Samarinda - Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Kondisi tubuh anak yang pendek seringkali dikatakan sebagai faktor keturunan (genetik) dari kedua orang tuanya, sehingga masyarakat banyak yang hanya menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal seperti kita ketahui, genetika merupakan faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan faktor perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, stunting merupakan masalah yang sebenarnya bisa dicegah.
Salah satu fokus pemerintah saat ini adalah pencegahan stunting. Upaya ini bertujuan agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan maksimal, dengan disertai kemampuan emosional, sosial, dan fisik yang siap untuk belajar, serta mampu berinovasi dan berkompetisi di tingkat global.
WHO melalui Sustainable Development Goals (SDG) 2 mentargetkan zero stunting di 2030 untuk anak baduta (bawah dua tahun) di setiap negara, dengan target batas prevalensi maksimal 2,3%. Kebijakan yang diterapkan WHO antara lain dengan meningkatkan identifikasi, pengukuran dan identifikasi faktor risiko stunting, mengakomodir aktifitas-aktifitas pencegahan stunting, menerapkan target stunting nasional sesuai target WHO, menerapkan kebijakan penguatan intervensi untuk meningkatkan kondisi kesehatan dan nutrisi maternal sejak dini dimulai dari remaja putri, implementasi intervensi meningkatkan ASI eksklusif dan praktik pemberian MPASI, serta penguatan intervensi dengan basis komunitas meliputi WASH (improved Water, Sanitation, and Hygiene) untuk melindungi anak dari diare dan malaria, penyakit parasite serta penyebab lingkungan yang rentan infeksi.
Dalam upaya mencapai target penurunan kasus stunting di Indonesia sebagaimana ditargetkan WHO dari 27,67 persen (2019) menjadi 14 persen tahun 2024 nanti. semua instansi terkait melakukan berbagai intervensi agar stunting dapat diturunkan, salah satunya intervensi gizi.
Intervensi gizi terdiri dari dua spesifikasi. Yang pertama intervensi gizi spesifik, yaitu kegiatan yang langsung mengatasi terjadinya stunting, di antaranya seperti asupan makanan ibu hamil, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, inisiasi menyusui dini, imunisasi dan kesehatan lingkungan.
Kedua, Intervensi gizi sensitif yang mencakup akses air bersih dan sanitasi, layanan kesehatan dan Keluarga Berencana, dan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja.
Stunting Bukan Sekadar Minimnya Edukasi, tapi Persoalan Sistemis
Pengalaman dan bukti internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya 11% GDP (Gross Domestic Products) serta dapat mengurangi pendapatan pekerja hingga 20%. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/ inequality, sehingga mengurangi 10% dari total pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antargenerasi. (Buku Ringkasan Stunting, TNP2K)
Meskipun ada pernyataan bahwa stunting sebenarnya tidak hanya dialami oleh rumah tangga/keluarga yang miskin saja, tapi bisa saja dialami oleh rumah tangga/keluarga yang mampu sehingga harus ada upaya edukasi pencegahan stunting dengan memberikan pengetahuan gizi bagi orang tua/keluarga. Maka tidak aneh jika Kemenag (Kementerian Agama) melakukan kerja sama bersama BKKBN untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk pencegahan stunting dengan melibatkan 55 ribu penyuluh agama dan 600 ribu pendamping keluarga BKKBN seperti yang diberitakan harian Republika tertanggal 11 Maret 2022.
Tapi nyatanya, jika dilihat secara umum, angka kejadian stunting mayoritas dialami oleh keluarga miskin/tidak mampu. Maka, bisa kita simpulkan, memberikan edukasi saja tidak cukup untuk mengatasi masalah stunting, karena persoalan mendasarnya adalah adanya masalah kemiskinan massal secara sistemis. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan secara sistemis pula.
Sistem Islam dan pengentasan kemiskinan
Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan merupakan sistem aturan yang lengkap. Kebijakan Islam di segala aspek dapat mengentaskan kemiskinan, bahkan bisa menyelesaikan masalah stunting
Pemimpin dalam Islam bertanggung jawab mengurusi kebutuhan rakyatnya dan harus memastikan kebutuhan dasar setiap masyarakat (sandang, pangan, papan, kesehatan, dan keamanan) dapat terpenuhi. Dalam menjalankan tugas itu, pemimpin akan melaksanakan sistem kebijakan yang telah ditetapkan syara’, seperti ekonomi, politik luar negeri, kesehatan, pendidikan, dan sanksi.
Dalam sistem ekonomi Islam, terdapat konsep tiga kepemilikan, yaitu individu, umum, dan negara. Pengelolaan individu diserahkan pada pribadi asal tidak bertentangan dengan hukum syara’. Dua kepemilikan lainnya dikelola negara melalui baitulmal. Jadi, Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Selain itu, terdapat pos khusus, yaitu pos zakat yang diperoleh dari para muzaki (orang yang wajib membayar zakat). Negara menanamkan keimanan kepada rakyatnya serta mendorong orang yang mampu untuk menunaikan zakat. Semua dilakukan untuk mengharap rida Allah Taala. Zakat ini akan diberikan kepada delapan golongan penerima zakat dan akan terus diberikan hingga keluarga tersebut tidak termasuk pada delapan golongan tadi.
Pemimpin dalam sistem Islam juga akan membuka lapangan pekerjaan bagi yang membutuhkan. Misalnya, memberikan tanah yang terbengkalai kepada masyarakat yang bisa menghidupkannya agar bisa dimanfaatkan, memberikan modal kepada setiap orang yang membutuhkan modal berupa pemberian atau pinjaman tanpa bunga, mendirikan industri padat karya atau industri berat yang dapat menyerap pekerja, dst. dalam melaksanakan kebijakan itu, negara akan mendapatkan biaya dari baitulmal.
Jadi, keluarga yang berhak menerima zakat tadi, selain mendapat bantuan, juga mendapat lapangan kerja. Secara berangsur-angsur, keluarga tersebut pun mampu dengan sendirinya memenuhi kebutuhan mereka sehingga dapat terentas dari kemiskinan.
Selain masalah ekonomi, penerapan sistem pendidikan Islam akan melahirkan generasi berkepribadian Islam (akliah dan nafsiah) dan memiliki kesiapan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan.
Ketika masalah kemiskinan terselesaikan dan dengan pembinaan yang terus-menerus dari negara mengenai hidup sehat, masyarakat mudah mengakses gizi seimbang dan problem stunting dapat terselesaikan.
Khatimah
Kepengurusan umat secara keseluruhan adalah hakikat kepemimpinan. Sebab, kepemimpinan dalam Islam bukan hanya dalam kedudukan dan kekuasaan saja, akan tetapi juga periayahan (pengurusan) terhadap urusan umat. Termasuk penyelesaian masalah stunting.
Solusi masalah stunting membutuhkan upaya terstruktur/sistemis yang membutuhkan peranan negara dengan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, juga pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas. Stunting tidak dipandang sebatas kurangnya pengetahuan terhadap pemenuhan gizi, tapi lebih kepada kondisi kemiskinan yang memaksa warga ada pada kondisi serba kurang (miskin). Maka, wajar jika kondisi malnutrisi (kekurangan gizi) i akan terus ada selama permasalahan kemiskinan ini tidak diatasi. Tentu semua ini hanya akan bisa kita wujudkan dan diatasi secara tuntas manakala Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) oleh negara sekaligus dijadikan aturan bagi seluruh bidang kehidupan.Â
Wallohu’alam bi ash-showwab[]
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu dari masyarakat yang ingin menuangkan pemikiran, ide dan gagasannya yang hak ciptanya sepenuhnya dimiliki oleh yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru