Samarinda - Hujan. Ketika mendengar kata ini dan membayangkan kejadiannya, masyarakat mungkin bisa terpecah menjadi dua kubu. Satu, kubu si pecinta hujan, akan menikmati tiap-tiap bulir yang jatuh ke bumi, membawa kesejukan dan ketenangan tersendiri. Namun di kubu sebelah, jangankan membayangkan kejadiannya, mendengar kata ‘hujan’ saja sudah mengeluh.
Adalah bukan tanpa alasan jika orang-orang di kubu kedua tidak begitu respek ketika hujan turun. Utamanya bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah rawan tamu dadakan setelah turunnya hujan. Apalagi kalau bukan banjir.
Banjir mungkin terdengar seperti bukan sebuah peristiwa besar yang mengkhawatirkan. Tapi percayalah, saat air berkubik-kubik itu datang, lantas masuk ke rumah, menggenang di dalam dan tambah tinggi volumenya, maka tidak salah banjir termasuk dalam musibah yang patut dikhawatirkan. Lebih-lebih lagi jika banjir itu tak datang sendiri, melainkan membawa banyak material-material tak bertuan yang meresahkan.
Musibah banjir merupakan langganan datang ketika hujan turun. Sebabnya ada banyak, salah satunya karena air yang turun dari langit itu, tidak menemukan ke mana rute untuk kembali ke laut ataupun sungai.
Tidak sulit untuk melacak bagaimana pergerakan banjir yang meresahkan. Misalnya di Kalimantan Timur. Ada sejumlah titik yang menjadi tempat rawan banjir terlebih di saat musim penghujan seperti sekarang, yakni: jalan Pangeran Antasari, simpang air hitam Kadrie Oening, simpang Lembuswana, jalan H. A. M. Rifaddin, Loa Bakung, rapak dalam, Bengkuring, gunung Lingai dan masih banyak tempat-tempat lainnya.
Ada bagitu banyak dampak yang terjadi ketika banjir. Salah satunya adalah seperti yang dikatakan kepala BPBD kota Samarinda bahwa beberapa akses jalan menjadi terputus tersebab banjir yang tak dapat ditampung oleh sistem drainase yang baik.
Hujan Berkah, Bukan Musibah
Sedari kecil kita sudah diajarkan untuk mencintai hujan. Salah satunya adalah dengan wejangan-wejangan orang tua yang mengatakan kalau hujan itu membawa berkah, lalu kita dianjurkan untuk membaca doa ketika turun hujan.
Kenapa hujan membawa berkah? Allah SWT telah mementionnya dalam Al-Qur’an surah al-A’raf ayat 57 yang artinya:
Dialah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira yang mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan) sehingga apabila (angin itu) telah memikul awan yang berat, Kami halau ia ke suatu negeri yang mati (tandus), lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang mati agar kamu selalu ingat.
Dari air hujan pula kita bisa belajar bagaimana Allah memprosesnya sedemikian rupa hingga membuat kita berserah diri karena tidak ada manusia yang dapat melakukannya. Tiap tetes air hujan menjadi pelipur lara bagi tiap-tiap tumbuhan di bumi, tanah-tanah tandus, hewan-hewan bahkan manusia di dalamnya.
Lantas, mengapa dia bisa tiba-tiba menjadi mimpi buruk?
Hujan, dan Rute Kembalinya yang Hilang
Beberapa yang dipermasalahkan saat hujan turun adalah intensitasnya. Lazimnya ketika hujan turun deras—artinya intensitas berat—menjadi salah satu sebab munculnya banjir kemudian. Beberapa memang menyalahkan derasnya hujan dalam waktu yang lama—berjam-jam bahkan berhari-hari —membuat bumi tak mampu menampungnya. Padahal di sini telah jelas yang menjadi permasalahan adalah ‘tampungannya’ atau tempat kembalinya air hujan itu yang tidak ada atau sulit.
Mengapa? Karena Allah sendiri telah menjamin bahwa hujan yang turun itu telah sesuai kadarnya:
“Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (QS. Az Zukhruf: 11).
Dan jaminan Allah tidak mungkin salah. Lantas apa yang salah? Yang salah adalah manusia yang tidak memahaminya. Namun, kendatipun manusia telah memahami, sistem kehidupan terkadang menjadi penghalang selanjutnya. Mengapa?
Kapitalisme sekuler adalah corak sistem kepemerintahan yang diterapkan saat ini. Kapital yang berkutat pada sang pemilik modal, dan sekuler yang mengabaikan agama dalam kehidupan, telah menjadi kombo mimpi buruk dari banjir. Bagaimana?
Satu, kapitalisme para pemilik modal telah berwenang mengubah banyak lahan menjadi anti infiltrasi, artinya air tidak menyerap ke tanah. Sebabnya apa? Sebabnya beberapa tanah dialihfungsikan menjadi gedung-gedung pencakar langit dan bangunan beratus-ratus juta harganya tanpa memperhatikan dampak lingkungan.
Bangunan yang berdiri di atas tanah menghilangkan kawasan resapan air . Sistem drainase pun tidak bekerja optimal. Akibatnya air menggenang dan terjadilah banjir.
Pembukaan lahan dengan pembakaran atau penebangan hutan yang membabi buta tanpa reklamasi yang tepat telah mengaminkan terjadinya banyak bencana termasuk banjir. Area-area resapan air seperti ini ketika terjadi hujan, kalau tidak meluruhkan tanah-tanah yang mengakibatkan longsor, akan turun terjun pemukiman-pemukiman dan jalanan sehingga tak heran jika tergenang.
Kapitalisme sekuler telah mengabaikan fungsi reklamasi seperti reboisasi. Para kapital lebih mengutamakan lancarnya proyek yang dijalankan tanpa memperhatikan dampaknya. Mereka lebih fokus mencari keuntungan, tanpa memperhatikan lingkungan. Pun karena alasan biaya yang besar—padahal proyeknya sendiri memakan anggaran besar—mereka tidak melakukannya. Mirisnya, pemerintah kita seakan tidak berdaya hingga tidak menindak tegas apa yang mereka lakukan.
Saatnya Muhasabah dengan Sistem Islam
Memang sebuah paradigma kehidupan begitu besar memberi pengaruh pada sikap manusia. Jadi, kita mestilah keluar dari paradigma kapitalisme sekuler yang membuang fungsi alam. Paradigma ini hendaklah diubah dengan Islam.
Islam hadir sebagai solusi kehidupan dan tidak menomorduakan alam yang menjadi tempat kita hidup.
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah! Dialah Yang Mahamulia, Maha Pengampun. (TQS. Az-Zumar: 5).
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (TQS: al-Araf: 56)
Pemimpin dalam sistem Islam juga tidak akan luput dari pengawasan Allah. Ketika ia merencanakan pembangunan, ia tidak akan menampik fungsi reklamasi dan berusaha membangun tanpa merugikan siapapun karena tahu alam ini juga termasuk makhluk Allah yang harus dijaga. Jika alam sudah dijaga, maka hujan tidak lagi menjadi momok menakutkan.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
Pun demikian, pencegahan akan dilakukan melalui pemimpin yang menindak individu jika mereka berbuat kerusakan seperti membuang sampah sembarangan. Karena, sampah yang dibuang sembarangan akan turun mencegah air mengalir lancar, jika banyak akan menyumbat saluran air hingga banjir tak terelakkan
Di sistem Islam, negara tidak hanya hadir sebagai regulator, atau sekedar pemberi izin, namun juga sebagai periayah (pengatur) urusan ummat. Pemerintahan yang baik tidak akan begitu saja melepas aset umum yang mengandung banyak hal hidup masyarakat di sana. Ini karena, sistem kepemilikan di dalam Islam telah jelas pos-posnya. Dan tambang atau tanah-tanah perhutanan adalah hak milik umum yang tidak seharusnya dikelola swasta atau asing. Jika pun memang dikelola oleh mereka, maka peraturan tegas dan sanksi tegas akan diberlakukan bagi siapapun yang mengabaikan hak-hak rakyat dan lingkungan.
Khatimah
Demikianlah bagaimana sedikit gambaran sistem Islam mengatasi banjir. Dengan ini, insya Allah kita tidak perlu lagi takut ketika hujan turun dan bisa dengan hati lapang menyebut doanya:
اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
Wallahu ‘alam bishowwab.
Oleh : Dwi Nanda
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru