Share ke media
Opini Publik

Korupsi Makin Menggejala, Islam kaffah solusinya

15 Sep 2025 02:00:284 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : rmol.id - Sama-sama Menistakan Agama, Korupsi Juga Tak Bisa Ditolerir - 2 Desember 2016

Samarinda - Kasus demi kasus korupsi terus terungkap setiap kali membuka berita, korupsi seolah telah menjadi “budaya”  di Indonesia. Kali ini kaltim ikut andil menyuguhkan berita korupsi terkait dugaan Suap Izin Usaha Pertambangan (SIUP) yang dilakukan oleh pejabat dan mantan pejabat. Ada 3 nama yang disebutkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Pertama, Dayang Donna Faroek, Ketua Kadim Kaltim periode 2022-2027 sekaligus anak dari Awang Faroek Ishak. Kedua, Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim 2008-2018. Ketiga, Rudy Ong Chandra, bos tambang dari 6 perusahaan yang IUP-nya kini dipersoalkan. Khusus tersangka ketiga, yakni Awang Faroek Ishak pada Desember 2024, KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) setelah mantan Gubernur Kaltim ini meninggal dunia pada Minggu (22/12/2024) lalu. ( https://kaltim.tribunnews.com/tribun-etam/1116078/tak-hanya-donna-faroek-dan-rudy-ong-dalam-korupsi-izin-iup-tambang-eks-kadistamben-kaltim-terseret)

Korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan bukanlah kabar baru yang kita dengar. Banyak sekali daftar nama para pejabat terjerat kasus korupsi di negara ini. Diantaranya Ganjar Pranowo (mantan gubernur Jawa Tengah), Syahrul Yasin Limpo (mantan Menteri Pertanian), Basuki Tjahaja Purnama (mantan Gubernur DKI Jakarta), dan masih banyak lagi.

Dengan melihat fakta tersebut, tak heran banyak rakyat yang apatis dengan sistem saat ini, rasanya mau siapapun pemimpinnya kalau sudah merasakan kursi jabatan ya akan lupa dengan aturan. Menjadi pejabat seolah itu adalah “sarana” untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa peduli benar-salah.

Ini merupakan potret negara dengan paradigma sekuler kapitalis. Negara gagal mengurus rakyat dan memberikan solusi atas seluruh problem kehidupan. Maraknya kasus korupsi semakin membuktikan bahwa sistem sekuler kapitalistik sama sekali tidak bisa diharapkan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.

Kondisi ini juga tentunya menjadi sinyal bahwa politik demokrasi telah gagal memberantas korupsi. Bukannya kasus menurun malah makin meningkat setiap tahunnya. Politik transaksional tumbuh subur di sistem demokrasi. Para pejabat dan pemilik modal menjadikan kekuasaan sebagai alat transaksi demi memuluskan kepentingan mereka. Akibatnya, korupsi membudaya di semua tingkatan dan ranah kehidupan masyarakat. Mulai dari pusat hingga ke desa-desa. Mulai pejabat tinggi, hingga rakyat jelata.

Demokrasi kapitalisme juga menjadikan penegakan hukum bisa dibeli. Suap-menyuap saat pengusutan kasus korupsi menjadi hal biasa. Penegak hukum pun bisa disuap agar pelaku bebas atau mendapatkan hukuman ringan. Kalaupun diputuskan bersalah, penjara koruptor bisa diatur sedemikian rupa agar tetap mewah, berfasilitas memadai, dan tak lupa pengurangan hukuman bagi koruptor tersebut.

Budaya korupsi di negara sudah terlalu parah. Kita tak bisa lagi berharap demokrasi kapitalisme mampu memberantas tuntas korupsi. Akar masalahnya justru sistem ini yang terus menerus mencetak pejabat-pejabat korup yang lemah iman, tak takut pada Allah dan ancaman siksa neraka atas perbuatan haramnya memakan harta milik umat.

Bagaimana Islam Memberikan Solusi?

Islam dengan kapitalisme sangat bertolak belakang dalam mengatur kehidupan, termasuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Paradigma kepemimpinan Islam dibangun berasaskan akidah (keimanan), menjadikan kehidupan berjalan sesuai dengan tuntunan syariat Islam.

Individu beriman dalam Islam mempunyai dorongan untuk taat pada syariat sebagai bukti keimanannya kepada Allah SWT. Ia akan berupaya amanah terhadap jabatan dan apapun tugas yang ia emban, tidak berani berkhianat terhadap harta yang berada di bawah wewenangnya.

Inilah indahnya sistem Islam mewujudkan masyarakat yang taat pada syariat dan senantiasa saling mengingatkan dalam kebaikan dan takwa. Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 2,

“Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.”

Satu lagi hal penting terkait penindakan kasus korupsi, yaitu sanksi. Sanksi Islam terhadap kasus korupsi tidaklah main-main. Sanksinya berupa takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim sesuai dengan berat ringannya kejahatan (Syekh Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89). Bentuk sanksinya adalah berupa teguran lisan dan tertulis, penjara, cambuk, pengasingan, hingga yang paling berat yaitu hukuman mati.

Tidak ada tawar menawar dalam hukum persanksian Islam. Karena semua dilakukan berdasarkan ketaatan kepada Allah SWT. Asas peradilan Islam adalah akidah Islam. Hakim-hakimnya dipilih dari kalangan orang yang bertakwa dan fakih beragama. Pelaksanaan peradilan kasus korupsi dilakukan oleh Qadi (hakim) mazalim yang memiliki tugas menghilangkan kezaliman aparat negara.

Setelah keluar keputusan Qadi, sanksi akan segera dilaksanakan tegas oleh syurthah (kepolisian). Tidak ada negosiasi semacam pengurangan masa hukuman, sel mewah dan berfasilitas, maupun sejenisnya. Bahkan, tidak ada banding/kasasi. Hukuman akan langsung dijalankan setelah keputusan Qadi ditetapkan.

Penerapan aturan Islam secara kaffah terbukti berhasil menciptakan kondisi politik dan ekonomi yang bersih dari korupsi serta mewujudkan kesejahteraan di tengah masyarakat. Termasuk mencegah korupsi dan penyimpangan jabatan. Hasilnya, masyarakat hidup dalam level kesejahteraan tanpa tandingan ketika Islam diterapkan secara Kaffah dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh : Almukarromah, S.Kom

 

 

 

 

 

 

Terkini