Samarinda - Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalimantan Timur mengeluarkan surat edaran bernomor 000.8.3/21748/Disdikbud-XI/2025 yang mewajibkan seluruh pelajar SMA/SMK melaksanakan shalat Subuh berjamaah setiap Jumat di masjid atau di lingkungan sekolah. Kebijakan ini disebut sebagai upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan, sekaligus menindaklanjuti instruksi Gubernur Kaltim terkait gerakan Shalat Subuh berjamaah.
Namun, kebijakan ini menimbulkan reaksi beragam. Ada yang mendukung karena menilai hal itu dapat membiasakan generasi mendekat pada masjid, tetapi ada pula yang mengkritisi karena dinilai tidak mempertimbangkan aspek keamanan. Banyak masjid di waktu Subuh masih sepi dan belum memiliki fasilitas keamanan memadai. Bagi pelajar perempuan, perjalanan sebelum fajar menimbulkan risiko tersendiri. Ini bukan kekhawatiran berlebihan, sebab kasus kriminalitas dini hari seperti jambret atau pelecehan pernah terjadi di beberapa kota. Maka, wajar jika orang tua merasa was-was melepas anak perempuannya berangkat sebelum fajar.
Di sisi lain, beberapa aktivis pendidikan menilai, ketakwaan tidak cukup dibangun dengan rutinitas ritual tanpa pembinaan akidah dan akhlak secara menyeluruh.
Takwa tidak sebatas ibadah ritual
Sebagian masyarakat menilai kebijakan ini bisa jadi hanya bersifat seremonial. Ada pula yang berpendapat, seharusnya sekolah lebih fokus memperbaiki kualitas pendidikan agama di kelas, membangun lingkungan islami yang menyeluruh, dan melibatkan keluarga. Program Subuh berjamaah tanpa pembinaan lanjutan dikhawatirkan akan menjadi formalitas belaka. Padahal, remaja juga menghadapi problem moral, degradasi akhlak, pergaulan bebas, hingga krisis identitas. Contoh kasus: meningkatnya angka kenakalan remaja, bullying di sekolah, dan keterlibatan pelajar dalam penyalahgunaan narkoba. Semua itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan program Subuh berjamaah mingguan, karena akar masalahnya ada pada sistem nilai sekuler yang masih dominan dalam kehidupan.
Jika takwa hanya diukur dari hadirnya siswa di masjid pada Jumat Subuh, maka makna takwa menjadi sempit. Padahal, ketakwaan adalah hasil integrasi antara iman, pemahaman syariat, dan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Tanpa ini, ibadah hanya menjadi simbol, bukan solusi.
Definisi takwa yang hakiki
Islam mendefinisikan takwa sebagai sikap menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik dalam ibadah individu, akhlak, maupun dalam sistem sosial dan politik. Dengan begitu, ibadah menjadi pintu kebangkitan umat menuju rahmat Allah yang sesungguhnya. Shalat Subuh berjamaah memang ibadah yang sangat mulia; Rasulullah ﷺ bahkan menyebutnya sebagai pembeda antara mukmin dan munafik. Namun, keistimewaannya tidak boleh direduksi hanya pada aspek ritual.
Sejarah menunjukkan, shalat Subuh berjamaah adalah sumber kekuatan umat. Sebelum berperang, para sahabat Nabi memulainya dengan shalat Subuh berjamaah. Dari sana mereka mendapatkan ruh kekuatan, bukan hanya sebagai individu yang taat, tetapi sebagai komunitas yang siap mengatur kehidupan sesuai Islam.
Momentum Maulid Nabi pun seharusnya menjadi pengingat bahwa cinta Rasul bukan hanya ditunjukkan dengan shalat berjamaah, melainkan dengan meneladani beliau dalam seluruh aspek kehidupan—dari akidah, akhlak, hingga kepemimpinan umat, baik individu, keluarga, maupun masyarakat.
Penutup
Gerakan Subuh berjamaah bisa menjadi awal yang baik, tapi belum cukup. Ia perlu ditopang dengan pembinaan akidah, pendidikan Islam menyeluruh, jaminan keamanan, serta perubahan sistem yang membentuk generasi bertakwa secara hakiki. Tanpa itu semua, Subuh berjamaah hanya akan menjadi rutinitas simbolik—sementara problem remaja tetap tak terselesaikan. Wallahu’alam
Oleh : Jubaidah Alie
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru