Share ke media
Opini Publik

Mewaspadai Kapitalisasi “Tabarruj”

11 Oct 2023 10:42:18384 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : suaramubalighah.com - Mewaspadai Kapitalisasi Tabarruj - 10 Oktober 2023

Samarinda - Tren produk kecantikan sedang berkembang sangat pesat. Berbagai permintaan produk kecantikan, mulai dari merek skincare hingga kosmetik, macam-macam hijab hingga tutorialnya. Dan produk-produk ini selalu memenuhi pasar di industri kecantikan.

Peredaran uang di dalam industri kecantikan pun luar biasa besar. Sebagai contoh, sebuah riset yang dilakukan Kompas menunjukkan bahwa total penjualan kosmetik bibir di Sh*p** selama Juni 2021 mencapai Rp25,22 miliar. Angka yang sangat besar.

Sebagai negara yang memiliki populasi perempuan lebih dari 150 juta jiwa, Indonesia tentu menjadi pasar besar bagi industri kosmetik global. Indonesia bahkan diprediksi akan menjadi pasar kosmetik terbesar ke-5 di dunia dalam 10—15 tahun mendatang. Walhasil, Indonesia menjadi rebutan para produsen kosmetik global.

Aneka merek kosmetik impor pun membanjiri pasar Indonesia, bersaing dengan merek lokal. Berdasarkan data Kemenperin, nilai impor kosmetik mencapai 803,58 juta dolar AS atau sekitar Rp12 triliun pada 2019 dan trennya terus meningkat, sedangkan nilai ekspor kosmetik 506,56 juta dolar AS.

Pesantren (Santriwati), Sasaran Pasar Kapitalis yang Menggiurkan

Ciri paling menonjol dalam penerapan kapitalisme adalah minimnya intervensi negara. Semua ditentukan berdasarkan kehendak pasar dan adanya persaingan secara bebas. Inilah yang disebut Adam Smith sebagai teori the Invisible Hand, yang menang tentu para pemilik modal (kapitalis).

Para kapitalis kemudian menjadikan oligarki makin mencengkeram masyarakat sebagaimana target pasar mereka, salah satunya adalah pesantren. Potensi pesantren yang sangat besar sebagai target pasar jelas sangat menggiurkan bagi para kapitalis. Jumlah pesantren di Indonesia yang terdaftar di Kemenag sebanyak 36.600, dengan jumlah santri sebanyak 3,4 juta dan tenaga pengajar (kiai, ustaz) sebanyak 370 ribu. (Sumber: Situs Kemenag, 5-4-2022).

Menurut laporan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag, ada 4,37 juta santri yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun ajaran 2020/2021. Para santri itu tersebar di 30.494 pondok pesantren. Adapun berdasarkan gendernya, jumlah santri laki-laki lebih banyak ketimbang perempuan. Tercatat, jumlah santri laki-laki sebanyak 2,3 juta orang, sedangkan santri perempuan 2,07 juta orang. Jelas ini adalah angka yang sangat besar sebagai target pasar.

Jutaan santri alumni pesantren yang masih memiliki hubungan dengan pesantren adalah pangsa pasar yang sangat besar. Oleh karenanya, seiring masifnya proyek moderasi beragama, pesantren mengalami pembajakan potensi santri. Bahkan, arah pendidikan pun telah bergeser ke ranah ekonomi.

Pesantren sebagai wadah untuk menyiapkan santri menjadi ulama, faqih fiddin, dan individu yang akan berkiprah di masyarakat, bergerak untuk kemaslahatan umat, hingga menjadi pribadi yang terdepan dalam melawan penjajahan dan segala bentuk kezaliman.

Dahulu, kiai bersama santri melakukan perlawanan kepada penjajah secara totalitas. Pada sektor pendidikan, kiai tidak mau ikut Belanda dan memilih mendirikan pesantren. Pada sektor perekonomian, kiai berdagang dan membangun basis-basis ekonomi di kalangan umat Islam sendiri. Pada wilayah perjuangan, kiai dan santri juga berjuang melawan penjajah dengan jiwa raganya.

Namun saat ini, akibat penerapan sistem kapitalisme dengan proyek moderasi beragama, pesantren kehilangan orientasinya. Kegagalan kapitalisme dalam menyejahterakan masyarakat dan mewujudkan tatanan kehidupan yang berakhlak mulia, menjadikan pesantren sebagai salah satu tumpuan pergerakan dan pertumbuhan perekonomian bangsa. Dengan alasan proyek deradikalisasi, pesantren dibajak dengan mengubah arah pesantren menjadi wirausaha.

Ada proyek yang menarik untuk kita kritisi, yakni adanya upaya penggiringan santriwati untuk terjun ke dunia bisnis. Misalnya, Paragon Goes to Pesantren yang diadakan di Pondok Buntet Pesantren Cirebon, pada Sabtu (8-4-2023). Mengusung tema “Perjalanan Ramadan, Bersama Lebih Bermakna”, kegiatan ini merupakan kerja sama antara Paragon Corp. dengan NU Circle. Paragon Corp. merupakan perusahaan asal Indonesia yang menaungi pionir merek kosmetik halal, seperti Wardah, Kahf, dan Biodef.

Tidak hanya di bidang kosmetik, santriwati juga diarahkan untuk menggeluti dunia fesyen. Fashion show pun kian marak di pesantren maupun sekolah aliah. Madrasah Aliah Ma’arif Nahdlatul Ulama (MA Ma’arif NU) Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menggelar Aliyah Fashion Festival (AFF), Kamis (11-5-2023), agar santri bisa mendapatkan sertifikat keterampilan di sekolah tersebut.

Sebelumnya, ada fashion show oleh para Ning-Gus pesantren, seperti Grand Final Pemilihan Duta Santri Pringsewu 2022, Tupal Fashion Night di Jawa Timur dalam acara Kick Off 1 Abad NU di Tugu Pahlawan Surabaya, serta masih banyak lagi.

Serangan ideologi kapitalisme terhadap generasi muslim dengan 7 F (fashion, food, film, free thinking (pola pikir liberal), fun, free seks, dan friction (perpecahan), kian nyata di negeri ini. Sistem ini menarget agar generasi muda, termasuk santriwati bergaya hidup konsumtif dan liberal. Tentunya pihak yang paling diuntungkan adalah para kapitalis.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pun mendorong santri untuk tidak jadi pencari kerja setelah lulus dari pondok pesantren. Menteri BUMN Erick Thohir juga menyampaikan, sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia memiliki ribuan pondok pesantren. Menurutnya, di tengah tantangan era disrupsi dan perubahan digital yang sangat cepat, para santri dan santriwati harus mampu mengembangkan kapasitas diri.

“Kami meyakini para santri dan santriwati akan turut berkontribusi membawa Indonesia menuju negara maju dan membangun peradaban bagi negara, serta berani menghadapi tantangan era saat ini dengan perubahan yang sangat cepat,” ujarnya.

Ia memandang bahwa program Magang Santri dan Santripreneur merupakan kolaborasi yang sukses antara BUMN bersama sejumlah perguruan tinggi dan pesantren dalam meningkatkan kualitas SDM. Langkah ini ia anggap sebagai persiapan bagi generasi muda menghadapi tantangan pembangunan ke depannya, termasuk di sektor digital.

Ini jelas bentuk pembajakan potensi pesantren untuk pertumbuhan ekonomi di tengah kegagalan kapitalisme dalam menyejahterakan masyarakat. Terlebih bagi santriwati, penggiringan menjadi wirausaha bisa mengalihkan fungsi utama dan pertama bagi perempuan, yakni ummu wa rabbatul bait. Semestinya, santriwati dididik untuk menjadi ulama perempuan yang akan mendidik generasi menjadi generasi pemimpin.

Menurut Dr. Ahmad Sastra (2-9-2019), salah satu karakteristik dan tujuan Barat melancarkan imperialisme epistemologi sebagai propaganda Barat menyerang Islam, khususnya terkait program moderasi ajaran Islam, adalah hakarah at-taghrib, yakni gerakan westernisasi segala aspek kehidupan kaum muslim. Paradigma Barat dijadikan kiblat bagi kaum muslim dengan meninggalkan tsaqafah Islam. Melalui berbagai bidang seperti fun, fashion, film, dan food, Barat terus mempropagandakan ideologinya.

Re-kontekstualisasi Makna Tabarruj: Jebakan Pasar Kapitalis

Seiring kebutuhan pasar kapitalis untuk mendapatkan konsumen yang besar, mereka harus didukung legitimasi atau pembenaran tujuan penggunaan kosmetik dikalangan para muslimah, dengan dalil syar’i. Padahal, Islam tidak saja melarang tabaruj, tetapi juga mewajibkan kaum perempuan menutup seluruh auratnya. Tidak hanya sampai di situ, Islam kemudian menyempurnakan perlindungannya terhadap kaum perempuan dengan mewajibkannya berjilbab. Maka, bagi kalangan kapitalis, butuh ada upaya re-kontekstualisasi makna tabarruj dari dalil syariah, yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar, bahkan jika perlu menarik paksa rekontekstualisasi dengan alasan HAM atau ketidakadilan gender.

Dan salah satu bukti terjebaknya kalangan daiyah atau mubalighah dalam pusaran target kapitalis, adalah seperti yang dipaparkan dalam www.mubadalah.id, yang menanggapi ramainya meme larangan tabarruj dan dalilnya dengan QS Al-Ahzab ayat 33.

Upaya mubadalah dilakukan oleh sebagian kalangan daiyah atau mubalighah terhadap QS. Al-Ahzab ayat 33 sebagai bentuk menafsirkan nilai-nilai ma’ruf dan berkeadilan, dimana Ma’ruf merupakan cara untuk menemukan konsep-konsep yang baik dan dapat diterima baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan untuk kebaikan bersama (menemukan poin kebaikan) mengadvokasi nilai-nilai ketidakadilan gender (www.mubadalah.id).

Dalam perspektif mubadalah, larangan tabarruj – berhias berlebihan dan berperilaku genit, sombong, riya’ dengan tujuan membuat orang lain terpesona dan mengarah pada perzinahan- pun berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan. Oleh karenanya, jika ber-make up dengan tanpa adanya kesombongan, riya’, maupun membuat orang lain terpesona, maka tidaklah dikatakan ber-tabarruj.

Negara Menjaga Kehormatan Perempuan

Islam tidak saja menjaga dan melindungi kehormatan wanita dengan mewajibkan menutup seluruh auratnya, tetapi juga melarangnya untuk berpakain yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Meski, seluruh auratnya sudah tertutup. Itulah yang dinyatakan Allah,

وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُوْلَى [سورة الأحزاب: 33]

“Dan hendaknya perempuan-perempuan itu tidak melakukan tabarruj sebagaimana tabaruj yang dilakukan orang-orang Jahiliah dahulu.” (QS Al-Ahzab: 33)

Tabaruj itu menampilkan dandanan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Di zaman Jahiliah, kaum perempuan memakai gelang kaki, yang mana ketika mereka berjalan, terdengarlah suara gelang kakinya. Tujuannya untuk menarik kaum pria yang ada di sekitarnya, pun telinga dan matanya tertuju kepadanya. Begitulah, dahulu orang-orang Jahiliah melakukan tabaruj.

Karena itu, Islam tidak saja melarang tabaruj, tetapi juga mewajibkan kaum perempuan menutup seluruh auratnya. Tidak hanya sampai di situ, Islam kemudian menyempurnakan perlindungannya terhadap kaum perempuan dengan mewajibkannya berjilbab. Jilbab adalah jubah. Allah berfirman,

ياَ أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ المُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ [سورة الأحزاب: 59]

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, serta perempuan kaum Mukmin, agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.” (QS Al-Ahzab: 59)

Tidak hanya itu, Allah juga berfirman,

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ [سورة النور: 31]

“Hendaknya kaum perempuan itu mengulurkan kerudungnya hingga ke dada-dada mereka.” (QS An-Nur: 31)

Jilbab (pakaian wanita) dan himar (kerudung) ditetapkan sebagai pakaian wajib kaum perempuan ketika berada di luar rumah. Semuanya itu untuk menjaga dan melindungi kehormatan wanita.

Begitulah Islam menempatkan wanita, sebagai kehormatan yang wajib dilindungi dan dijaga, bahkan dengan taruhan nyawa.

Lihatlah, bagaimana sikap Nabi saw., saat seorang wanita muslimah yang ujung jubahnya diikat orang Yahudi Bani Qainuqa’ di pasar Madinah, hingga saat wanita itu meninggalkan lapak Yahudi itu, dia pun terjatuh, jubahnya tersingkap, dan auratnya terlihat. Dampak dari peristiwa ini, Nabi saw. pun murka. Yahudi Bani Qainuqa’ pun akhirnya diperangi dan diusir dari Madinah.

Lihatlah, bagaimana Khalifah al-Mu’tashim saat memenuhi jeritan wanita yang memanggil namanya, “Waa Mu’tashimah!” (Wahai al-Mu’tashim, di manakah Engkau!). Khalifah agung itu pun mengerahkan tentaranya untuk menuntut kehormatan seorang wanita nahas yang jilbabnya telah ditarik tentara Romawi.

Maka, 30.000 tentara Romawi tewas dan lainnya menjadi sabaya (semacam tawanan). Benteng Amuriah yang angker itu pun berhasil ditaklukkan oleh Khalifah yang agung itu (Ibn Katsir, al-Bidayah, I/1601).

Begitulah Islam memandang kehormatan wanita. Apapun dipertaruhkan untuk menjaga dan melindunginya. Maka, ketika ada wanita yang mengumbar auratnya, dia tidak saja melawan perintah dan larangan Allah Swt., tetapi juga menjatuhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Siapa saja yang melecehkannya, tidak saja melecehkan kehormatan wanita, tetapi telah melecehkan Zat Sang Pentitah, Allah Swt..

Maka, berhijab bukan sekadar kewajiban, apalagi fesyen. Tetapi lebih dari itu, ia merupakan kehormatan dan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Begitulah cara Allah menjaga dan melindungi martabat dan kehormatan wanita.

Oleh: Yulita Andriani

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu-individu dari masyarakat yang ingin mengungkapkan pemikiran, gagasan dan gagasannya yang hak ciptanya dimiliki sepenuhnya oleh yang bersangkutan. Isi editorial dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.