.

Penguasa mestinya sadar bahwa kekayaan SDAE yang dimiliki provinsi ini harusnya mampu mensejahterakan rakyatnya. Namun sayang, akibat pengelolaan kekayaan tersebut diserahkan kepada swasta, hasilnya tak dapat dirasakan oleh rakyat. Melainkan rakyat hanya mendapatkan dampak kerusakannya saja. Sementara hasil keuntungan dari kekayaan alam tersebut masuk dalam kantong-kantong pemilik modal/swasta. Maka tak seharusnya berharap apalagi bergantung pada mereka. 

Kapitalisme sebagai penyangga sistem dunia saat ini termasuk Indonesia terbukti gagal menciptakan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, sistem ini telah menyeret manusia pada kehancuran demi kehancuran yang lebih mengerikan lagi. Kapitalisme memandang masyarakat sebagai kumpulan individu-individu semata. Maka, kesejahteraanpun merupakan urusan individu. Rakyat harus memperjuangkan sendiri kesejahteraannya. Sementara, negara memposisikan diri sebatas regulator saja. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Begitulah prinsip kesejahteraan dalam kapitalisme.

Sistem kapitalisme telah merampas hak rakyat untuk hidup sejahtera. Sistem ini membuat penguasa abai memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Sistem ini juga telah berhasil memiskinkan rakyat. Dalam sistem ini yang kaya semakin kaya. Sementara yang miskin semakin melarat dalam kemiskinan yang ekstrim. Karena kekayaan alam yang harusnya milik rakyat, dikuasai segelintir orang. Sistem kapitalisme terbukti gagal dalam mengurusi kepentingan rakyat. Kebobrokan sistem kapitalisme, baik pada sistem hukum dan pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan kesehatan telah nyata-nyata terpampang di depan mata. Maka masihkah kita berharap pada sistem yang terbukti menyengsarakan rakyat ini?

Islam Menjamin Kesejahteraan Rakyatnya

Sistem kapitalisme jelas berbeda dengan sistem Islam. Kesejahteraan rakyat dalam Islam merupakan tanggung jawab negara. Negara tidak boleh abaikan. Sehingga tidak heran jika salah satu bentuk keagungan sistem Islam yang tidak dimiliki peradaban lainnya adalah kesempurnaan dan jaminan kehidupan terbaik bagi rakyatnya. Hal ini terbukti mampu bertahan selama 1.400 tahun dalam menaungi umat manusia dengan menguasai sepertiga dunia.

Islam memandang kesejahteraan adalah hak rakyat. Jaminan kesejahteraan dalam Islam dapat terwujud bukan karena kebetulan, namun karena Islam memiliki seperangkat aturan atau kebijakan. Aturan maupun kebijakan ini bersumber dari Islam. Dalam pandangan Islam, masyarakat dikatakan sejahtera bila terpenuhi dua kriteria : Pertama, terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Baik itu pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatan. Kedua, terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia.

Dalam Islam, negara berperan sebagai pengatur agar kekayaan terdistribusi secara merata, hingga kesejahteraan rakyat dapat terwujud secara merata pula. Kepala Negara (Khalifah) dalam Islam mengatur kepemilikan kekayaan negara sesuai syariat Islam. Ada kepemilikan individu, umum dan negara. Semua diatur sedemikian rupa untuk kemakmuran rakyat.

Pengaturan hasil pengelolaan SDAE tersebut kemudian akan masuk dalam Baitul Mal yang menjadi pusat pendapatan negara. Arahnya adalah untuk menjamin kehidupan per-individu rakyat agar benar-benar mendapatkan sandang, pangan dan papan. Serta untuk mewujudkan jaminan bagi rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, pertanian, industri, infrastruktur dan lainnya. Dengan demikian, kesejahteraan dalam Islam tidak hanya masalah perut saja. Tapi mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat harus terpenuhi.

Hal ini telah terbukti dimasa kehilafahan. Salah satunya pada masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang berhasil mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan. Semua rakyatnya hidup berkecukupan. Tidak ada satupun yang memenuhi syarat untuk menerima zakat. Dikisahkan oleh Yahya bin Said. Kemakmuran umat, ketika itu,  tak hanya terjadi di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah kekuasaan Islam, seperti Irak dan Basrah.

Abu Ubaid mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di provinsi itu. Gubernur menyampaikan jika sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitul Mal masih terdapat banyak uang.

Khalifah Umar lalu memerintahkan lagi agar mencari orang yang dililit utang tetapi tidak boros untuk diberi uang melunasi utangnya. Gubernur kembali menyampaikan jika sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang.

Khalifah lalu memerintahkan lagi agar mencari seorang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, maka nikahkan dia dan bayarlah maharnya. Lagi-lagi Gubernur Hamid Bin Abdurrahman menyampaikan jika sudah menikahkan semua yang ingin nikah. Namun, di Baitul Mal ternyata dana yang tersimpan masih banyak.

Akhirnya Khalifah Umar lalu memberi pengarahan, untuk mencari orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah mereka pinjaman agar mampu mengolah tanahnya, dan tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.

Begitulah jika Islam dijadikan sistem aturan yang mengatur kehidupan dalam seluruh aspek kehidupan. Maka sudah seharusnya kita sebagai kaum Muslim kembali mengambil sistem Islam kaffah untuk menyatukan seluruh aspek kehidupan kita agar Islam rahmatan lil alamin dapat terwujud.

Wallahua’lam bishowab

Oleh : Meltalia Tumanduk, S. Pi (Pemerhati Masalah Sosial)

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.