Samarinda - Ketahanan pangan nasional merupakan perkara yang sangat krusial bagi suatu negara sebab pangan termasuk salah satu kebutuhan primer masyarakat. Pada akhir tahun 2022, berbagai sumber menyebutkan ancaman krisis pangan global semakin mengkhawatirkan, tak terkecuali di Indonesia. Maka untuk menghadapinya, pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya, mulai dari food estate, mendorong dan mempromosikan UMKM, hingga pembangunan green house.
Bulan November lalu, Pj Gubernur Kaltim mengajak organisasi masyarakat di Kaltim termasuk Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) Provinsi Kaltim untuk mengembangkan usaha green house, sebagai upaya membantu pemerintah mewujudkan ketahanan pangan (kaltimprov.go.id, 22/11/2023).
Sebelumnya di awal tahun 2023, Ketua DPD Iwapi Kaltim Ernawaty Gafar telah menyatakan komitmennya untuk membangun food court di IKN dengan tujuan mewadahi dan memberdayakan perempuan setempat di bidang usaha kuliner (kalimantan.bisnis.com, 31/01/2023).
Tampak sekali pemerintah kerap menekankan bahwa kontribusi perempuan dalam menjaga ketahanan pangan untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional amat besar. Namun, benarkah ini turut menjadi tanggung jawab perempuan?
Ketahanan Pangan Tanggung Jawab Negara, Bukan Perempuan
Mengacu pada UU Pangan no 18 Tahun 2012, disebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
Tentu kondisi ideal ini menjadi dambaan bagi seluruh rakyat di tengah mahalnya bahan kebutuhan pokok sehari-hari dan minimnya literasi tentang makanan bergizi seimbang. Apalagi krisis pangan ditengarai akibat rantai pasok impor pangan antarnegara terganggu pasca pandemi Covid-19 dan memanasnya perang Rusia-Ukraina. Sementara ketergantungan terhadap impor bahan baku pangan masih sangatlah tinggi.
Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris masih sangat bergantung pada pasar impor. Bahkan enam dari sembilan bahan pokoknya terpaksa harus dicukupi dari impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor beras selama Januari-Agustus 2023 mencapai 1,59 juta ton, mayoritas dipasok dari Thailand yakni sebesar 50,36% dari total impor beras (databoks.katadata.co.id, 18/09/2023). Ini baru soal beras, bagaimana dengan bawang, daging, gula, dan lain sebagainya?
Lebih lanjut, pemerintah kerap mendorong lahirnya berbagai inovasi berkelanjutan dengan cara mengolaborasikan bidang pertanian dan teknologi yang ramah lingkungan, terjangkau, serta berkualitas. Bukan hanya civitas akademika dari berbagai institusi pendidikan, di sinilah perempuan dianggap bisa turut andil dan mengambil peran strategisnya membantu pemerintah mengatasi masalah krisis ketahanan pangan.
Perempuan jelas boleh saja menyalurkan hobi dan keilmuannya dalam bertani dan berkebun. Namun jika aktivitas tersebut menyita perhatiannya sehingga ia lalai akan fitrah yang mulia dan utama sebagai ibu sekaligus manajer rumah tangga, maka ia akan berdosa. Ditambah lagi jika perempuan terjebak karena dimanfaatkan oleh keadaan akibat kesalahan kebijakan dan tata kelola negara, maka ini hanya akan semakin merapuhkan sendi-sendi utama keluarga dalam kehidupan yang sudah terganggu.
Melihat semua data dan fakta yang ada, dapat disimpulkan bahwa ini bukan persoalan teknis semata yang membutuhkan inovasi dan kontribusi dari seluruh elemen masyarakat. Melainkan ini merupakan persoalan sistemik akibat kebijakan neoliberal kapitalisme yang berpihak pada regulasi impor sehingga membuat produktivitas sektor pertanian, perindustrian, perdagangan, juga pengembangan teknologi dalam negeri terpukul mundur.
Sumber daya manusia negeri ini bukannya tidak mau bekerja, tapi mereka tidak dihargai dengan layak hasil kerjanya. Kekayaan alam dan keanekaragaman hayati di Indonesia juga bukannya tidak diekplorasi dan dikemas dengan baik, namun kerap kalah saing dengan derasnya keran pasar bebas dan arah pemanfaatan yang berbasis pariwisata. Seharusnya pemerintah merefleksi diri bukan hanya menuntut rakyat, melihat akar masalah dan bukan fokus pada akibat semata.
Islam Menjamin Ketahanan Pangan
Islam kaffah artinya Islam telah sempurna mengatur segala aspek pemenuhan kebutuhan hidup manusia mulai dari hubungannya dengan pencipta, antar sesama manusia, dan dirinya sendiri. Maka adanya aturan yang komplit ini tentu agar diterapkan oleh seluruh pihak terkait, yang mana bukan sekedar individu rakyat yang muslim saja, tapi juga negara. Adalah kewajiban negara untuk mengadopsi aqidah Islam dan syariah Islam sebagai undang-undang serta kebijakan yang sistematis agar menjadikannya baldatun thayyibah wa rabbun ghaafuur, termasuk dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan.
Sistem ekonomi Islam memandang bahwa pangan merupakan kebutuhan primer rakyat yang harus dipenuhi dalam segala kondisi. Negara yang menerapkan sistem Islam akan dengan sungguh-sungguh serius dan berupaya penuh menjamin terpenuhinya pasokan rantai pangan, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Negara tidak boleh membiarkan semua itu berjalan sendiri apalagi menyerahkannya pada swasta (muslimahnews.net, 03/09/2023).
Tidak cukup itu saja, tentunya dengan pengawasan ketat negara pula, barang konsumsi yang boleh beredar hanya yang halal dan thayyib saja. Ini akan sangat membantu meringankan peran ibu dalam menjaga pemenuhan gizi yang baik bagi keluarganya. Dengan begitu, para ibu bisa fokus pada peran domestiknya yang utama, tidak teralihkan pada aktivitas mubah apalagi beresiko menjerumuskan pada keharaman.
Sungguh kesempurnaan Islam dapat terlihat dalam sistem khilafah yang pernah diterapkan selama 14 abad. Sistem ini memastikan setiap pemimpin yang berhak memimpin haruslah memenuhi keenam kriteria dasar berikut: muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu (kapabel).
Upaya untuk melahirkan sosok pemimpin yang ideal dan sistem kepemimpinan yang diridhai Allah ini membutuhkan peran seluruh pihak, khususnya perempuan. Maka ada peran politik perempuan yang harus dilakukan dalam porsi ini, yaitu dengan cara istiqomah mempelajari Islam, mendidik diri sendiri dan generasi dengan tsaqafah Islam, serta aktif menyebarluaskan dakwah Islam ke sekitarnya. Insyaa Allah tidak lama lagi persatuan Islam akan terwujud kembali dan fajar kemenangan itu hanya disadari oleh mereka yang ikut memperjuangkannya. Mari kita ambil bagian dalam estafet kebaikan, semoga Allah merahmati setiap langkah kita. Aamiin.
Penulis: Rafika Husnia (Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru