Share ke media
Opini Publik

Kesehatan Gratis, Mungkinkah?

14 Jul 2025 04:02:153 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : riau1.com - Pemeriksaan Kesehatan Gratis Siswa di Riau Dimulai Besok - 13 Juli 2025

Samarinda - Beberapa waktu terakhir beredar berita terkait program Gratispol yang diluncurkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Pasalnya warga kaltim kini tak perlu lagi membayar saat ingin berobat bahkan sampai sembuh, cukup hanya dengan berbekal KTP saja. Dengan syarat KTP tersebut haruslah berdomisili Kaltim. Program ini dijelaskan secara langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kaltim, dr. Jaya Mualimin, Sabtu (Tribunkaltim, 21/6/2025).

“Kami memastikan warga Kaltim bisa mengakses pelayanan kesehatan secara gratis di puskesmas, rumah sakit, maupun klinik-klinik yang bermitra dengan BPJS Kesehatan,” kata dr. Jaya.

“Tanpa syarat minimal KTP tiga tahun. Cukup tunjukkan KTP Kaltim, kami bayarkan preminya,” lanjut dr. Jaya.

Program ini pun telah diperkuat dengan penandatanganan MoU bersama BPJS Kesehatan yang telah dilakukan pada 17 April 2025 lalu.

Sebagai komitmen, Pemprov Kaltim juga telah meningkatkan alokasi dana iuran BPJS dari Rp71 miliar menjadi Rp160 miliar pada tahun anggaran 2025. Bahkan telah disiapkan dana tambahan Rp25 miliar yang khusus dialokasikan untuk lima rumah sakit provinsi. Tujuannya agar tetap bisa merawat pasien meski belum terdaftar di BPJS.

Program Gratis

Berbagai program gratis telah banyak dibuat oleh pemerintah, namun banyak rakyat yang menyangsikan apakah ini akan berjalan sesuai dengan yang disampaikan oleh pemerintah atau hanya gimmick saja? Rakyat bukan tidak ingin gratis. Hanya saja, program pemerintah ini terkesan setengah matang dan tercium aroma “pencitraan”.

Mengapa dikatakan demikian, sebab : pertama, program tersebut tidak menyentuh akar permasalahan kesehatan di Indonesia. Siapa pun yang menelaah pasti akan menemukan bahwa persoalan utama sektor kesehatan adalah ketidakmerataan akses terhadap layanan kesehatan. Ketidakmerataan ini disebabkan oleh ketakadilan sosial dan ekonomi, kondisi geografis, dan keterbatasan tenaga medis.

Misalnya, ketersediaan  dan distribusi dokter. Merujuk pada data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2022 terbitan kemenkes, jumlah dokter di Indonesia yang bekerja di faskes milik pemerintah mulai dari puskesmas hingga rumah sakit per 2022 adalah 176.110 dokter. Sedangkan menurut WHO, idealnya perbandingan dokter dengan penduduk adalah 1:1.000. Jika jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa, seharusnya jumlah dokter sebanyak 270.000. Artinya, ketersediaan dokter amat kurang.

Dari sisi distribusi lebih parah lagi, karena diatribusi dokter lebih banyak terdapat di pulau jawa dan bali sekitar 70%. Sedangkan dari 10.416 jumlah puskesmas yang ada, sebagian besar berada di pulau jawa. Sedangkan daerah di luar Pulau Jawa, utamanya daerah-daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) semakin kesulitan dalam hal akses nakes dan faskes.

Kedua, persoalan kesenjangan faskes dan nakes ini menurut pemerintah lantaran minimnya anggaran. Pemerintah masih belum bisa menjamin kesejahteraan para nakes di pelosok sehingga para nakes pun enggan jika ditugaskan di pelosok, ditambah fasilitas yang minim dan juga sarana prasarana seperti jalan yang rusak dan ketersediaan listrik maupun koneksi jaringan menjadi faktor sulitnya penanganan kesehatan. Oleh karena itu, program ini terkesan tidak realistis dalam banyak aspek seperti ketersediaan faskes hingga ke pelosok, kemudahan rakyat dalam mengakses faskes, kecukupan anggaran, hingga prosedur yang rumit.

Ketiga, pemprov mengeklaim telah menyiapkan dana yang besar untuk program ini, tetapi melihat tingginya angka korupsi, tentu program ini sangat berpotensi bocor dan hanya menjadi program “seadanya” saja. Program ini malah lebih terlihat sebagai program pendongkrak citra pemerintah untuk memenuhi janji-janji kampanye, meski terlihat dipaksakan.

Demokrasi Kapitalistik

Munculnya program gratispol untuk kesehatan yang setengah matang dan kental akan pencitraan tidak bisa dilepaskan dari paradigma pemerintahan demokrasi kapitalistik, yaitu sistem pemerintahan yang menggabungkan prinsip-prinsip demokrasi dengan ekonomi kapitalistik. Sistem ini telah melahirkan penguasa-penguasa yang abai pada nasib rakya. Mereka bekerja demi kepentingan segelintir elite. Negara hanya sebagai fasilitator dan regulator sementara seluruh urusan umat diserahkan pada swasta.

Pihak swasta mana yang lantas mau mengambil risiko membangun RS di daerah sepi terpencil. Secara perhitungan tidak akan menguntungkan. Sebaliknya, mereka tentu memilih membangun RS di kota-kota besar yang padat penduduk dengan fasilitas dan nakes terbaik. Ujung-ujungnya hanya bisa orang-orang kaya, sulit untuk diakses kalangan kurang mampu dan tinggal jauh dari perkotaan. Peserta BPJS memang dilayani, hanya saja terbatas dan kualitas layanannya “berbeda”. Kebijakan populis semacam ini makin menegaskan abainya pemerintah pada nasib rakyat. 

Negara Menjamin Kesehatan Rakyat

Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan primer yang wajib didapatkan dan bisa diakses dengan mudah. Pernah datang seorang Arab lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kami harus berobat?” Rasulullah saw. bersabda, “Ya. Sungguh Allah Swt. tidak menurunkan penyakit, kecuali Dia juga menurunkan obatnya. Allah memberitahukan obat kepada orang yang tahu dan tidak memberitahukan obat itu kepada orang yang tidak tahu.” (HR Ahmad dari jalur Usamah bin Syarik).

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah mengatakan dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur, “Negara menyediakan seluruh pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat secara cuma-cuma. Namun, negara tidak melarang rakyat untuk menyewa dokter, termasuk menjual obat-obatan.”

Karena itu, negara akan memberikan semua fasilitas kesehatan secara gratis tanpa memandang status sosial ekonomi rakyatnya, maupun letak geografisnya. Selama itu adalah warga negaranya maka semua akan mendapatkan hak yang sama. 

Penguasa dalam Islam mampu menjamin kebutuhan pokok seluruh warga. Salah satunya karena ditunjang oleh kekuatan baitulmal (kas negara) yang memiliki sumber pemasukan sangat besar sehingga mampu memenuhi seluruh kebutuhan rakyat termasuk dalam hal kesehatan. Misal, negara akan memastikan air bersih bisa diakses dengan mudah oleh seluruh warga. Negara juga akan menjamin sanitasi yang layak di rumah-rumah warga. Dengan demikian rakyat memiliki kualitas hidup yang baik dan kesehatan yang prima.

Baitulmal memiliki pemasukan yang berlimpah, salah satunya dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Aturan kepemilikan dalam Islam memang mengharamkan pihak swasta untuk memiliki maupun mengelola SDA milik umat. Pengelolaannharus dilakukan oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada umat dalam bentuk zatnya atau kemaslahatan lain, seperti pembangunan rumah sakit dan memberi insentif para nakes.

Penguasa dalam Islam harus fokus melayani kebutuhan umat. Penguasa wajib menyediakan layanan kesehatan yang mudah diakses, cepat, dan profesional di wilayah kota maupun yang jauh dari kota. Pemeriksaan kesehatan gratis disediakan di berbagai titik secara kontinyu. Dengan begitu akan terwujud lingkungan yang sehat secara berkelanjutan di tengah umat.

Demikianlah idealnya jaminan institusi Islam dalam hal kesehatan. Sistem pemerintahan yang berlandas akidah Islam akan melahirkan penguasa yang bervisi dalam pengurusan ummat. Walhasil, kebijakan yang ditetapkan juga murni untuk kepentingan umat. Baitulmal yang kuat akan menunjang terwujudnya fasilitas kesehatan terbaik untuk umat. Wallahualam bissawab.

Oleh : Almukarromah, S.Kom