Share ke media
Opini Publik

Lagi,Negara Lalai Menjamin Keamanan Pangan!

08 Nov 2024 03:07:1489 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : kompas.id - Penguatan Sistem Keamanan Pangan - 10 Juni 2023

Samarinda - Beberapa waktu lalu tersebar berita terkait adanya Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan (KLB-KP) di beberapa wilayah di Indonesia. Keracunan pangan tersebut di alami oleh anak-anak yang mengonsumsi latiao, produk impor China. Makanan yang memang sedang digandrungi oleh anak-anak dan remaja ternyata menimbulkan keracunan masal. Beberapa wilayah yang melaporkan adanya KLB-KP yaitu Lampung, Sukabumi, Tangerang Selatan, Wonosobo, Bandung Barat, Pamekasan, dan Riau.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar mengatakan bahwa pihaknya menerima laporan keracunan pangan dan langsung bergerak cepat dengan pihak terkait di masing-masing wilayah untuk pengecekan laboratorium terhadap sampel pengen tersebut. Hasilnya adalah ditemukan indikasi kontaminasi bakteri Bacillus cereus pada produk pangan latio. Selanjutnya pihak BPOM mengambil tindakan untuk menarik semua produk latio dari peredaran untuk memutus mata rantai keracunan pangan tersebut.

Sesungguhnya kasus keracunan makanan akibat produk latiao yang memicu kejadian luar biasa ini mengingatkan kita pada kasus serupa. Pada tahun 2022, dimana kasus gagal ginjal akut diduga kuat terjadi akibat obat sirop yang mengandung cemaran zat kimia di luar ambang batas aman, yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). 

Hingga Februari 2023, terdapat 326 kasus gagal ginjal akut yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Dari jumlah itu, 204 anak meninggal, sisanya sembuh. Bareskrim Polri melakukan penyelidikan untuk mendalami pihak terkait yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Ada sejumlah perusahaan produsen obat sirop yang diselidiki terkait kasus tersebut, yaitu PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Yarindo Farmatama. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sudah menarik puluhan obat sirop dari tiga perusahaan itu.

Namun amat sangat tak bertanggungjawab, pada saat itu pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, Kemendag, serta BPOM saling melempar tanggung jawab dalam merespon kasus ini. Menurut Kemenkes, pengawasan bahan obat-obatan bukan berada di kementeriannya, melainkan di BPOM. Ia juga menegaskan bahwa permasalahan dugaan penipuan pasokan bahan baku obat bukan merupakan wewenang Kemenkes.

Sementara itu, Ketua BPOM kala itu, Penny K. Lukito menyatakan, terkait pengawasan BPOM tidak bertanggung jawab atas penggunaan senyawa kimia EG dan DEG yang ternyata digunakan sebagai bahan baku pelarut obat sirop oleh beberapa pelaku industri farmasi. Ia mengatakan, adanya bahan baku oplosan tersebut adalah perbuatan ilegal di luar pengawasan BPOM.

Adapun Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, tidak mengatur pembatasan impor senyawa propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG). Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan saat itu mengatakan bahwa PG dan PEG tidak diatur regulasi impornya alias bebas impor sehingga importasinya tidak melalui Kemendag.

Kasus ini semestinya menjadi tamparan keras bagi lembaga negara terkait, seperti BPOM, kementrian kesehatan, kementrian perdagangan, dan kementrian perindustrian. Lembagai-lembaga ini seharusnya melakukan evaluasi dan penyelidikan yang ketat dan menyeluruh dalam menjamin keamanan obat dan pangan kepada masyarakat, bukan malah saling lempar tanggung jawab. 

Mirisnya, daeu dua kasus kejadian luar biasa ini, negara belum juga berbenah. Sedangkan para korban tak mendapat pertanggungjawaban yang adil dari pemerintah. Negara seharusnya belajar daei kelalaiannya pada kasus-kasus KLB sebelumnya. Karena salah satu tugas negara adalah menjamjn keamanan dan khalitas produk obat dan pangan yang beredar. 

Namun, dalam sistem Kapitalisme sekuler, tanggungjawab seolah hilang tak bersisa. Peran negara hari ini abai, hanya menjadi regulator bukan pelayan rakyat.  Sejauh ini jika ada kelalaian oleh negara, para pejabat terkesan lepas tanggungjawab.

Dalam kasus latiao misalnya, negara memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan dan kontrol uji kelayakan, mulai dari bahan yangbdiimpor, produksinya, komposisinya, dan distribusinya. Meskipun pihak yang memproduksi adalah industri swasta atau individu, negara tetap harus melakukan pengawasan demi menjamin kesehatan masyarakat. Jika tidak dilakukan, inilah kelalaian dan lepas tangan dari tanggungjawab.

Dalam Islam, setiap pemimpin adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas apa yang diurusnya. Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya….. (HR. Bukhari)

Negara, dalam hal ini penguasa, memiliki kewajiban dalam menjamin keamanan pangan yang dikonsumsi masyarakat. Negara akan menetapkan kebijakan keamanan pangan dengan mekanisme berikut:

Pertama, mengatur regulasi untuk industri makanan dan minuman agar sesuai ketentuan pangan halal, baik (tayib), dan aman yakni tidak mengandung bahan-bahan berbahaya, dan tidak memicu munculnya penyakit seperti kanker, diabetes, dan jantung.

Kedua, melakukan pengawasan dengan peran al-hisbah, yakni lembaga negara yang melakukan pengawasan dan pengontrolan pangan dalam rangka mencegah pelaku industri berlaku curang, menipu, mengurangi timbangan, serta memastikan kualitas produk obat dan pangan tetap layak dan aman dikonsumsi.

Ketiga, melakukan edukasi secara holistik melalui lembaga layanan kesehatan, media massa, dan berbagai tayangan edukatif menarik sehingga masyarakat memahami kriteria makanan halal, tayib, dan aman dikonsumsi.

Keempat, menindak tegas pelaku industri dan siapa saja yang menyalahi ketentuan peredaran obat dan pangan yang sesuai standar pangan Islam.

Dengan cara inilah negara mampu melakukan pencegahan dan penanganan dalam menjamin setiap produk obat dan pangan yang halal, baik, dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Hanya dengan Islamlah hal semacam ini akan terurusi dengan baik. Keimanan dan ketakwaan para pejabatnya akan mendorong mereka untuk bertanggungjawab dan amanah terhadap tugas yang diembannya. Maka sudah saatnya kita kembali menjadikan islam kaffah sebagai aturan hidup, bukan yang lain.

Oleh : Almukarromah, S.Kom