Samarinda - Sungguh miris, kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur kembali terjadi. Dilansir dari korankaltim.com, seorang remaja berusia 14 tahun yang masih menempuh pendidikan SMP di Samarinda, diduga menjadi korban persetubuhan. Peristiwa tersebut terungkap saat seorang anak mendatangi Polsek untuk membuat laporan atas dugaan persetubuhan. Korban datang seorang diri untuk melaporkan dugaan persetubuhan oleh orang terdekatnya. Korban sudah memberi tahu ayahnya, tetapi ayahnya tidak mau memberikan keadilan, sehingga ia memberanikan diri datang ke polsek untuk melaporkan hal itu. Korban, yang telah kehilangan ibunya setahun lalu diduga mengalami kekerasan seksual sejak tahun 2022 hingga 2024. Menurut pengakuannya, persetubuhan tersebut terjadi sebanyak tiga kali, disertai dengan ancaman yang membuatnya takut dan tertekan.
Sistem yang diterapkan saat ini menciptakan generasi fatherless, dimana keluarga seakan tidak memiliki sosok ayah. Ayah yang seharusnya menjadi tameng perlindungan bagi anak, acapkali tak berfungsi perannya. Ayahpun gagal menjadi ayah. Karena tuntutan dan masalah ekonomi, waktu ayah dihabiskan untuk mencari nafkah. Sehingga tidak sempat lagi untuk membersamai, mendidik, hangat bercerita bersama keluarganya. Problem ekonomipun menjadi faktor perceraian dan ketidakharmonisan keluarga. Dampaknya anak broken home lebih minim mendapatkan pendidikan dan pengasuhan dari ayah.
Di sisi lain, banyak para ayah yang minim pengetahuan dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Sehingga status ayah “terlabel” saat ia punya anak, tidak disertai tanggung jawab. Hal ini diperparah dengan minimnya pemahaman agama Islam berkaitan dengan hak dan kewajiban para ayah di dalam hukum syara’.
Rusaknya sistem pergaulan dalam sistem hari ini banyak menghasilkan generasi yang terjerumus pada pergaulan bebas hingga perzinaan. Mengedepankan hawa nafsu hingga tidak peduli mana yang halal dan haram. Keluarga yang harusnya dilindungi pun, acapkali menjadi korban nafsu bejatnya.
Ditambah lingkungan yang individualis, tidak adanya amar ma’ruf nahi munkar sehingga kemaksiatan merajalela karena tidak adanya kontrol masyarakat. Masyarakat harus peduli, tidak boleh individualis. Karena kekerasan seksual adalah tindak kriminal yang keji.
Masalah tersistem di atas tentulah butuh peran negara untuk menyelesaikannya. Semakin banyaknya kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi menjadi bukti ketidakmampuan negara dalam menjaga kehormatan rakyatnya.
Mencermati pelaku kekerasan seksual yang mayoritas orang terdekat ini, justru terlalu berat, bahkan mustahil mengandalkan keluarga sebagai tumpuan utama untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Tidak mungkin pelaku yang merupakan salah satu anggota keluarga atau orang terdekat malah diminta berperan melindungi anak-anak dari kekerasan seksual.
Untuk itu, perlu peran strategis penguasa. Pemerintah harus menerbitkan kebijakan agar terjadinya kekerasan seksual bisa dihentikan secara sistemis.
Faktor-faktor yang mengakibatkan kekerasan seksual harus diberantas hingga tuntas. Media harus menjadi instrument positif, bukan malah disalahgunakan untuk menderaskan ide sekuler liberal (kebebasan).
Demikian halnya keberadaan payung hukum yang akan memberikan keadilan bagi korban, harus membuat sanksi yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku sehingga terwujud keadilan yang nyata.
Islam sebagai agama sekaligus sistem yang mengatur seluruh problematika kehidupan, memberikan solusi komprehensif untuk menanggulangi kekerasan seksual. Dalam hal ini terdiri dari tiga pilar. Pertama, ketakwaan individu. Hal ini diwujudkan dengan memberikan pendidikan Islam kepada seluruh keluarga akan hak dan kewajibannya di hadapan Allah. Ayah harus memahami bahwa kelak di akhirat ia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di dalam keluarga. Dengan ketakwaan tersebut pula setiap individu memahami dan mengamalkan mengenai batasan aurat yang boleh terlihat maupun sistem pergaulan antara laki-laki dan wanita. Meskipun keluarga adalah sekolah pertama bagi anak, namun pihak yang menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif ialah negara. Negara punya kekuatan untuk menyaring media baik televisi, tontonan/film, maupun media sosial agar bebas dari konten-konten berbau seksual.
Sekuat apapun orang tua menjaga anak agar terhindar dari maksiat, tidak akan bisa efektif jika negara tidak bertanggung jawab sebagai pelindung dan penjaga generasi. Ini karena kebijakan negara sangat berpengaruh menciptakan lingkungan yang beriman, aman, nyaman dan jauh dari kemaksiatan.
Kedua, masyarakat yang memiliki pemikiran dan perasaan Islam sehingga aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah bagian dari keseharian mereka. Jika disekitarnya ada yang melanggar perintah Allah masyarakat harus saling mengingatkan.
Ketiga, negara yang menerapkan sanksi tegas sehingga keadilan hukum akan terwujud. Sering kali pelaku kasus kekerasan atau pelecehan seksual mendapatkan hukuman yang ringan. Ini tidak adil bagi korban, sebab ia telah kehilangan kehormatan dan mengalami trauma seumur hidupnya. Sistem sanksi dalam Islam mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama. Dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggat hukum, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Menurut Syeikh Abdurahman al-Maliky dalam kitab Nizhamul Uqubat fil Islam menjelaskan bahwa perlukaan terhadap farji (kemaluan) termasuk perkara jinayah yang dikenakan sanksi berupa harta (diat). Adapun satu kali diat adalah setara 100 ekor unta.
Sementara itu, sanksi karena melakukan zina adalah berupa had zina. Jika pelaku belum menikah (ghairu muhsan), hukumannya adalah cambuk 100 kali (QS An Nur :2) dan diasingkan selama setahun. Jika pelaku sudah menikah (muhsan), ia mendapat hukuman rajam sampai mati.
Maka sistem sekuler kapitalis saat ini adalah sumber dari maraknya kasus kekerasan seksual saat ini. Untuk itu, sistem rusak harus diganti dengan sistem shahih (Islam) yang bersumber dari wahyu IlLahi. Wallahu’alam bishawab.
Oleh : Ayu Putri Wandani (Pendidik)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru