Kita kembali dibuat resah dengan beberapa kabar pelecehan anak sekolah di Samarinda oleh sosok yang seharusnya menjaga dan menjadi panutan. Di awal bulan Juni, Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) menemukan dugaan pelecehan seksual oleh seorang oknum guru terhadap siswi SMP Negeri di Samarinda. Menanggapi informasi yang menyebut hubungan antara korban dan pelaku sebagai hubungan suka sama suka, Sudirman (Kepala Biro Hukum TRC PPA) menegaskan, cara pelaku mendekati korban dengan bujuk rayu adalah pola klasik dalam banyak kasus serupa. (Redaksi8, 6 Juni 2025)
Kasus semacam ini merupakan bentuk Child Grooming, si pelaku akan berdalih tidak ada paksaan, atau atas dasar suka sama suka. Child grooming adalah tindakan di mana seseorang, biasanya orang dewasa, secara sengaja berupaya membangun hubungan kepercayaan dengan seorang anak untuk tujuan pelecehan seksual atau eksploitasi lainnya. Proses ini bisa terjadi secara bertahap dan sering kali dilakukan dalam jangka waktu lama. Pelaku grooming tidak hanya membangun relasi dengan anak, tetapi juga sering kali berusaha mendapatkan kepercayaan dari keluarga anak tersebut (Fakultas Hukum Umsu. 27 September 2024) Pelakunya bisa dari orang terdekat, seperti tetangga, guru, pelatih, atau pun orang yang baru dikenal lewat sosial media. Belum juga tuntas kasus ini, masih dibulan yang sama, kita kembali diguncangkan dengan kasus pelecehan baru.
Pada Jumat dini hari, 13 Juni 2025. Enam orang alumni sekolah dipanggil oleh oknum pembina pramuka untuk hadir di sekolah sekitar pukul 02.00 Wita, dengan alasan membantu mempersiapkan kegiatan kepramukaan. Dari enam orang yang hadir, empat di antaranya adalah perempuan dan menjadi target dari aksi tidak senonoh tersebut. Menurut keterangan Ketua Tim TRC PPA Kalimantan Timur, Rina Zainun, dugaan pelecehan berlangsung dalam suasana yang dibuat mistis oleh pelaku. Para korban dikumpulkan di sebuah musholla sekolah, lalu diarahkan untuk melakukan semacam meditasi atau hipnotis, dengan dalih membersihkan diri dari energi negatif dan menghindari kerasukan makhluk halus karena telah memasak di waktu yang dianggap ‘pantang’. (Kaltimetam.id. 25 Juni 2025)
Miris, sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman kedua setelah rumah malah menjadi tempat yang juga tidak luput dari predator seksual. Padahal berbagai program pembinaan, edukasi, sosialisasi tentang apa saja bentuk dan pencegahan pelecehan seksual telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah dari pusat hingga dilapisan RT. Di sosial media pun, para influencer ikut mengkampanyekan kesadaran tentang bahaya pelecehan seksual dan ancaman bagi pelakunya. Satgas pun dibentuk khusus untuk mengawasi, mendampingi korban dan menangani kasus. Tapi, tetap saja kasus pelecehan pada anak dan remaja semakin bertambah dengan gebrakan dari latar belakang si pelaku dan tempat kejadian perkaranya.
Kasus pelecehan pada anak dan remaja merupakan kerusakan tersistematis, efek domino dari penerapan sistem sekuler kapitalis dalam kehidupan kita sejak runtuhnya sistem Islam seratus satu tahun yang lalu. Sejak sistem rusak ini dijadikan sebagai asas untuk mengatur kehidupan, penggiringan generasi yang berpola pikir memisahkan agama dari kehidupan pun dimulai, agama hanya di ranah personal saja dan tempat ibadah, sedangkan di ranah publik bebas bertingkah laku seolah Tuhan tidak ada ditempat kerja, di pasar, jalanan dan tempat lainnya. Maka terbentuklah pola manusia yang rajin ibadah juga rajin maksiat, tampilan agamis di publik tapi dibalik tirai prilakunya ironis. Bahkan tidak malu menggunakan tempat ibadah untuk menjalankan kebejatannya, seperti yang dilakukan oleh pembina pramuka tadi.
Biang Kerok dari keruskan yang terjadi di masyarakat adalah sistem sekuler kapitalis yg kita anut termasuk juga di gunakan oleh negara kita, di mana dalam sisten sekuler kapitalis, tujuan hidup dan kebahagian ditakar dengan kebebasan berprilaku dan materi. Kita digiring untuk serba permisif, bebas berpendapat dan melakukan apa yang kita suka. Ingin menjadi atheis, boleh!, bebas mengakses hingga meniru tontonan apapun, bebas menyalurkan naluri rasa suka pada lawan jenis atau sesama jenis pun, layaknya binatang. Entah dengan dalih tidak mengganggu orang lain atau dalih hak asasi yang beda tipis dengan hawa nafsu atau suka sama suka seperti oknum guru yang mengaku berpacaran dengan muridnya tanpa ada paksaan. Halal haram tidak ada dalam kamus sekuler. Orang tua yang masih teracuni oleh sekulerisme, maka standar itu pula yang mendasari pengasuhan, baik buruknya hanya berpegang pada moralitas, tradisi dan rasa malu yang lebih sering kabur dan berstandar ganda. Belum lagi hukum dalam sistem busuk hari ini tidak membuat jera, seolah bisa diatur tergantung siapa ‘backing’-an nya. Tidak heran beberapa kasus harus diviralkan dulu baru ada proses keadilan. Belum lagi solusi nyeleneh yang ketika menangkap basah pasangan yang berzinah, berapa pun jarak umurnya hingga yang berupa kasus child grooming, lebih sering solusinya dinikahkan daripada membawa kasus pelecehan ke ranah hukum. Jika jerat hukum saja tidak lagi mengancam atau mencegah pelaku baru, maka yang berupa pembinaan, edukasi, sosialisasi hanya akan menjadi pengetahuan saja.
Solusi hakiki dalam memutus rantai lingkaran pelecehan pada anak, remaja hingga dewasa hanyalah dengan kembali pada aturan Allah. Aturan Islam dapat diterapkan pada semua baik muslim maupun bukan, selain aturan ibadah ritual seperti sholat. Dan hal ini sudah terjadi dalam masa kepemimpinan Islam selama 14 abad, yang disebut Khilafah Islamiyah. Dalam masa ini, generasi cemerlang tercetak baik secara aqidah dan akhlak maupun secara keilmuan sains, seni, dan sosial.
Ada 3 pilar untuk menjaga generasi dari pelecehan atau kekerasan seksual, baik mencegah jadi pelaku maupun korban. Pilar pertama yaitu ketakwaan individu, menanamkan aqidah Islamiyah pada setiap muslim sejak bayi bahkan dalam kandungan hingga menjadi calon orang tua, takwa mengarahkan tujuan hidup mencari ridho Allah. Maka, standar berpikir dan berprilakunya tentu halal haram. Ditanamkan bahwa akan ada pertanggung jawaban dan pembalasan dari setiap perbuatan, dan akhirat menjadi tempat kembali yang kekal. Jadi, tidak akan terjadi ‘dwifungsi’ muslim terlihat ahli ibadah juga ahli maksiat apalagi sampai memacari hingga mencabuli anak didik, karena telah paham ancaman neraka nyata, dan ketika individu bertakwa pada Allah, maka pemenuhan naluri, niat ibadah dan prilaku akan disesuaikan dengan syariat Islam, ini saja sudah menghindarkan dari prilaku menyimpang. Ketakwaan inilah yang menjadi dasar dalam pengasuhan keluarga dan Pendidikan di sekolah. Sehingga pengasuhan dirumah dan pendidikan disekolah satu frekuensi.
Pilar kedua berupa kontrol masyarakat, ketakwaan individu akan membentuk masyarakat yang beramal ma’ruf nahi munkar. Mencegah kemungkaran adalah kewajiban dan perintah Allah. Jangankan berbuat, yang berniat melakukan kemaksiatan ditengah publik tidak akan berani. Masyarakat akan siap mengawasi, mencegah dan melaporkan apapun bentuk penyimpangan. Tidak ada pembiaran dengan dalih ‘asal tidak mengganggu’, ‘tidak ada paksaan, suka sama suka’, atau takut dituntut balik atas pencemaran nama baik seperti saat ini.
Ketiga, pilar yang krusial adalah negara. Tidak hanya berperan dalam penegakan hukum pada pelaku. Namun, sebelum itu, peran negara yang utama yaitu melakukan pencegahan, dengan menjamin ketakwaan dan ketaatan tiap individu lewat aktivitas pembinaan, juga memberikan sanksi ketika melalaikan hal dasar seperti meninggalkan sholat. Menjamin sistem pendidikan disekolah juga memupuk ketakwaan dengan menerapkan syariat islam dalam berinteraksi antara lawan jenis baik guru maupun murid, negara juga yang mampu memblokir tayangan yang dapat membangkitkan syahwat, lalu menyibukkan setiap individu dengan berbagai ilmu yang bermanfaat, sehingga tidak ada kesempatan berpikir dan berbuat hal negatif. Menjamin perekonomian aman, memudahkan para Ayah untuk bekerja mencari nafkah, sehingga para Ibu yang tugas krusial dan mulianya mendidik anak, tidak terjebak dalam dilema untuk bekerja di luar rumah membantu nafkahi keluarga. Ketika negara mampu menanamkan dan menjaga aqidah Islamiyah warganya, menjamin sistem pendidikan sesuai syariat lalu secara ekonomi rakyat mampu dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup, maka dengan sendirinya fungsi guru sebagai pendidik yang mulia, bermoral dan sejahtera pun kembali.
Ketika usaha pencegahan oleh negara sudah dilakukan. Dan masih juga ada pelaku kejahatan dan pelecehan, maka sanksi hukum yang tegas dan menjerakan pasti dijatuhkan. Pengadilan dan hukuman akan dijalankan sesuai syariat Islam, misal dirajam jika terbukti keduanya berzinah, tidak ada keringanan dengan dalih istilah ‘dibawah umur’ selama keduanya sudah baligh atau rajam bagi pelaku pelecehan hingga perkosaan, atau Qisas jika korbannya tewas. Dilakukan diruang publik, semua menjadi saksi, seluruh keluarga pelaku akan diumumkan di publik, agar ada tanggung jawab dan rasa malu, bukan malah meminta keringan hukuman apalagi nego dengan penegak hukum seperti saat ini. Dengan demikian tidak ada residivis, masyarakat yang menyaksikan proses penegakan hukum pun akan berpikir ratusan kali untuk meniru apalagi beraksi melakukan pelecehan pada siapa pun.
Maka jelas kasus pelecehan di lingkungan sekolah merupakan hasil dari sistem busuk yang diterapkan saat ini, jika serius ingin memberantasnya maka perlu solusi yang sistemik pula. Wallahu alam bisawab.
Oleh : Ana Fitriani
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru