Share ke media
Opini Publik

Membangun Pemuda ‘Gaspol’ Yang Ideal

09 Oct 2023 04:13:13509 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : sinarpaginews.com - Urip: Kemah Bakti Sinyal Baik dari Pemuda Tuntaskan Persoalan Sosial - 30 Juli 2023

Samarinda - Menjelang akhir tahun 2023, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten semakin gencar mengadakan sosialisasi pendidikan politik bagi pemilih pemula di berbagai instansi pendidikan. Kegiatan ini dipandang penting mengingat jumlah pemilih pemula kelompok generasi milenial dan generasi Z dari DPT (daftar pemilih tetap) yang ditetapkan KPU mendominasi pada hampir 60% total keseluruhan pemilih (databoks.katadata.co.id, 05/07/2023). Harapannya dengan cara tersebut, tingkat partisipasi pemilih nasional dapat meningkat dari periode sebelumnya (tahun 2019) dan diikuti penurunan angka golput.

Kampanye Gaspol

Badan Kesbangpol Samarinda sejak awal tahun sangat sibuk mengadakan beragam kegiatan sosialisasi pendidikan politik di sejumlah SMA, SMK, dan universitas negeri maupun swasta. Pada 10 Agustus lalu, 150 peserta dari kalangan ormas hingga pelajar diundang hadir di Hotel Horison Samarinda untuk tujuan yang sama (kaltimtoday.co, 11/08/2023).

Belum lama ini, Badan Kesbangpol Balikpapan juga mengadakan kegiatan serupa di Hotel MaxOne Balikpapan pada tanggal 26-27 September 2023 dengan mengusung tema Generasi Sadar Politik alias Gaspol (balpos.com, 30/09/2023).

Luar biasa memang euforia menjelang pesta pemilu demokrasi. Sebab, pemilu bagi sistem ini menjadi satu-satunya jalan lurus untuk sampai ke tampuk kekuasaan. Meski masa kampanye belum dimulai, banyak kalangan caleg sudah terang-terangan curi start mengincar dukungan suara. Ada yang terjun langsung, ada pula yang menyiapkan influencer muda untuk berkampanye massif.

Kegiatan edukasi politik untuk kalangan pemuda jelas penting. Tanpa pemahaman yang benar, generasi muda tidak mungkin memiliki perhatian yang besar untuk mau memikirkan masa depan negerinya. Namun sayangnya kegiatan semacam ini hanya ramai diadakan jelang pelaksanaan pemilu lima tahunan. Waktu yang singkat boleh jadi tidak cukup membekali mereka dengan informasi yang akurat dan pertimbangan yang matang agar bijak mengambil langkah.

Patut dipertanyakan, mungkinkah pemuda hanya dijadikan objek parpol dan oligarki untuk mendulang suara?! Sebab faktanya, sehari-hari, generasi milenial dan generasi Z ini memang tidak se-kritis atau se-vokal generasi di atasnya alias cenderung apatis dan apolitis.

Mengapa Pemuda Kini Cenderung Apolitis

Citra pemuda hari ini banyak dinilai apolitis oleh sejumlah pengamat, tidak seperti generasi senior di atasnya. Hal ini diduga karena minimnya pemahaman tentang makna politik dan jauhnya kesadaran akan pentingnya terlibat dalam aktivitas politik.

Makna politik yang eksis saat ini mengacu pada standar pragmatis yang ditanamkan oleh definisi ala sekuler dan tokoh-tokoh Yunani kuno. Mereka mengatakan politik adalah seperangkat aktivitas yang berkaitan dengan pengambilan keputusan bersama atau bentuk lain dari relasi kekuasaan individu, seperti dalam urusan distribusi sumber daya dan status. Fokus politik di sini ialah pembagian sumber daya dan status kekuasaan, lalu berlanjut pada perumusan sejumlah kebijakan yang kelak menguntungkan pemegang kekuasaan. Lantas siapakah pemilik kekuasaan yang sebenarnya, yang pasti bukan rakyat!

Pemuda mungkin belum menyadari apa esensi dasar definisi tersebut, tapi mereka mengetahui bahwa dunia politik erat kaitannya dengan jalan menuju kekuasaan. Pemuda sebagai warga digital juga sudah kenyang dengan suguhan media informasi seputar praktik money politic, politik transaksional, hingga KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang acap kali mewarnai kontestasi politik pemerintahan. Iming-iming beasiswa, konser gratis, serta jalur khusus rekrutmen kerja biasa jadi alat politik jelang pemilu. Para pemuda ini tau ‘ada udang di balik batu’, tapi mereka tidak kuasa berkomentar.

Berulang kali kakak seniornya setingkat mahasiswa yang turun melakukan aksi massal justru dibungkam paksa dan berujung celaka karena menyuarakan kritik kebenaran. Entah kemana perginya slogan hak kebebasan pers. Padahal baru beberapa waktu sebelumnya puluhan janji manis dilontarkan untuk merengkuh kepercayaan dan suara para aktivis. Pepatah ‘habis manis sepah dibuang’ memang sangat cocok dinisbatkan untuk para politisi pragmatis di lingkaran sistem ini. Semua itu memberi kesan yang kuat, dunia politik hanya cocok untuk mereka yang haus akan kepentingan, bukan yang idealis dan tulus melayani rakyat. Melihat itu semua, wajar saja pemuda jadi apatis dengan isu-isu politik dan lebih gandrung pada gosip seputar artis idolanya.

Di sisi lain, jarang sekali pemuda yang memandang penting politik karena merasa pemerintah tidak berpihak pada mereka. Contohnya, ada gerakan ‘cintai produk dalam negeri’, tapi nyatanya pemerintah malah jor-joran impor produk asing bahkan tenaga asing. Lalu ada juga tuntutan untuk mengembangkan digitalisasi dan dunia ristek, tapi fasilitas masih mahal dan pelit akses. Bahkan yang mendasar seperti jaminan layanan pendidikan saja, banyak yang terpaksa putus sekolah karena beban ekonomi yang amat tinggi. Sungguh tidak tampak ada kebijakan yang menguntungkan!

Terlebih lagi, minat dan perhatian mayoritas pemuda banyak diserap oleh industri hiburan dan ambisi aktualisasi pribadi sebagai output langsung dari pendidikan yang sekuler kapitalistik. Maka lahirlah generasi yang cuek individualis, mereka tidak mau memikirkan urusan lain selain dirinya sendiri, karena yang lain dianggap berat dan membebani. Belum lagi corak polarisasi rentan berkembang akibat bebasnya ruang informasi, semua bercampur antara fakta dan hoax. Klaim radikalisme juga kerap menyudutkan aktivis muslim yang menjalankan syariat agamanya, seolah menjadi gangguan dan ancaman nasional sehingga kayak dikriminalisasi. Padahal mereka juga sama-sama membayar biaya pendidikan yang mahal, menyetorkan wajib pajak, dan mematuhi tata tertib lalu lintas.

Semua itu semakin menegaskan karakter politik dalam iklim sistem hari ini yang culas dan merugikan rakyat, dipenuhi topeng kepentingan. Jika demikian, bagaimana mungkin politik jadi menarik untuk digeluti?? Jelas saja, misi mencetak ‘gaspol’ ini hanyalah bentuk pragmatisme politik ala demokrasi demi mengulur eksistensi kapitalisme yang kian rapuh.

Bagaimana Sikap Pemuda Seharusnya

Menakar istilah ‘gaspol’ (generasi sadar politik) yang bebas nilai tentunya tidak ada yang salah. Tinggal bagaimana aktualisasinya akan diarahkan. Sebab aktivitas politik memang penting dan tidak bisa diabaikan.

Istilah ‘politik’ dalam pandangan Islam diadopsi dari kata as-siyasah, maknanya secara syar’i adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan pemeliharaan urusan-urusan umat. Berpolitik ala Islam merupakan kewajiban dan aktivitas yang mulia. Rasulullah saw dan para sahabat seluruhnya berpolitik. Para khalifah dan kaum muslimin sepeninggal mereka pun juga berpolitik. Sejarah menunjukkan selama 14 abad lamanya Islam pernah berjaya dan selama itu pula lah politik Islam menjadi mercusuar dunia.

Landasan berpolitik ini dapat dilihat dalam firman Allah swt, QS. Ali Imran [3]:104 yang artinya, “Dan hendaklah ada (sebagian) di antara kamu yang menyeru kepada kebajikan (Islam), memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

Aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar yang sangat lazim kita dengar itulah yang dimaksud berpolitik. Mengkaji tsaqafah Islam dan berdakwah itu sendiri juga berpolitik. Apapun topik permasalahannya, Islam telah siap memberikan keterangan dan solusi melalui seperangkat syariatnya yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Inilah politik dalam kacamata Islam.

Jangan kalah dengan Shalahuddin Al-Ayyubi dan Muhammad Al-Fatih! Mereka menorehkan perubahan besar dengan tinta emas sejarah berkat pemahaman politik Islam yang benar. Mereka tidak pernah lupa akan janji kemenangan dan kemuliaan yang diberikan Allah swt bagi hamba-Nya yang bertakwa. Mereka juga sadar betul pentingnya mencurahkan perhatian akan nasib umat agar seluruh urusan kehidupannya terpelihara dengan layak dan ibadahnya berjalan lancar.

Wahai pemuda generasi pembangun peradaban! Jika hari ini masih ada yang mager dan apolitis, ayo sudah saatnya kalian segera bangkit memburu kajian Islam kaffah dan ikut berdakwah! Tidak ada alasan masih terlalu muda untuk berbenah. 

Wallahu a’lam bish showab.

Penulis: Rafika Husnia (Pemerhati Remaja dan Generasi)

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu-individu dari masyarakat yang ingin mengungkapkan pemikiran, gagasan dan gagasannya yang hak ciptanya dimiliki sepenuhnya oleh yang bersangkutan. Isi editorial dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.