Share ke media
Opini Publik

Kerusakan Sistemik Penyebab Kekerasan Pada Anak Kian Masif

10 May 2025 04:38:1429 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : rri.co.id - Ini Penyebab Terjadi Kekerasan Terhadap Anak - 19 Desember 2024

Samarinda - Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Balikpapan kembali menggelar sosialisasi program Lautan RT (Pola Penguatan Pengasuhan Keluarga dari RT ke RT) secara masif. Kegiatan ini dilaksanakan Kamis (17/4) di Posyandu RT 13 Kelurahan Sungainangka, dihadiri puluhan warga dari empat RT di wilayah tersebut. (Kaltimpost.ID/18 April 2025).

Tentu saja ini program baik yang patut didukung. Namun, jika dicermati lagi. Sosialisasi harus sampai dilakukan hingga tingkat RT, menandakan kasus kekerasan pada anak yang kian masif dan memprihatinkan. Bukankah ini artinya negara gagal melindungi anak dari bahaya kekerasan. Rasanya ada kontradiksi, Disatu sisi sosialisasi penguatan pengasuhan keluarga dilakukan, disisi lain sosialisasi pemberdayaan perempuan yang intinya menggerakkan perempuan agar bekerja diluar rumah untuk mencari penghasilan sendiri dan membantu nafkah juga dilakukan, alih alih disejahterakan oleh negara. Tugas Ibu di zaman now luar biasa berat, Menjadi pendidik dan pengasuh utama bagi anak, juga dituntut ‘mandiri’.

Hampir setiap minggu kita digemparkan dengan kasus kekerasan anak. Dari pencabulan, penganiayaan sampai perundungan yang berujung korban dirawat, trauma ataupun terbunuh. Pelakunya dari berbagai kalangan, bisa keluarga sendiri, kekasih si Ayah atau Ibu, tetangga, guru, teman sebaya atau remaja lain yang lebih tua. Yang terbaru di Hari Pendidikan Nasional, di Samarinda, seorang anak perempuan kelas 6 SD dikeroyok oleh sekelompok remaja putra-putri SMP, kejadian ini direkam dan ditayangkan dengan bangga oleh para pelaku di akun media sosialnya.

Masih di minggu yang sama, sebuah kasus Child Grooming terbongkar di Wonogiri, siswi kelas 6 SD berpacaran dan melakukan persetubuhan berkali kali dengan pria 45 tahun yang juga tetangganya sendiri, mengaku tanpa paksaan dan pelaku selama ini sudah memberikan sejumlah uang pada ‘pacar’ nya itu, dan siap bertanggung jawab bila ada kehamilan (Gelora News. 30 April 2025).

Miris, bentuk ‘pertanggung jawaban’ dengan menikahkan pasangan yang melakukan pergaulan bebas masih dianut sebagai solusi oleh masyarakat kita. Padahal ini menjadi estafet lingkaran setan dalam kasus kekerasan anak di kemudian hari.  Lalu, seorang pria pembuat konten terkenal baru saja mengaku dalam sebuah podcast bahwa dirinya adalah korban pelecehan seksual oleh guru mengaji yang juga pria di suatu TPA, 20 tahun silam, saat ia masih SD. Artinya, kekerasan seksual pada anak sudah menghantui kita sejak puluhan tahun lalu. Berbagai sosialisasi dan modifikasi hukum ternyata tidak membendung kasus kekerasan pada anak, kejahatannya malah semakin diluar nalar. Bahkan ancaman untuk anak anak kita bertambah dengan adanya kaum laknat LGBTQ yang eksistensinya malah diberi ruang dan didukung dengan dalih Hak Asasi.

Benarkah semua kerusakan ini penyebabnya dari pola asuh hingga perlu dikuatkan dengan sosialisasi? Mungkin sebagian setuju pola asuh menjadi salah satu penyebab. Namun, sebaik apapun asuhan didalam rumah saat ini (bahkan dari dulu) tidak menjamin anak aman saat berada diluar rumah, atau saat mereka menatap layar smartphone-nya. Begitu banyak keluarga harmonis dengan pengasuhan yang baik, ternyata anaknya menjadi korban atau malah pelaku pelecehan hingga perundungan ketika diluar rumah, bahkan di sekolah. Tidak lagi memandang sekolah umum negeri, swasta elit, hingga sekolah berbasis agama.

Kasus kekerasan anak merupakan kerusakan tersistematis, memperbaiki pola asuh dalam kasus ini ibarat memperbaiki satu sudut retakan dari kerusakan diseluruh bangunan rumah. Kasus kekerasan anak merupakan efek domino dari penerapan sistem sekuler kapitalis dalam kehidupan kita sejak runtuhnya sistem Islam seratus satu tahun yang lalu. Sejak sistem rusak ini dijadikan sebagai asas untuk mengatur kehidupan, penggiringan generasi yang berpola pikir memisahkan agama dari kehidupan pun dimulai, agama hanya di ranah personal saja dan tempat ibadah, sedangkan di ranah publik bebas bertingkah laku seolah Tuhan tidak ada ditempat kerja, di pasar, jalanan dan tempat lainnya. Maka terbentuklah pola manusia yang rajin ibadah juga rajin maksiat, tampilan agamis di publik tapi dibalik tirai prilakunya ironis. 

Dalam sekuler kapitalis, materi dan kesenangan dunia menjadi tujuan hidup. Segalanya bisa dinego dan serba permisif, bebas berprilaku, bebas menganut kepercayaan, aliran sesat atau menjadi atheis, bebas mengakses tontonan apapun, bebas suka dan bergaul dengan lawan jenis atau sesama jenis. Tentu orang tua dan guru yang normal tidak bersikap permisif, tapi anaknya tidak selalu dalam radar pengawasan 24 jam dan apalagi kalau keduanya sibuk bekerja. Guru disekolah pun fokusnya terpecah oleh kesibukan tugas administratif dan kesejahteraan yang minimalis.

Intinya, generasi dalam naungan Sekuler digiring untuk lakukan apa saja yang membuat bahagia, entah dengan dalih tidak mengganggu orang lain atau atas nama hak asasi yang beda tipis dengan hawa nafsu. Halal haram tidak ada dalam kamus sekuler. Orang tua yang masih teracuni oleh sekulerisme, maka standar itu pula yang mendasari pengasuhan, baik buruknya berpegang pada moralitas, tradisi dan rasa malu yang kadang berstandar ganda. Sering dijumpai orang tua yang justru malu ketika anak remajanya tidak punya pacar, dan tidak malu ketika cara berpakaian anaknya mengumbar aurat dan berjoget di sosial media.

Maka tidak heran hari ini,  demi viral, demi traffic dan follower di sosial media yang semua ini ujungnya mencari uang. Orang dewasa hingga anak anak berlomba konten sampah mempertontonkan aib hingga maksiat seperti remaja memamerkan gaya pacaran dan pergaulan bebas, pesta miras, memamerkan perundungan, penyiksaan hewan, atau konten prank. Jangan heran juga, jika anak bisa berpacaran dengan pria dewasa dan melakukan persetubuhan dengan iming iming uang, selain faktor kurangnya kasih sayang dan pengawasan keluarga, juga karena standar kebahagian yang sudah terindra adalah bisa membeli apa saja, terlebih yang sedang tren dan barang mewah. Ditambah hukuman yang tidak adil dan tidak menjerakan dengan dalih masih dibawah umur dan penyelesaian secara damai kekeluargaan saja, kebanyakan juga harus viral dulu kasusnya agar diusut. Dan akhir hukumannya bergantung pada status sosial dan pengaruh antara keluarga pelaku dan korban. Sehingga, dengan hukuman ecek ecek para pelaku cenderung mengulang kejahatan yang sama bahkan meng-upgrade-nya.

Tidak ada solusi hakiki dalam memutus rantai lingkaran kekerasan anak dan kejahatan lainnya, selain dengan kembali pada fitrah, yaitu kembali pada aturan Allah, aturan Islam dapat diterapkan pada semua baik muslim maupun bukan, selain aturan ibadah ritual seperti sholat. Dan hal ini sudah terjadi dalam masa kepemimpinan Islam selama 14 abad, yang disebut Khilafah Islamiyah. Dalam masa ini, generasi cemerlang tercetak baik secara aqidah maupun secara keilmuan sains, seni, dan sosial.

Ada 3 pilar untuk menjaga generasi dari kekerasan, baik mencegah jadi pelaku maupun korban. Pilar pertama yaitu ketakwaan individu, menanamkan aqidah Islamiyah pada setiap muslim sejak bayi bahkan dalam kandungan hingga menjadi calon orang tua, takwa mengarahkan tujuan hidup mencari ridho Allah. Maka, standar berpikir dan berprilakunya tentu halal haram. Ditanamkan bahwa akan ada pertanggung jawaban dan pembalasan dari setiap perbuatan, dan akhirat menjadi tempat kembali yang kekal. Jadi, tidak akan terjadi ‘dwifungsi’ muslim terlihat ahli ibadah juga ahli maksiat apalagi sampai mencabuli anak, karena telah paham ancaman neraka nyata, dan ketika individu bertakwa pada Allah, maka pemenuhan naluri, niat ibadah dan prilaku akan disesuaikan dengan syariat Islam, ini saja sudah menghindarkan dari prilaku menyimpang. Ketakwaan inilah yang menjadi dasar dalam pengasuhan keluarga dan Pendidikan di sekolah. Sehingga pengasuhan dirumah dan pendidikan disekolah satu frekuensi.

Pilar kedua berupa kontrol masyarakat, ketakwaan individu akan membentuk masyarakat yang ber-amal ma’ruf nahi munkar. Semua sadar bahwa mencegah kemungkaran adalah kewajiban dan perintah Allah. Jangankan berbuat, yang berniat melakukan kemaksiatan ditengah publik tidak akan berani. Masyarakat akan siap mengawasi, mencegah dan melaporkan apapun bentuk penyimpangan. Tidak ada pembiaran dengan dalih ‘asal tidak mengganggu’ atau takut dituntut balik atas pencemaran nama baik seperti saat ini.

Ketiga, pilar yang krusial adalah negara. Tidak hanya berperan dalam penegakan hukum pada pelaku. Namun, sebelum itu, peran negara yang utama yaitu melakukan pencegahan, dengan menjamin ketakwaan dan ketaatan tiap individu lewat aktivitas pembinaan, juga memberikan sanksi bagi yang meninggalkan sholat. Menjamin sistem pendidikan disekolah juga memupuk ketakwaan, memblokir tayangan yang tidak mendidik, menyibukkan para siswa dengan berbagai ilmu yang bermanfaat, sehingga tidak ada kesempatan untuk meniru tren apalagi berpikir dan berbuat hal negatif. Mengembalikan fungsi guru sebagai pendidik yang mulia dan sejahtera. Menjamin perekonomian aman, memudahkan para Ayah untuk bekerja mencari nafkah, sehingga para Ibu yang tugas krusial dan mulianya mendidik anak, tidak terjebak dalam dilema untuk bekerja di luar rumah membantu nafkahi keluarga. Selain mempermudah jalan mencari nafkah Negara wajib mempermudah jangkauan bahan pokok, bahan bakar, pendidikan dan layanan kesehatan. Jika suami meninggal, maka tugas menafkahi Ibu dan anak anaknya jatuh pada wali yang ada, bisa Ayah, Kakak atau adik laki laki, dan Paman. Jika tidak ada juga, maka keberlangsungan nafkah perempuan dan anak otomatis menjadi tugas wajib negara, bukan diberi bansos apalagi disuruh bekerja mencari penghasilan sendiri.

Ketika usaha pencegahan oleh negara dari membentuk takwa tiap individu, menjaga sistem pendidikan, kontrol masyarakat hingga kesejahteraan seluruh keluarga baik muslim maupun non muslim sudah dilakukan. Dan masih juga ada pelaku kejahatan dan kekerasan anak, maka sanksi hukum yang tegas dan menjerakan pasti dijatuhkan. Tidak ada istilah dibawah umur, selama si pelaku sudah baligh (mengalami pubertas), maka pengadilan dan hukuman akan dijalankan sesuai syariat Islam, misal dirajam jika terbukti si remaja berzinah atau melakukan perkosaan, atau Qisas jika korbannya tewas. Dilakukan diruang publik, semua menjadi saksi, seluruh keluarga pelaku akan diumumkan di publik, agar ada tanggung jawab dan rasa malu, bukan malah meminta keringan hukuman apalagi nego dengan penegak hukum seperti saat ini. Dengan demikian tidak ada residivis, masyarakat yang menyaksikan proses penegakan hukum pun akan berpikir ratusan kali untuk meniru apalagi beraksi melakukan kekerasan anak.

Maka jelas kasus kekerasan anak merupakan hasil dari sistem busuk yang diterapkan saat ini, jika serius ingin memberantasnya maka perlu solusi yang sistemik pula. Sosialisasi tentang pengasuhan keluarga mungkin bisa menambah pengetahuan yang positif bagi sekelompok masyarakat, tapi tentu tidak cukup kuat untuk menjadi solusi secara menyeluruh hingga ke akarnya. Wallahu alam bisawab. 

Oleh : Ana Fitriani

Terkini