Samarinda - Menurut Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul Macro Poverty Outlook edisi April 2025 lalu menetapkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran kurang dari sekitar Rp113.777 per hari tergolong sebagai kelompok miskin di negara berpendapatan menengah atas. sejak 2023 Indonesia sudah masuk dalam jajaran 37 negara berpendapatan menengah ke atas (upper-middle income country/UMIC), dengan Gross National Income (GNI) per kapita sebesar 4.870 dolar AS.
Dari standar Bank Dunia tersebut maka sekitar 60% penduduk Indonesia yang setara dengan 171,9 juta jiwa masih tergolong miskin. Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2024 hanya sekitar 8,57% yang setara dengan 24,06 juta jiwa tergolong miskin dengan standar garis kemiskinan pada September 2024 tercatat sebesar Rp595.242/kapita/bulan.
Beda Standar Beda Hasil
Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan bahwa memang terdapat perbedaan patokan penilaian atas kemiskinan antara Bank Dunia dengan BPS RI. Ia mengatakan, Bank Dunia menilai kemiskinan melalui standar masyarakat menengah atas, yakni sistem purchasing power parity (PPP) 2017 yang mencapai USD6,85 per kapita.
Menurut Amalia, karena posisi Indonesia baru naik kelas ke kategori UMIC dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC, yang range nilainya cukup lebar, yaitu antara 4.516-14.005 dolar AS. Dan jika standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan di Indonesia, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi.
Karena itu lah, sampai saat ini BPS masih mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) dan jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dinyatakan dalam Garis Kemiskinan
Adanya perbedaan jomplang standar kemiskinan national dan dunia disebabkan perbedaan standar pengukuran. Seseorang bisa dikategorikan tidak miskin secara nasional, tetapi masuk dalam kategori miskin ekstrem secara global. Hal ini lumrah terjadi dalam sistem kapitalisme. Oleh karena itu butuh data yang akurat terhadap realitas kemiskinan di lapangan.
Perbedaan standar kemiskinan ini karena dampak dari penerapan sistem Kapitalisme dalam tata kelola ekonomi dan sosial. Dengan standar rendah, negara bisa mengklaim sukses “mengurangi kemiskinan”, padahal itu hanya manipulasi angka untuk menarik investasi.
Kapitalisme gagal menyejahterahkan rakyatnya
Seharusnya sekecil apa pun angka kemiskinan semestinya tidak dibiarkan, apalagi sampai berlarut-larut. Karena kemiskinan di Indonesia nyatanya tidak hanya miskin yang biasa-biasa saja, sebagaimana rakyat yang gajinya di bawah garis kemiskinan. Namun, di negeri ini ternyata ada warga miskin dengan status ekstrem. Dengan merujuk data BPS, tingkat kemiskinan ekstrem per Maret 2024 mencapai 0,83%.
Mengutip dari laman Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK (2024), kemiskinan ekstrem menggambarkan keadaan seseorang atau kelompok yang tidak mampu memenuhi kebutuhan paling dasar, seperti makanan, air bersih, sanitasi, layanan kesehatan, tempat tinggal yang layak, pendidikan, serta akses terhadap informasi dan layanan sosial yang penting untuk kehidupan sehari-hari. Dan faktanya, kelompok masyarakat yang seperti ini tidaklah sedikit.
Menurut Kemenko PMK pula, kemiskinan ekstrem bisa dilihat ketika penghasilan seseorang kurang dari Rp45 ribu/hari. Masalahnya jika di dalam satu keluarga hanya satu orang yang bekerja, tentunya nominal Rp45 ribu itu digunakan untuk biaya hidup harian sekeluarga. Pemerintah Indonesiapun menargetkan penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024. Dan tentu membutuhkan dukungan dan solusi sistemis dari luar sistem kapitalisme.
Jika kita hendak jujur, angka yang dirilis Bank Dunia setidaknya lebih masuk akal karena tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia memang tidak begitu baik. Ditambah lagi dengan banyaknya PHK yang terjadi di awal tahun 2025 lalu, sulitnya mendapatkan pekerjaan, harga-harga kebutuhan pokok yang kian hari kian melonjak naik, dan biaya kebutuhan pokok lainnyaseperti tarif daya listrik, air, pendidikan, dan kesehatan juga terus naik.
Meskipun segala daya upaya sudah dilakukan untuk menambal kerusakan yang terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme namun tetap tidak akan mampu menambalnya, yang terjadi justru semakin memperburuk kondisi masyarakat. Seperti program BLT, MBG, subsudi gas melon, susbsidi bahan bakar kendaraan bermotor dan lain-lainnya. Penanggulangan kemiskinan ini tidak cukup dengan sekadar penyaluran bantuan sosial. Lebih dari itu, masyarakat Indonesia membutuhkan jaminan politik sahih untuk mengurus urusan mereka, baik itu pada level individu, keluarga, masyarakat, maupun negara. Rekam jejak kapitalisme yang senantiasa membuahkan derita menegaskan bahwa kapitalisme sudah saatnya dibuang dan diganti dengan sistem yang lebih baik sekaligus sahih, yakni sistem Islam dalam naungan Khilafah
Sistem Ekonomi Islam Atasi Kemiskinan
Sistem ekonomi Islam adalah solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Penerapan Islam secara Menyeluruh akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin terdistribusikannya harta secara merata individu per individu sesuai dengan kebutuhan mereka. Di dalam kitab Nizhamu al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan, orang miskin (faqir) menurut syariat adalah orang yang membutuhkan, keadaannya lemah, dan tidak bisa dimintai apa-apa. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme, kemiskinan dianggap sebagai sesuatu yang relatif (nisbi) dan bukan kondisi tertentu yang bersifat tetap dan tidak berubah. Anggapan versi kapitalisme ini adalah anggapan yang salah karena kapitalisme memosisikan makna sesuatu sekadar “anggapan” dan bukan riil, padahal kemiskinan memiliki fakta hakiki. Untuk itu kemiskinan sejatinya bisa diatasi, bukan melalui sistem ekonomi kapitalisme, melainkan dengan Islam.
Islam memandang bahwa kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) secara menyeluruh. Islam telah menjadikan upaya pemenuhan kebutuhan primer adalah fardu. Namun, jika seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhan primernya sendiri, syariat telah menjadikan orang tersebut wajib ditolong oleh orang/pihak lain agar dirinya tetap bisa memenuhi kebutuhan primernya. Allah Taala berfirman, “Berikanlah (sebagian lagi) kepada orang-orang yang sengsara lagi faqir.” (QS Al-Hajj [22]: 28).
Pihak pertama yang wajib menolong orang faqir tersebut adalah kerabat terdekat yang memiliki hubungan waris. Jika pihak pertama ini tidak ada, kewajiban nafkah tersebut berpindah kepada negara, yakni melalui baitulmal pada pos zakat. Selain zakat, baitulmal masih memiliki jalur pemasukan lain yang beragam dan masing-masing jalur memiliki potensi jumlah yang besar. Peruntukan tiap pos anggaran harus sesuai syariat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sumber-sumber harta di baitulmal itu di antaranya dari fai, kharaj, jizyah, dan pengelolaan harta kekayaan milik umum berupa SDA yang diatur secara syar’i.
Dalam Khilafah, munculnya gejala kelangkaan barang saja sudah membuat Khilafah harus mengoreksi keberlangsungan distribusi ekonomi di tengah masyarakat agar kelangkaan itu jangan sampai terjadi, apalagi sampai pada terjadinya kemiskinan ekstrem.
Khilafah wajib menjaga keberlangsungan dan keseimbangan distribusi ekonomi, bahkan menjamin agar semua individu rakyat bisa makan dengan porsi cukup tanpa ancaman kelaparan. Allah Taala berfirman, “… supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS Al-Hasyr [59]: 7).
Hanya Islam yang mampu menyelesaikan kemiskinan ini. Sistem Islam yang sempurna memiliki jaminan agar kemiskinan bisa diselesaikan. Penyelasiannya ringkasnya sebagai berikut:
Pertama, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan primer masyarakat. Hal itu dilakukan dengan mewajibkan laki-laki mencari nafkah untuk keluarganya. Apabila tidak bisa, kewajiban itu diserahkan pada kerabat dekat. Jika tidak ada kerabat dekat, baru akan diambil alih oleh negara. Masyarakat yang kaya akan didorong untuk membantu rakyat miskin. Mereka melakukannya atas dorongan keimanan.
Kedua, Islam akan membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu individu, umum, dan negara. Individu bebas mendapatkan harta asalkan caranya tidak melanggar hukum syarak. Kepemilikan umum, seperti SDA, akan dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Swasta dilarang memilikinya. Kekayaan negara akan dikelola oleh negara untuk keperluan kenegaraan.
Ketiga, negara wajib mendistribusikan kekayaan secara merata, seperti memberikan tanah pada siapa saja yang mampu mengelola.
Keempat, pembangunan ekonomi akan bertumpu pada sektor riil. Dengan begitu, kekayaan yang ada itu asli, bukan sesuatu yang tidak ada, tetapi diada-adakan.
Semua cara tadi hanya bisa dilakukan dalam sistem Islam yang sempurna. Mustahil bisa dilakukan dalam sistem kapitalisme. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim sudah sewajarnya kita kembali pada Islam yang menyeluruh. Kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan terpenuhi secara individu per individu. Wallahu’alam bissawab.
Oleh : Nurjaya, S.PdI