Samarinda - Peredaran minuman berakohol (minol) di Kota Samarinda terus menjadi sorotan. Hal ini lantaran masih banyaknya tempat yang menjual minol tanpa izin, seperti warung kelontongan bahkan mini supermarket. Kemudahan dalam membali minol itu tentunya membuat resah masyarakat. Masyarakat khawatir hal itu akan berdampak pada generasi muda.
Terkait hal itu, Walikota Samarinda Andi Harun memastikan, pihaknya akan memperketat pengawasan terkait peredaran minol ini. Nantinya, pengawasan ini diperketat ke seluruh penjuru mulai dari warung kelontong, minimarket hingga supermarket.
Ditekankan bahwa izin penjualan minol hanya diberikan kepada bar dan restoran di hotel berbintang. Hal itu telah tertuang dalam Perda Nomor 5 Tahun 2023, tepatnya pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa izin tempat penjualan minuman berakohol golongan A, golongan B, dan golongan C untuk minum di tempat hanya diberikan untuk bar dan restoran di hotel berbintang. (TribunKaltim.co/27/06/2024)
Minol dilarang beredar secara luas oleh pemerintah karena memiliki kandungan yang berbahaya bagi kesehatan yakni etil alkohol, etanol, metil alkohol dan metanol yang dapat memabukkan. Selain itu mengkonsumsi minol juga dapat menyebabkan halusinasi, kejang, hingga meninggal dunia. Termasuk juga gangguan perilaku sebagai salah satu dampak dari mengkonsumsi alkohol, yang mana gangguan perilaku ini sering juga menjadi pemicu kecelakaan hingga perkelahian yang berujung pada jatuhnya korban dan kerugian materi.
Oleh karena itu minol adalah jenis minuman yang berbahaya untuk dikonsumsi baik bagi peminumnya maupun orang-orang disekitarnya. Sudah semestinya minol harus di larang sepenuhnya oleh pemerintah. Bukan sekedar di batasi, diperketat, dan diawasi peredarannya dengan pemberian izin yang hanya diberikan pada jenis usaha bar dan restoran di hotel berbintang.
Selain itu, yang seharusnya menjadi faktor utama pertimbangan untuk larangan minol di Indonesia adalah karena bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam. Yang mana, dalam agama Islam jelas minol di larang untuk di perjual belikan.
Akan tetapi karena saat ini, Indonesia mengadopsi sistem demokrasi sekuler dan liberalisasi dalam bidang ekonominya menjadikan manfaat ekonomi sebagai dasar dari pembuatan kebijakan. Yakni manfaat tersebut dapat diperoleh melalui pemberlakuan pajak pada pelaku usaha bar dan restoran berbintang. Sehingga minol menjadi legal untuk diperjual belikan oleh pelaku jenis usaha tersebut dengan syarat harus mengurus periizinannya di instansi pemerintah terkait. Sekalipun penjual dan pembelinya maupun pemerintah yang bertugas untuk mengeluarkan perizinannya beragama Islam.
Berdasarkan hal tersebut, kita dapat ‘menggaris bawahi’ dalam sistem demokrasi sekuler ini, ‘aktor-aktor minol’ tidak perduli dengan hukum keharaman minol di dalam syariat Islam. Baik bagi pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen, baik yang berizin maupun tidak berizin, hanya mengejar keuntungan dan kesenangan nafsu semata. Sekalipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haram.
Adapun minol di dalam Agama Islam, termasuk kategori khamar. Yakni, khamar di haramkan dalam syariat Islam bukan karena sekadar memabukkan dan najis tetapi karena zat berjenis alkohol yang terkandung di dalamnya sebagai zat yang berbahaya bagi kesehatan yang dihasilkan dari proses fermentasi seperti campuran ragi dengan anggur, kurma, beras, singkong dan lain sebagainya.
Larangan tersebut, sebagaimana dalam Al-qur’an Surat Al-Maidah ayat 90, Allah SWT berfirman yang artinya ;
“Hai orang-orang yang beriman,sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Dahulu pada masa Rasulullan, para sahabat ada yang mengkonsumsi khamar karena masih dihalalkan. Akan tetapi ketika turunnya ayat tersebut melalui Rasulullah di tengah-tengah mereka, maka seketika itu pula para sahabat berhenti meminum khamar dalam rangka bersegera untuk melaksanakan syariat Islam dengan menjauhi laranganNya.
Sebagaimana dikisahkan dalam suatu hadis riwayat Al-Buhkari dari Anas bin Malik ra., beliau berkata :
“Suatu hari aku memberi minum kepada Abu Thalhah al-anshary, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Ubay bin Ka’ab dari Fadhij, yaitu perasan kurma. Kemudian ada seseorang yang datang, ia berkata, “Wahai Anas, berdirilah dan pecahkanlah kendi itu!” Anas berkata, “Maka aku pun berdiri mengambil tempat penumbuk biji-bijian milik kami, lalu memukul kendi itu pada bagian bawahnya, hingga pecahlah kendi itu.”
Selain itu juga, nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya ;
“Allah melaknat peminum khamar dan penjualnya” (HR. Hakim)
Dengan demikian berdasarkan nash-nash syara’ tersebut, sudah jelas larangan khamar di dalam Islam. Adapun penerapannya oleh negara, bagi yang melanggar larangan tersebut yakni telah baligh dan dengan sengaja meminum khamar sementara ia telah mengetahui keharamnnya dan ada dua orang saksi maka di beri sanksi hukuman sebanyak 80 kali cambuk pada bagian punggungnya. Hukuman tersebut agar pelakunya menjadi jera. Tanpa terkecuali produsen dan distributornya pasti akan diberi hukuman juga.
Sehingga apabila hukum Islam yang diterapkan di tengah umat termasuk dalam hal ini larangan khamar bagi peminum dan penjualnya maka tentu ini akan berdampak baik bagi kita semua baik yang beragama Islam maupun nonIslam. karena pemerintahan Islam akan dengan tegas melarang peredaran khamar tanpa mempertimbangkan asas manfaat ekonominya, melainkan telah dilarang oleh Allah SWT. Sehingga terpeliharalah umat dalam hal jiwa, raga, dan hartanya. Untuk itu mari kita serukan kepada pemerintah dan umat untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Agar hidup menjadi lebih berkah di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam Bishawab.
Oleh : Ummu Hamidah (Pemerhati Sosial)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru